CHAPTER 9

48.9K 1.4K 23
                                    

"sayang? Apa semuanya baik-baik saja?" wanita itu turun dan mendekat, meremas lembut bahu Zayn yang lebar dan tak bergerak, sementara itu tatapannya menilai seorang gadis biasa yang sekarang berkedip tidak nyaman-canggung. Zayn tak mengatakan apapun, bibirnya berkedut geli entah karena apa, matanya tak pernah lepas memperhatikan wajah Caroline. Janice mencium ringan pipi Zayn dan sekali lagi memperhatikan Caroline, kini Caroline benar-benar seperti masuk ke dalam kandang singa, dua orang yang duduk di posisi jauh diatas dirinya tengah menajamkan sorot mata pada gadis yang malang, sehingga jika dilihat baik-baik sekarang Caroline akan mengkerut dan jelek. Zayn mengangguk-heran dengan keadaan seperti ini yang entah seperti tak pernah terbayangkan sebelumnya. Pengklaiman Janice Mariana atas dirinya di hadapan seorang pegawai rendahan-mungkin karena itu. Tapi entahlah, ada sesuatu yang berbeda seperti ingin tertawa melihat ketidakenakan yang ada di wajah Caroline.

"Nyonya... er." Caroline berdehem, menyapa Janice namun tidak yakin akan nama sekertaris atau asisten seksi yang pernah ia lihat berjalan mengikuti Zayn ini. Janice mengangguk.

"Mariana, Janice Mariana. Mungkin akan lebih menyenangkan jika dipanggil Mrs. Weston?" jawabnya lantas mendapat tatapan teguran tajam dari Zayn Weston. Caroline meneguk ludah. "er?" bingung.

"Mariana. Miss Mariana." Ia mengoreksi. Caroline mengulangi dan mengangguk sekilas sebagai bentuk sapaan.

"kau-pegawai baru itu kan?" tembak Janice sambil mengerutkan dahi kebingungan, satu kali melemparkan tuduhan telak ke arah Zayn, tapi pria itu menggedikan bahu acuh tak acuh.

"menggantikan almarhum Tuan Edwin, Miss Mariana." Angguknya sopan. Janice berpikir dan wajahnya mengekspresikan sebuah raut keheranan, ada apa pagi-pagi begini ada karyawan yang mendatangi Tuan Weston langsung? sangat mencurigakan.

"Edwin saja, dia seusia denganmu-kurasa. Dan apa yang sedang kau lakukan di sini?" inilah, mungkin ini saatnya Caroline membeberkan kelicikan Zayn yang dengan semena-mena menggunakan kekuasaannya untuk menarik sejumlah uang dari klub tak berdaya milik pria tua yang sedang sakit. Wanita ini harus tahu-pikir Caroline. Tapi ngomong-ngomong, Caroline merasa seperti sedang mengusik kehangatan kehidupan sepasang kekasih di hari libur mereka di pagi hari. Ia berada di rumah ini, turun dari lantai atas dimana Caroline yakin semalam mereka tidur bersama, dengan kata lain wanita sekertaris seksi ini adalah kekasih Tuan Weston, oh atau istrinya? Caroline tidak tahu yang mana. Tunggu dulu, jika Tuan Weston sudah berumah tangga lantas untuk apa ia menyiksa keluarga Cameron hanya karena lelaki itu merayunya? Wahhh semakin tidak benar.

"begini," Caroline berdehem dan berusaha menemukan suara asli miliknya. "begini nyonya," nah itu baru suaranya.

"saya kemari ingin meminta belas kasihan dari Tuan Weston yang sudah menarik semua uang pinjamannya. Karena jujur saja, saya merasa sangat prihatin melihat pemilik club kecil McDonough yang sedang sakit keras dan membutuhkan banyak biaya." Tutur Caroline dengan mantap, tangannya terkepal secara otomatis saat amarah menggerogotinya seperti rayap membayangkan tubuh tua Zed terbaring lemah di atas bangkar rumah sakit.

"dan kenapa bisa demikian?" tanya Janice pada Caroline.

"karena itu uangku dan aku berhak memperlakukannya semauku." Zayn langsung menjawab, Caroline mengerutkan kening. Itu bukan alasan yang kau sebutkan semalam-Weston, bagaimanapun juga awal kisahnya tidak seperti itu. Caroline hendak menyela namun terlebih dahulu Janice mengangkat tangannya lembut juga tegas mengisyaratkan siapapun untuk menutup mulut. "aku mengerti sekarang. Jadi nona...?"

"Caroline Scott-um, Cara saja."

"nona Scott, kedatangan anda kemari untuk meminta Tuan Weston kembali memberikan pinjaman uang?" tegas Janice bertanya layaknya wanita dengan pendidikan tinggi. Sekali lagi Caroline mengkerut oleh ketidaksepadanan posisinya dibanding dua orang beruang banyak di hadapannya. Janice bahkan tidak mau repot-repot memanggilnya dengan sapaan akrab itu seperti orang-orang kebanyakan memanggilnya. Wanita ini pasti tidak suka basa-basi. Caroline memilih mengambil resiko untuk mengarahkan tatapannya pada si tampan brengsek yang sekarang masih berdiri, mata itu menyipit dan kepalanya sedikit miring ke samping-menilai dengan penuh spekulatif. Singkirkan pikiran itu, sampai kapanpun dia tidak akan pernah pantas untukmu. Tersadar, Caroline mengangguk. Sekarang giliran Janice yang melirik cepat ke arah Zayn.

ALONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang