Pada saat istirahat telah selesai, semua murid-murid masuk ke dalam kelas yang semula hanya ada Adiva dan Reo di sana. Mereka sama-sama diam, sibuk dengan persoalan masing-masing. Hal itu tak ubahnya sampai kelas telah terisi penuh, jika hati mudah berubah haluan, mungkin Adiva takkan menahan sakit untuk menyukai Reo yang memikirkan gadis lain.
Adiva merasa sakit kala Reo tampak murung. Ia benar-benar patah hati sebelum berjuang. Apa yang ia rasa terhadap Ana hanyalah cara untuk menyakiti diri sendiri. Ana sibuk dengan dunianya, sedangkan Reo sibuk dengan hatinya yang membawa-bawa Ana di dalamnya.
Ketika Adiva berdiri hendak menghampiri Reo, tiba-tiba kedatangan Ana yang lebih dulu sampai di meja pemuda itu membuatnya mengurungkan niatnya itu. Adiva kembali menduduki kursinya, memasang telinga mendegar obrolan mereka.
"Reo, kamu pulang sekolah mampir dulu tidak?"
Reo memandang wajah Ana, merasakan hatinya lebih baik daripada sebelumnya kala senyuman tak lepas dari bibir Ana. Meskipun hati menangis karena senyuman itu tercipta akibat pemuda lain, tapi Reo tetap bisa sembuh. Kekuatan cinta yang ia punya untuk Ana tidak main-main.
"Tidak, An. Mau pulang sama saya?"
"Boleh? Saya senang sekali," kata Ana.
"Tentu. Untukmu apa sih yang gak bisa saya lakukan?" Ana melepaskan tawanya sambil melihat buku yang ada di meja Reo. Perjalanan Puisi, itu judul yang tertera di sampul depannya. Ana penasaran, ia terdiam perlahan-lahan sambil terus memandang buku itu.
"Ini buku puisi tahunanmu, kah?"
Reo mengalihkan wajahnya dari wajah Ana ke arah buku di atas mejanya, ia lupa menyimpan buku itu sehingga Ana melihatnya. Apa yang harus ia katakan, saat Ana meminta ingin membacanya?
"Bukan. Ini buku yang saya jadikan latihan, semacam coretan aja, untuk membuat puisi. Kalau puisinya jadi, baru saya pindahkan ke tempat lain, An."
"Ke buku lain misalnya?"
"Bukan. Selembar kertas aja," kata Reo. Ana menyipitkan matanya lantas memandang Reo saat terpaku menatap buku itu.
"Saya pengin banget baca."
"Silakan, An." payah. Reo selalu payah untuk urusan Ana. Semua yang Ana inginkan ingin ia wujudkan saja rasanya.
"Jangan, Re. Saya kan bukan orang yang kamu tuju. Masa, mendahului orang yang kamu tuju? Tidak sopan namanya." apakah ada alasan untuk tidak mencintai Ana? Reo rasa tak ada, kalaupun ada, ia tak butuh alasan itu.
"Kamu telah membaca puisi dari orang yang menjadikan kamu tujuan, ya, An?" mata Reo berubah layu, nada bicaranya terkesan sendu.
"Maksudmu puisi, Kak Kaisar?"
"Iya. Kamu senang, An?"
"Ih kamu ngapain bahas itu. Lupakan aja." Ana tertawa kecil, Reo melihat pipi gadis itu yang agak merah. Lalu pelajaran dimulai saat guru telah masuk ke kelas.
***
Pelajaran hari ini usai. Murid-murid berbondong-bondong keluar kelas untuk segera keluar dari sekolah. Ana dan Reo berjalan bersama, mereka tampak serasi, tampak dekat sekali, membuat yang melihatnya memanas. Adiva salah satunya. Kapan ya ia bisa berjalan bersama Reo, rasanya mustahil.
"Jijik banget. Si Ana sok cantik." gumamnya kesal.
Di parkiran motor, Ana menerima helm dari Reo. Ana bingung, dari mana Reo mendapatkan helm ini? Bukannya Reo hanya membawa satu helm saja untuk dirinya sendiri? Atau tadi Reo pergi dengan orang lain, yang ia bonceng? Siapa? Seorang gadis?
"Kok helmnya dua, Re?"
"Kan kamu mau pulang sama saya."
"Maksud kamu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Narasi Patah Hati
RomanceAneh sekali rasanya, Ana yang tidak peka selalu saja mendapatkan perhatian mendalam dari seorang pemuda yang baik tutur katanya itu dan tampan rupanya itu. Hati selalu memberi teka-teki, selalu menarik diri pada hati lain yang cenderung tak mempunya...