Happy reading!!!
Special thanks untuk si Om yg akhirnya keluar goa setelah sekian abad ;)•••
Seorang gadis meregangkan tangannya setelah lelah berkutat dengan pekerjaan sejak sore tadi hingga kini langit berubah menjadi gelap. Ia bangga dapat menyelesaikan dokumen perjanjian dalam tiga jam walaupun tentu saja dipastikan ada revisi karena Ayahnya dengan calon client belum bersepakat.
Jam di dinding telah menunjukkan angka delapan, saatnya pulang. Satu hal yang Alana sukai jika bekerja di kantor Ayahnya adalah ia mendapatkan tumpangan gratis, tentu saja ia akan pulang bersama Ayahnya atau Kokonya. Cukup menghemat bensin.
"Ayo pulang," ucap Ayahnya. Keduanya berjalan menuju parkiran lalu masuk ke dalam mobil.
"Tadi pagi Mami sama kamu ngeributin apa sih? Kok ada paket segala?" tanya Ayahnya.
Tanpa sadar Alana memutar kedua bola matanya jengkel. Ia tidak suka kejadian itu diungkit karena membuat Alana lupa dengan janji tadi siang dengan Professor Yang. Terlihat jelas pria itu kesal kepadanya, tentu saja, telat lima belas menit di kelasnya sudah pasti disuruh keluar.
Terakhir kali mereka berkirim pesan singkat adalah empat jam yang lalu dan hingga kini pria itu belum membalasnya, semakin menambah kekesalan Alana. Apapun itu, besok ia harus menembusnya kesalahannya dengan membelikan Americano.
"Itu paket Aqila," jawab Alana malas.
Menyebut namanya semakin membuat Alana kesal. Dia yang menyesal karena sudah bertindak bodoh satu tahun lalu kenapa kini gadis itu harus menanggungnya juga? Oh benar, harusnya ia mengeluarkan kata-kata ini ketika berdebat dengan Aqila nanti.
"Loh? Kenapa bisa dianter ke rumah?" tanya Ayahnya lagi.
"Katanya salah isi alamat, ga tau deh. Udah ah Alana males bahas itu," jujurnya dengan bibir mengerucut.
"Yaudah, gimana sama Aqila?" pertanyaan yang dilontarkan Ayahnya sukses membuat Alana berdecak sebal.
"Alana ga mau bahas dia," protesnya, kembali mengingatkan bahwa ia sedang tidak ingin membahas apapun yang berbau Aqila.
"Kenapa?" Pancing Ayahnya.
"Dia nyebelin pake banget!" Omelan Alana hari ini akhirnya keluar juga.
"Memangnya dia ngapain?" Tanya Ayahnya nampak antusias karena Alana berhasil terpancing bercerita.
"Tadi kan dia ngambil paket ke kampus, terus ujung-ujungnya maksa untuk ngedeketin Lana lagi padahal udah ditolak secara jelas," jawab Alana dengan wajah menahan emosi.
"Maksa gimana?"
"Iya, masa dia bilang gini 'Perasaan aku kan hak dan tanggung jawab aku'. Iya tau itu haknya dia tapi Lana udah keganggu sama kelakuannya," cerocosnya kesal sambil bersedekap. Kali ini Alana benar-benar tidak bisa mentolelir Aqila.
"Oh gitu, tapi yang dia bilang ada benernya juga. Kamu ga bisa mengatur hati sesukanya juga kan?" ucap Ayahnya membuat Alana melirik kesal.
"Iya, tapi dia ga mau ngehargain perasaan ga nyaman aku. Seharusnya kalau dia mau dihargai ya lakukan yang sama gitu," mengingat betapa keras kepalanya Aqila semakin membuat Alana jengah.
"Betul. Eh ngomong-ngomong gimana sama kakak tingkat kamu?" Tanya Ayahnya tiba-tiba.
Alana mengerutkan keningnya mencoba memahami maksud dari kalimat Ayahnya. Rasanya ia tidak pernah menyinggung kating ketika bersama Ayahnya.
Kakak tingkat? Siapa?
"Gebetan kamu," ujar Ayahnya membantu memberi clue tentang maksudnya.
"Hah siapa?" Bingung gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Veer
FanfictionVeer /noun/ : a sudden change of direction. Siapa yang tau bahwa kebodohan Alana di pagi itu adalah awal mula Professor Yang menghancurkan prinsipnya sendiri? ⚠️Disclaimer : All Law School characters belongs to JTBC. P.s. I'm not majoring in Law so...