Dua Belas

463 54 60
                                    

Ana berjalan santai sambil memegang tali tasnya. Ia bernyanyi kecil sambil menghirup udara sejuk dalam-dalam. Bayang-bayang wajah Reo terlintas dalam ingatannya, ia mempercepat langkahnya menuju kelas untuk menjumpai Kemala mana tahu gadis itu sudah sampai. Tiba-tiba seseorang menyerukan namanya, Kaisar.

"Lea!" Ana melihat ke arah belakang sambil memutar tubuhnya ketika ia ingin melihat Kaisar yang berlari kecil menghampirinya. Ana semakin mengeratkan pegangan tali tasnya.

"Maaf sudah mengganggu. Ada yang mau saya omongin ke kamu, boleh?" kata Kaisar. Ia melihat wajah Ana yang melihatnya agak ke atas sambil memasang ekspresi heran. Dalam benak Ana ia bertanya-tanya, Kaisar itu tipikal pemuda yang kalau mau bicara harus izin dulu ya? Kenapa?

"Kenapa ya, Kakak kalau mau ngomong tuh pakai izin segala? Kenapa gak ngomong langsung aja?"

Senyum Kaisar lepas begitu saja, ia melihat ke bawah sambil menggaruk pelipisnya. "Supaya saya tau, lawan bicara saya punya waktu gak? Saya kalau ngomong sama orang itu harus saling santai, Lea. Supaya apa yang diomongin gak sekadar masuk kuping kanan dan keluar kuping kiri."

"Kakak itu tipikal cowok yang quality time banget, ya? Sampai-sampai harus kayak gini, memang mau ngomong apa, Kak?"

"Ini soal serius. Saya mau ngajak kamu ke suatu tempat." wajah Ana berubah datar. Ana mengingat kejadian di kantin yang baru beberapa hari ini berlalu. Dan kabarnya, Shea dkk belum juga bersekolah hari ini, besok ternyata.

"Alasannya? Dalam rangka apa, Kak?"

"Memang perlu alasan? Dalam rangka mendekati diri sama kamu." Kaisar sudah malas yang namanya basa-basi. Ia ingin Ana tahu tujuannya yang jelas dan pasti, sehingga Ana tak perlu mempertanyakan sikap janggal yang Kaisar beri padanya.

"Aduh, saya sih keberatan, Kak. Saya gak mau disiram semangkok bakso untuk kedua kalinya. Lagian Kakak aneh, kan sudah punya pacar. Lalu ngapain dekatin cewek lain? Memang saya cewek gampangan apa?"

Kaisar melongo. Bukan maksud Kaisar membuat Ana merasa seperti gadis gampangan. Jujur, Kaisar tak sangka kalau gadis itu sampai berpikir ke arah sana. "Kamu salah paham, Lea. Saya bingung, saya gak pernah pacaran sama Shea atau siapa pun itu. Benaran."

"Kakak ini tega, ya? Masa, gak mau ngakuin cewek sendiri di depan cewek yang sudah tahu kalau kakak punya pacar. Saya duluan, ya, Kak." Ana berjalan menuju kelas meninggalkan Kaisar yang mematung. Langkah kaki gadis itu terhenti, suara Kaisar mengguncangkan hatinya.

"Mana buktinya kalau saya pacaran sama, Shea? Bisa kamu tunjukkan sama saya?"

Ana membalikkan badannya kembali ke hadapan Kaisar. Ana terdiam dengan kegelisahan. Apa ia salah bicara, Ana sudah kelewatan tidak sih?

"Kamu sudah menuduh saya, nih."

"Maaf deh, Kak. Saya memang gak punya bukti. Tapi itu yang orang-orang katakan."

"Hancurnya hubungan dapat terjadi karena banyak hal, Lea. Salah satu contoh, ketika kamu mendengarkan ucapan orang lain tentang pasanganmu tanpa membuktikan hal itu terlebih dahulu."

Serta-merta Ana melotot. Ia merasa tersindir dengan perkataan Kaisar barusan. Lalu Ana harus apa, ia harus menerima ajakan Kaisar begitu? Mereka akan pergi ke mana kira-kira? "Kakak jelaskan kakak mau ngomong apa, biar saya paham dan buat keputusan."

Ana menelinga baik-baik, Kaisar berkata. "Saya mau ngajak kamu malam minggu nanti ke pameran buku di dekat perempatan daerah sekolah kita. Katanya besar-besaran, saya yakin kamu suka! Kamu kan anak BAHASA, saya bakalan belikan buku yang kamu suka nanti."

Wajah Ana kaget, "Serius? Kok saya gak tau, ya? Pasti seru! Jam berapa mulainya? Saya harus izin sama mam dulu."

"Mam?"

Narasi Patah Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang