Delapan Belas

432 47 71
                                    

Gadis cantik yang terkenal galak padahal baik hati dan tidak sombong lagikan ramah itu berjalan di koridor dengan sengaja mengabaikan murid-murid yang berpapasan dengannya karena malas berteguran. Ia hanya ingin sampai di ruang guru secepat mungkin dan kembali ke kelas untuk mengerjakan satu soal matematika lagi.

Koreksi, Mandy sombong kalau badmood.

Sesampainya di ruang guru, ia mengetuk pintu, mendengar sahutan berupa izin untuk masuk kemudian menghampiri meja sang wali kelas. Mandy menaruh buku uang kas, memberi laporan tentang kerajinan dan kepayahan temannya dalam membayar tagihan.

Ruang guru sepi saat pukul 06.49 WIB, betapa tidak? Guru-guru dan murid-murid pasti sedang sarapan di rumah dengan nikmat bahkan mungkin ada yang masih menonton TV.

"Siapa yang belum lunas, Man?"

"Sudah semua, Bu. Saya sengaja awal-awal nagihnya, supaya gak numpuk terus mereka beralasan buat bayar double minggu depan aja."

"Bagus. Ibu suka dengan kerja kamu. Kasih tau teman-teman, nanti kalau kenaikan kelas, kita akan diskusi uangnya mau diapakan."

"Siap, Ibu mah jangan khawatir! Gak ada koreksi apa-apa, Bu?"

"Gak ada. Saya sudah lihat laporan kamu, semua beres."

Asek! Kapan lagi saya bisa keluar dari ruang guru tanpa ceramah? Gak sia-sia saya pakai tenaga dalam buat nagih uang kas.

"Permisi, Bu."

"Iya, terima kasih."

Mandy mengangguk dan pamit undur diri. Ia keluar dari sana dengan wajah gembira, ia akan mengerjakan PR-nya yang tidak sempat ia tuntaskan semalam karena maraton menonton film. Tepat saat Mandy melangkah keluar ruang guru, ia berhenti melangkah, terdiam, kembali mengulang suara yang ia dengar tadi, kemudian membalikkan badan.

"Kakak ngomong sama saya?" tanyanya, ia menunjuk diri sendiri dengan ekspresi heran yang membuat Devano tertawa geli.

"Iya. Memang ada orang lain selain kamu?"

"Ada apa ya, Kak?"

"Kamu, tadi saya nanya, kamu habis laporan uang kas lagi ya?"

Wah! Tanpa Mandy sadari, ternyata ia punya penggemar! Hanya orang yang memperhatikannya yang tahu betapa bosan ia ke ruang guru dengan alasan yang tak pernah berubah yaitu memberi laporan uang kas. Sebentar, mengesampingkan penggemar, apakah Devano lebih cocok sebagai penguntit?

Selama ini ... Mandy dipantau diam-diam?!

"Kok tau?"

Devano tertawa, mengeluarkan tangannya dari saku celana yang semula bersembunyi untuk meraih daun kering yang jatuh di rambut Mandy sambil berkata. "Tau dong. Apa sih yang gak saya tau?"

Mandy kehilangan kemampuan bergerak, ia terhipnotis oleh tindakan yang Devano lakukan barusan.

Wah gila, dia cowok posesif di novel yang pernah saya baca gak sih? Atau cowok ... yang terobsesi sama cewek?

"Hari ini saya sarapan apa? Ayo jawab," kata Mandy. Pertanyaan yang tiba-tiba apalagi tanpa diduga-duga membuat Devano gelagapan, mana ia tahu Mandy sarapan apa. Nasi goreng? Roti selai kacang? Atau opor ayam? Tahu dan tempe sambal?

"Mana saya tau – "

"Nah itu yang Kakak gak tau. Saya permisi." waktu Mandy sudah terbuang untuk menanggapi Devano, mereka tak pernah berkenalan, kenapa Devano tampak sok akrab? Mendingan Mandy mengerjakan PR MM.

"Lucu," kata Devano. Ia menatap punggung kecil Mandy yang semakin mengecil karena gadis itu lari kencang. "Saya kayak om-om kali ya, makanya dia takut?" Devano menertawakan diri sendiri.

Narasi Patah Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang