Tiga Puluh

444 44 52
                                    

Meminta pertanggungjawaban Kaisar saat ini adalah alasan Ana menemui pemuda itu di ruang musik. Ana membuka pintu ruang musik, berhenti berjalan setelah memasuki ruangan luas itu agak dalam dan melihat Kaisar yang duduk tepat berhadapan dengannya.

Senyum Kaisar mengembang, alat-alat musik itu semakin bisu walau dapat bersuara jika dimainkan, menjadi penonton akan pertunjukan Ana dan Kaisar. Ana maju dengan langkah cepat, tidak sabar memberi pemuda itu makian sebagai jalan untuk memberitahukan Kaisar kalau ia benci pemuda itu.

Ana memukul dada Kaisar yang duduk di atas meja, memukulnya bertubi-tubi kemudian mengumpat. "Sialan! Dasar berengsek! Kenapa kamu ngelakuin ini ke, Reo?! Memangnya dia salah apa?!"

Merasakan pukulan Ana, bagi Kaisar, ia telah mendapatkan kemenangan. Kaisar merasa berhasil, karena kini Ana malah menemui dirinya bukan menemani Reo bersama nyawanya yang tidak ada yang tahu pasti seperti apa jadinya.

Gadis yang hancur baik hati atau raganya itu menangis tiba-tiba, serta-merta Kaisar cemas karena hal itu. Ana mendongak ketika Kaisar bangkit dari duduknya, menahan tangan Ana yang memukulnya. "Kamu kenapa nangis, Lea? Siapa yang membuat kamu begini?"

Ana terdiam sambil melihat Kaisar dengan sepasang netra yang penuh air mata seolah tak percaya pada pertanyaan yang Kaisar ucap barusan. "Dasar bajingan! Kamu nanya siapa yang buat saya kayak gini sedangkan kamu tau kalau kamu adalah dalang dari segalanya?" Ana berteriak, matanya merah.

"Tenang, kita bicarakan baik-baik, Lea. Kamu tarik napas, cerita ke saya apa yang terjadi."

"Dasar gila!" Ana tak tahu, alasan apa yang ia punya sehingga ia menerima Kaisar dalam hidupnya ketika itu. "Benar-benar sakit, kamu harus tanggung jawab kalau Reo kenapa-kenapa!"

Ana menumbuk Kaisar dengan tenaga yang tak ada pengaruhnya sama sekali pada pemuda itu. Kaisar tertawa sumbang, bisa-bisanya tersenyum lebar di saat Ana terlihat nelangsa. "Mati pun saya rela buatmu, Lea. Kamu meragukan saya? Ini semua karena cowok sialan itu! Kalau bisa dia mampus sekalian!"

Ana menampar Kaisar. Wajah pemuda itu menoleh ke samping karena perbuatan Ana, Kaisar menatap Ana yang menangis, Ana memandang tangannya sendiri sambil menunduk dalam. Bahu Ana bergetar, Kaisar telah membuat segalanya berantakan.

"Lea, saya sayang banget sama kamu. Kamu jangan kayak gini, dong." Kaisar memegang bahu Ana, mengelus rambut Ana pelan-pelan. Ana menyingkirkan tangan Kaisar, memukul pemuda itu untuk kesekian kalinya sambil menangis sejadi-jadinya.

"Yang pantas mampus itu kamu!" Ana pergi dari sana, mendorong Kaisar menjauh saat pemuda itu berupaya menahannya.

Kaisar berlutut di ruang musik, menutup wajahnya dengan air mata yang telah berlomba untuk tumpah. Kaisar kehilangan seseorang yang ia suka. Tapi, bukankah Kaisar memang tak pernah memiliki Ana? Selama ini, Kaisar hanya bermimpi.

***

Sudah tiga hari Reo tak sadarkan diri, ia masih dirawat di rumah sakit dengan selang infus yang berada di telapak tangannya. Pemuda itu betah dalam mimpinya, wujud keinginannya yang dapat terjadi melalui hal tersebut.

Ana duduk di sebelah Reo, melihat pemuda itu tidur nyenyak sekali. Bagi Ana, Reo hanya beristirahat sebentar, mungkin Reo lelah dengan puisinya, harapannya, dan cintanya. Sehingga, memilih berhenti sejenak adalah obatnya.

Ana mengambil tangan Reo, mencium tangan pemuda itu dalam-dalam seolah takut kehilangan, sebutir air mata membasahi pipinya dan jatuh ke brankar pemuda itu. Ana menangisi kejadian yang terjadi dalam hidupnya, segalanya hanya akan menjadi kenangan buruk; sejak Kaisar hadir, sejak Kaisar memasuki hidupnya, sejak Kaisar menyatakan sukanya.

"Re, ngantuk banget ya memangnya makanya gak bangun-bangun? Mama, rindu sama kamu tau. Ayo, buruan bangun supaya kita bisa sama-sama lagi." Ana mengelap air matanya yang kini bagai rintik hujan, ia tak tega melihat Reo terbaring lemah di tempatnya.

Narasi Patah Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang