Enam

505 60 56
                                    

Ada alasan tersendiri bagi Ana mengapa ia tak menerima ajakan Kaisar untuk pulang bersama. Sebetulnya apa yang baru saja terjadi belakangan ini membuat Ana sedikit gusar, pasalnya Kaisar kan sudah punya pacar. Ana tidak tahu pasti soal itu, tapi mendengar ucapan Nasya soal Kaisar dan Shea pacaran, membuat Ana masih bingung harus apa saat Kaisar mendekatinya.

Pagi itu Ana pergi diantar oleh ibu. Dalam perjalanan menuju sekolah ibu terus-terusan menceramahi Ana agar mau sarapan nasi, bahkan jikalau hanya roti, setidaknya dihabiskan, ini tidak, sudahlah selembar roti, hanya dimakan sebagian pula. Ibu harus ekstra sabar.

Ana mengiyakan kata ibu tanpa terbesit dalam benaknya betapa cerewetnya beliau. Ia tahu itu demi kebaikannya, tapi Ana memang tak suka sarapan. Rasanya ingin buang air besar saja, tapi alasan yang lebih kuat adalah, Ana tidak selera.

Saat tiba di depan gerbang sekolah, ibu melambankan laju mobil, ia menoleh ke arah Ana berada, berkata. "Kamu kan gak suka kalau Reo repot-repot membelikan nasi untukmu, makanya sarapan di rumah, Sayang."

Tangan Ana berhenti dari aktivitasnya yang melepas safety belt mobil kemudian mengangguk memahami apa yang ibu katakan.

"Kapan ya Reo gak sarapan terus Ana yang belikan nasi untuknya, Mam?"

"Kan gak harus nunggu Reo gak sarapan, saat istirahat nanti, kamu bisa membelikan Reo makanan. Seperti traktiran, Sayang."

"Iya juga. Kalau gitu Ana pergi, Mam. Ana sayang sama, Mam."

"Mam, juga begitu."

Ana tiba di sekolah pukul 07.01 WIB.

***

"Wah, saya masih gak nyangka soal Kak Kaisar dan puisinya itu, Na." Kemala menatap langit-langit kelas di tengah keramaian murid-murid yang mengobrol. Jam pertama belum dimulai padahal jam menunjukkan pukul 07.58 WIB. Pembelajaran dimulai pukul 07.45 WIB, itu artinya 13 menit telah berlalu.

"Saya juga. Saya kira Kenny dan teman-temannya itu salah orang, ternyata dugaan mereka benar."

"Lalu bagaimana dengan Pangeranmu, Na?"

"Bagaimana apanya? Kamu tau, Reo itu sudah punya seseorang yang ia jadikan sebagai tujuan puisinya. Itu sebabnya Reo tak menempel puisinya di mading."

"Kamu ini pernah nonton film romansa tidak? Ya, kamulah orang yang Reo maksud, Na. Masa kamu tidak sadar?" Kemala menyipitkan matanya.

"Bagaimana bisa, Mal? Reo aja tidak memberikan puisi apa-apa sama saya."

"Saya gak tau pasti alasannya kenapa. Tapi, mungkin aja dia nunggu waktu yang tepat, Na!" ucap Kemala geregetan. Ia gemas dengan kepolosan Ana yang tidak ada pekanya itu.

Ana menunduk sambil meletak jemarinya di bawah dagu dengan ekspresi sedang serius seolah tampak berpikir keras. Kemala dan keyakinannya soal cinta Reo tidak dapat Ana yakini dengan mudah.

"Gak mungkin, lah, Mal! Saya ini kan teman, Reo. Saya senang berteman dengannya."

Kemala menghela napas. Ia saja yang mendengarnya sudah dapat merasakan sakitnya, apalagi Reo yang menjadi perannya, pasti mau mati saja rasanya saat mendengar ucapan Ana.

"Hati orang siapa yang tau - " ucapan Kemala terinterupsi oleh kehadiran Mandy, gadis yang menjabat sebagai bendahara kelas mereka.

"Mal, bantuin saya nagih uang kas si, Harun, dong! Dia nyebelin banget, sih, gila. Saya mau resign aja rasanya." Mandy memasang wajah sedih, menahan kekesalan dalam dirinya agar tidak mengumpat nantinya.

"Memangnya saya ini mamanya apa? Apa ngaruhnya sama saya, Man?"

"Maksud saya, dia kan sangat patuh samamu, Mal. Dia mau mendengar semua yang kamu katakan."

Narasi Patah Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang