Dua Puluh Satu

477 44 77
                                    

Pagi itu suasana kelas 10 BAHASA A begitu hening. Murid-murid fokus pada tugas yang diberi guru di depan mereka dengan serius. Terdengar bunyi AC dan jarum jam yang bergerak. Ana menulis di bukunya, membolak-balik buku cetak tatkala mencari jawaban dari sana.

Kemala mencoret tulisannya, ia tipikal gadis yang malas menggunakan correction pen kalau terjadi kesalahan. Sejujurnya memang terkesan kurang rapi, tapi daripada bukunya penuh correction pen, Kemala memilih membiarkannya. Kelemahan gadis yang mempunyai wajah cantik natural itu adalah ketika correction pen tampak di depannya.

"Lama-lama buku saya dilempar Bu Nindy kalau kebanyakan coretan gini, Na." Kemala melihat Ana yang menoleh ke arahnya, Ana tertawa, mengambil correction pen itu dan menaruhnya di dalam laci. Ana tahu betul, jika Kemala melihat benda itu, keinginan untuk menggunakannya terasa kuat. Sehingga ketika menulis, ada saja yang salah.

"Makanya jangan ditaruh di depan mata, Mal."

Kemala mengacungkan jempolnya, berterima kasih pada Ana sambil mengedipkan matanya. Mereka sama-sama kembali mengerjakan tugas, sampai suatu ketika istirahat telah tiba.

Bu Nindy meminta murid-murid mengumpulkan tugas mereka mau siap atau tidak siap. Gadis-gadis yang duduk di barisan meja Ana dan Kemala mengumpul karena siap semua, berbeda dengan gadis lainnya, yang belum siap sebab satu soal lagi tak sempat dijawab.

Sekembalinya Ana dan Kemala dari depan meja guru, kedua gadis itu kembali duduk di kursi masing-masing.

"Mal, jadi gak makan bakso di depan jalan besar sana? Pengin banget nih."

Kemala melebarkan matanya, ide Ana ada benarnya juga. Jujur saja, Kemala sejak lama menginginkan bakso dengan rasa berbeda, mungkin ajakan Ana adalah jawabannya.

"Ayo! Pulang sekolah gimana? Saya bawa motor, kamu sama saya aja! Wah, seolah Tuhan memberi kita kesempatan ya, Na, sikon kali ini mendukung banget!"

"Widih asyik! Oke deh. Kantin yuk?"

"Ayo!" mereka menuju kantin.

Adiva berdiri dari kursinya, menghampiri meja Reo. "Hai, Re. Kamu suka buku yang saya beri gak? Saya harap kamu suka, saya yakin kamu suka."

"Hai. Suka kok, bagus banget bukunya."

"Sudah kamu baca sampai mana?"

"Kamu sudah pernah baca?"

"Sudah. Tapi sudah lama banget, yang punya kamu itu cetakan kelima. Kalau punya saya cetakan kedua. Kover bukunya juga jauh berbeda. Bahkan judulnya berubah. Dulu Endlesspain, sekarang Lihatlah Aku Sebentar Saja."

"Oh ya? Saya sudah sampai Bab 20/25, sudah di bagian Candrasa menyatakan perasaannya pada Sapphire tapi cewek itu tak memberi tanggapan apa-apa." Reo baru tahu judulnya berubah.

"Benaran? Oh, Reo, kamu sedih banget gak sih? Itu bagian yang buat saya diejek sama teman sekelas waktu SMP karena mata saya bengkak bacanya. Sedih sekali tau, Re!" Kemala berujar semangat, terlanjur nyaman mengobrol dengan Reo di suasana sunyi kelas sebab murid-murid berada di kantin.

"Sedih. Tapi sembuh. Menyatakan perasaan kan bukan soal penerimaan, Div. Tapi supaya kamu tau, kalau perasaannya memilihmu sebagai penerimanya."

Narasi Patah Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang