4.6; Untold Truth

104 7 3
                                    

PERMISI PAKETT!!!

Well IT IS BEEN A LONG TIME. Gue minta maaf sebesar-besarnya😭🙏🏼

Life has been draining all of my energy, thus I got writers block. Anddd the worst part is I forgot the password along with the plots😀😀😀

BUT FORTUNATELY, ternyata chap ini udh ditulis separuhnya. I'm sooo grateful untuk siapapun yg msh mau baca dan nunggu story yg berdebu ini. Pls leave a trace biar gw tau kl msh ada yg mau baca🥲

•••

Kedua insan sedang asik duduk di sofa sambil ditemani sekotak pizza yang telah dibeli sebelumnya. Walaupun kini tubuh Alana tersender di bahu pria berkacamata itu, keduanya tetap saja larut dalam kesibukannya masing-masing.

Professor Yang kini sibuk membaca berkas sedangkan Alana menonton serial detektif di televisi berlayar lebar milik pria itu. Terkadang gadis itu berpikir apa gunanya televisi sebesar dengan kualitas tinggi ini jika pemiliknya jarang sekali menggunakannya?

Kesunyian yang terjadi diantara mereka membuat pikiran Alana kembali berkelana pada kejadian ciuman di kamar mandi tadi. Seketika pipinya bersemu merah mengingat betapa panas dan candunya. Sungguh kedua insan itu patut diacungi jempol karena sejak tadi hingga saat ini seperti tidak ada rasa canggung mengingat apa yang telah mereka lakukan sebelumnya.

Terlepas dari pemikiran kotor tentang apa yang baru saja mereka lakukan satu jam yang lalu, sejujurnya Alana tengah mempertimbangkan untuk menceritakan apa yang menjadi beban pikirannya selama satu pekan ini.

Hatinya semakin merasa bersalah karena Professor Yang benar-benar menghargai privasinya dan sama sekali tidak memaksanya untuk bercerita. Rasanya sakit karena pria itu semakin terasa irit bicara, walaupun memang biasanya seperti itu.

Otaknya mencoba menghibur dengan memberikan pemikiran rasional, tentu saja pria itu diam karena sedang fokus membaca berkas tebal, yang Alana asumsikan sebagai berkas gugatan, di pangkuannya. Oh, selain itu Alana dengan nyaman menyenderkan kepalanya di bahu kiri pria itu. Ini pertanda baik. Tenanglah Alana.

Gadis dengan iris hazel tersebut mendongakan kepalanya mencoba mendapatkan pandangan yang bagus untuk melihat wajah Professor Yang. Sesuai dengan dugaan, wajah pria itu terlihat sangat serius dengan bola mata bergerak dari kiri ke kanan membaca setiap kata dari berkas tersebut. Tidak hanya mata yang bekerja, dengan cekatan tangan pria itu mencorat-coret hingga kadang memberikan catatan menggunakan pensil merahnya.

Ada yang berbeda dari penampilan The Great Yangcrates satu itu selain ia memakai kacamata, rambut yang biasanya tertata rapih dengan bantuan wax kini dibiarkan apa adanya membentuk poni di dahinya sesuai dengan permintaan Alana selepas mengeringkan rambutnya. Pemandangan yang cukup langka.

Tatapan Alana tampaknya tidak mengganggu konsentrasi pria itu sehingga kini ia mengedarkan pandangannya menuju sekotak pizza yang masih tersegel rapih, sama sekali belum mereka sentuh. Bukankah pria di sampingnya ini tadi lapar?

Tangan gadis itu tergerak untuk memindahkan kotak pizza tersebut ke pangkuannya lalu membukanya. Seketika aroma pizza menyapa indra penciuman Alana. Oh ini membuatnya lapar.

Dengan cekatan ia segera mengambil satu potong pizza tersebut lalu mendongak menatap pria di sampingnya sambil menggigit potongan pizza itu.

"Prof, Anda tidak lapar?" tanya gadis itu disela mengunyah bermaksud untuk menawari Professor Yang.

"Hm?"

"Pizzanya. Anda tidak lapar?" Alana kembali bertanya. Kali ini ia mengangkat potongan pizza tersebut agar sejajar dengan pandangan pria itu.

VeerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang