Kaisar melepas helm yang ia pakai dan berjalan menuju taman sekolah yang asri. Di taman sekolah ada bangku, taman yang indah membuat siapa saja betah di sana. Pemuda itu duduk dengan kaki menyilang, menunggu seseorang.
Pohon yang besar membuat taman teduh, sangat bersahabat dengan santai-santai disebabkan sejuknya wilayah itu. Seorang gadis bersembunyi di balik pohon, memandang pemuda itu dengan kenangan-kenangan yang pernah ada.
Shea betah dalam posisi itu, ia menyunggingkan senyum, melangkahkan kaki tapi tak jadi saat Kaisar berdiri menghampiri Ana. Mengapa Ana datang di saat yang tidak tepat? Shea lah yang ingin menghampiri Kaisar, bukan ia! Shea bertahan dalam posisi itu dan memilih melihat interaksi sepasang remaja itu.
Mata Shea melihat mereka baik-baik, ia menyatukan alisnya tatkala mereka berjalan pergi. Shea melihat interaksi sepasang remaja itu, sangat dekat seolah punya hubungan. Shea heran, apa yang tengah terjadi? Ia tak paham pada apa yang ia lihat sehingga kakinya melangkah mengikuti Kaisar dan Ana yang pergi ke ... rooftop.
"SAYA, SUKA, PADA, ANA, MAUKAH DIA MENJADI PACAR SAYA?"
Kaisar menjeda setiap kata, berteriak di kalimat akhir menghadap langit cerah. Hati Shea tertampar, pertahanannya rubuh, suasana hatinya mendung, seolah petir menyambar kesadarannya, hujan mengguyur pipinya yang telah basah. Sepasang remaja itu saling melempar senyum, Shea tidak sanggup.
Kakinya membawanya meninggalkan rooftop.
Ana tidak menyangka kalau niat Kaisar membawanya ke sini adalah untuk menyatakan perasaannya. Ana tersenyum senang, mendongak melihat Kaisar yang tampan. Hati Ana bersinar, matanya berbinar, ia takut ini tak benar.
"Sejak kapan, Kak?" tanya Ana ketika Kaisar menyelesaikan ungkapan perasaannya barusan, meninggikan volume suaranya pada semesta agar tanah dan langit tahu.
"MPLS. Sejak saya lihat kamu di aula. Saya memberanikan diri mendekati kamu saat di kantin, memberi es teh manis saya."
"Oh ya? Mengapa baru sekarang?"
"Kamu maunya sejak kapan?"
"Sejak MPLS, lah."
"Nanti kamu gak nyaman, terlalu dadakan." Ana tertawa, menunduk melihat kaki mereka. Ia belum punya jawaban.
Kaisar mengambil sesuatu dari tasnya. Ia mengambil paper bag berisi sepatu Ana, yang Shea dkk buang, dan memberinya pada Ana.
"Makasih banyak, Kak! Saya kira gak ketemu, saya sayang banget sama sepatunya, sepatu pemberian mam waktu saya mau jadi murid sini."
"Kelihatan. Masih bagus sekali, pasti kamu rawat dengan baik."
Ana tak sangka Kaisar menemukan sepatunya. Kaisar tahu semua perbuatan Shea dkk pada Ana.
***
Tangis Shea pecah. Ia bersandar di tembok belakang sekolah, badannya melorot sedikit demi sedikit saat tak sanggup berdiri lagi. Air matanya berjatuhan, mewakili perasaan sepihak yang ia punya selama ini. Tak ada gunanya pengakuan bahwa Kaisar adalah pacarnya, tak ada hasil memberi Ana pelajaran agar menjauhi Kaisar, tak ada balasan Kaisar pada apa yang ia rasa.
Ia sendiri, berteman sepi, bersandar pada kata suka sementara yang disuka menyukai gadis lain. Apa kurang dirinya, beritahu, biar ia ubah. Shea memeluk lututnya, menyugar rambutnya frustrasi, bibirnya bergetar, dadanya sesak.
Di balik tembok, tubuh Narendra bersandar di sana dengan posisi menyamping, melipat tangan di depan dada sambil menggelengkan kepalanya tidak habis pikir. "Ck, sudah dibilang mendingan sama saya. Malah sama si Kaisar, cari penyakit."
KAMU SEDANG MEMBACA
Narasi Patah Hati
RomanceAneh sekali rasanya, Ana yang tidak peka selalu saja mendapatkan perhatian mendalam dari seorang pemuda yang baik tutur katanya itu dan tampan rupanya itu. Hati selalu memberi teka-teki, selalu menarik diri pada hati lain yang cenderung tak mempunya...