Lima Belas

471 54 66
                                    

Ruangan itu hening. Pandangan tersangka menunduk tanpa menyesali perbuatan yang lalu, jika diberi hukuman, barangkali niat untuk berubah takkan ada melainkan semakin gencar memikirkan rencana baru untuk memberi Ana pelajaran. Bu Prapti membuka obrolan. "Seharusnya kalian menjadi contoh yang baik untuk adik kelas lainnya, bukan malah sebaliknya. Apa kalian punya masalah pribadi dengan, Ana?"

Nada bicara Bu Prapti tak bersahabat. Memberi kesan tak dapat diajak kompromi sehingga Shea dkk kicep dengan pikiran masing-masing. Cukup lama menunggu, tapi mereka tak juga bersuara, akhirnya beliau memukul mejanya bermaksud menyadarkan ketiganya dari lamunan.

"Ayo jawab! Kalian mau saya hukum tanpa adanya keterangan apa-apa dari kalian? Saya sudah menyiapkan hukuman untuk kalian lho, hem?"

"Kita cuma bercanda aja, Bu. Gak ada masalah pribadi apa-apa sama, Ana."

"Seberapa yakin? Sedekat apa hubungan kalian dengannya sehingga bercanda dengan cara seperti itu padanya?"

Shea menelan saliva. Bagaimana bisa ia menjawab pertanyaan yang jelas saja harus bagaimana lagi ia mengarangnya?

"Justru itu, Bu. Kita mau dekat sama, Ana. Tapi gak tau kalau cara yang kami anggap candaan, justru terlihat berlebihan." sahut Lunar. Bu Prapti menyipitkan matanya, tak menemukan kejujuran setelahnya.

"Kalian mau saya suspensi, SPO, atau membersihkan halaman sekolah selama 2 hari?"

Ketiganya kompak menoleh satu sama lain. Tercengang bengang dengan hukuman yang Bu Prapti katakan. Jika ditanya mau yang mana, jelas saja mereka tidak mau apa-apa. Tapi bila komplain bisa-bisa hukuman mereka bertambah pula.

"Membersihkan halaman sekolah selama 2 hari, Bu." Tamara menjawab, membuat kedua sahabatnya memberi reaksi tak setuju. Di menit selanjutnya ketiganya sepakat memilih pilihan Tamara, mereka tak dapat apa-apa. Bu Prapti memperhatikan gerak-gerik muridnya, menyangka Shea-lah yang melakukan agitasi terhadap dua sahabatnya. Shea adalah dalang dari perbuatan ini.

"Minggu depan kalian akan menjalani hukumannya. Dimulai Senin dan Selasa." ini adalah hari Sabtu. Agar lebih efisien, Bu Prapti meminta mereka melaksanakan hukuman itu mulai minggu depan saja.

"Sekarang cari sepatu, Ana. Kembalikan padanya dan minta maaf. Kalian boleh keluar."

Langkah kaki gadis-gadis itu membawanya keluar ruangan beliau, mereka memasang ekspresi sama, sama-sama ingin memaki Narendra habis-habisan. Di koridor menuju kelasnya, mereka berhenti di tengah jalan.

"Sialan! Narendra, gak becus banget! Katanya mau mantau CCTV, kok malah ketauan? Terus gimana dong, saya ogah membersihkan halaman sekolah! Di rumah aja nih ya, jangankan membersihkan halaman rumah, nyuci piring aja saya sih gak!" Lunar melipat tangannya di depan dada, mengomentari hukuman yang Bu Prapti tetapkan.

"Saya juga gak tau kok bisa ketauan begini! Awas aja tuh cowok, saya tonjok entar kalau jumpa." Shea mininju angin, berpikir keras untuk memberi Ana pelajaran kembali. Semua yang ia lakukan agar gadis itu kapok sehingga menjauhi Kaisar, tapi malah ia dan sahabatnya yang kena ganjaran. Ketiganya melanjutkan langkah menuju kelas untuk mengikuti pembelajaran di jam pertama.

Dasar cewek sialan.

***

"An, bagaimana kondisi kamu sekarang?" Reo duduk di meja Ana tepatnya di kursi Kemala. Mereka mengobrol sebentar saat istirahat kan tiba. Beberapa murid telah pergi meninggalkan kelas saat guru lebih dulu menuntaskan pembelajaran jam itu dan pamit undur diri.

"Masih nyeri, Re. Apalagi ini hari pertama saya datang bulan. Saya sudah tebak, pasti mau datang bulan, eh benaran. Cuma ya ... gak sesakit sebelumnya."

Narasi Patah Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang