CHAPTER 14

42.2K 1.2K 60
                                    

Caroline tak berhenti menangis hingga suara bantingan pintu terdengar. Tuan Weston meninggalkannya sendirian setelah menyetubuhinya habis-habisan. Tubuhnya yang kecil dan lemah tersentak di atas tempat tidur, ia meringkuk seperti bola dengan bahu bergetar. Suara tangisnya tak lagi terdengar karena campuran antara lelah, hancur, kecewa, takut dan marah bercampur jadi satu—hinggap menghuni batinnya yang kian kosong. Zayn Weston kehilangan kendali dirasuki oleh kemarahan menggebu-gebu. Usahanya membuat Caroline marasa nyaman dan tidak takut padanya selama ini sia-sia karena baru beberapa saat yang lalu sosok hitam dalam dirinya mencuat—menyakiti baik fisik maupun batin seorang Caroline. Entah gadis itu bodoh ataukah memang benar-benar lemah, seharusnya ia sudah tahu hal ini akan terjadi. keputusan Caroline sudah bulat, ia harus segera angkat kaki dari rumah ini tak perduli dengan keselamatannya sendiri, juga masalah apartemen yang dalam penyelidikan orang-orang Weston Company. Caroline masih meringkuk dalam balutan selimut tebal ketika ponselnya berbunyi di suatu tempat di dalam tasnya, kemudian tubuhnya bangkit dan meraba permukaan tempat tidur masih tak menemukannya. Dering ponsel terus berbunyi hingga dua kali dan dengan susah payah Caroline memungutnya di bawah tempat tidur. Ia mendapati nama Harriot berkedip di layar ponsel dan buru-buru ia mengusap air mata dan menahan nafas guna meredakan isak tangis pilu dari suaranya—yakin Harriot akan langsung mengenali kesumbangan dalam suaranya kali ini—ngomong-ngomong, ada apa sih menelepon jam segini?


"hal—"

"Cara! Demi Tuhan Cameron baru saja diserang oleh sekelompok pegulat sialan!" sebuah benda tumpul berukuran besar baru saja memukul jantungnya. Belum selesai satu masalah, masalah lain menyusul datang. Membayangkan Cameron ikut masuk ke dalam semua bencana ini membuatnya semakin merasa bersalah. Ini semua berawal dari kejadian malam itu. Ya Tuhan...

"pegulat?"

"aku tidak tahu siapa mereka. Aku menemukan Cameron kesakitan di lorong dekat parkiran saat aku baru saja tiba untuk menjenguk Mr. McDonough. Dia hampir tak sadarkan diri." Dari suaranya saja, Caroline sudah bisa membayangkan bagaimana rumitnya situasi sekarang. Kedua teman baiknya benar-benar membutuhkan Caroline.

"kau lihat siapa yang melakukannya?"

"ya kami berpapasan, mereka tidak mengatakan apapun. Tubuhnya besar dan tinggi. Aku tidak tahu apa masalahnya. Cara! Ada apa sih?!" mereka? Itu sebuah kata jamak, berarti orang itu tidak sendirian. Ya bodoh, tentu saja sekelompok pegulat adalah bentuk jamak. Caroline yakin, betul-betul yakin semua ulah Zayn Weston dan mirisnya hal itu disebabkan oleh dirinya sendiri—ulah Caroline yang melawan perintah Tuan Weston untuk langsung kembali ke rumah, terutama tidak boleh berhubungan dengan Cameron. Tuhan...

"Cara?! Aku berbicara denganmu!" Harriot marah, well ya memang sudah seharusnya wanita itu marah pada Caroline. Ia pantas mendapatkan semua ini.

"baiklah aku akan segera datang. Aku akan lihat apakah akan mudah—"

"ya kau memang harus kemari."




Mengernyit, Caroline merasakan sedikit nyeri di selangkangan dan organ intimnya begitu kakinya melangkah turun dari tempat tidur. Apapun akan ia lakukan untuk segera keluar dari rumah ini. Terlebih lagi, ada Harriot yang butuh banyak penjelasan. Caroline ingat betul bahwa Tuan Weston tak ingin kedekatan mereka tercium siapapun, tapi kali ini Caroline benar-benar tidak tahu harus meminta bantuan pada siapa lagi. Harriot adalah pilihan terakhirnya. Kecil tangannya meraih sembarangan kemeja yang sudah tak layak pakai tersebar di lantai, dengan hati teriris Caroline berusaha mengenakannya lagi meski tak yakin ini akan aman. Seluruh tubuhnya sakit dan penuh memar. Siapa yang menyetubuhinya beberapa saat yang lalu itu? Hewan buas? Mengingat semua rasa sakit itu Caroline yakin Tuan Weston lebih buas dari binatang terganas sekalipun. Caroline memeriksa lemari, memilih jeans dan sweater rajut untuk menutupi bagian kemejanya yang sobek, ia harus cepat meski rasa sakit disana kian terasa perih. Tuhan tahu Caroline hanyalah gadis lemah, diperlakukan seperti itu membuatnya hanya semakin terlihat seperti seorang budak murahan. Ia berjalan sedikit tertatih menuju pintu kemar. Memutar knop dan... glek! Sialan! Pintunya terkunci. Caroline berusaha memutarnya lagi namun tetap tidak ada keajaiban dan pintu dengan bandelnya tidak mau terbuka. Gadis itu tidak tahan untuk tidak merosot ke bawah, dadanya benar-benar sakit dari dalam. Matanya melirik ke arah jendela yang menampilkan background pemandangan indah kota New York itu—sebelumnya tak pernah terfikirkan dalam benaknya untuk terjun ke luar melalui jendela itu tapi...

ALONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang