CHAPTER 12

48.2K 1.3K 16
  • Didedikasikan kepada uvi_ajah
                                    

Zayn mulai membuka manik karamelnya yang terasa berat, sejujurnya ia enggan meninggalkan kenyamanan ini hanya saja rasanya salah. Sebuah peringatan keras berteriak tepat di dalam tempurung kepalanya. Di sampingnya, Caroline masih menutup mata kelelahan. Zayn sudah membuatnya bekerja sangat keras malam ini, ia tertidur selama sepuluh menit setelah seks putaran terakhir itu. Bibirnya terangkat menjejakkan sebuah senyum puas, ia yakin rasa penasaran yang menimbulkan pertanyaan tentang pemikirannya yang selalu terarah pada tubuh mungil Caroline sesungguhnya bukan hanya sekedar rasa penasaran. Zayn selalu ingin mengubur kejantanannya di dalam sana, Ya Tuhan… rasanya begitu nikmat dan lengkap ketika mereka beradu dalam gairah. Mulai detik ini, tekadnya semakin bulat, ia tidak akan pernah mau melepaskan Caroline untuk siapapun. Gadis ini hanya miliknya seorang. Tidak ada yang boleh menyentuh Caroline selain dirinya.

Meraih celana jeans, Zayn mengenakannya kembali setelah membuang kondom bekas ke kamar mandi. Ia harus segera kembali ke kamar sebelum gairahnya tak bisa lagi ditahan dan membangunkan Caroline yang malang dari tidurnya. Sebelum itu, Zayn mengumpulkan pakaian Caroline yang bertebaran di tiap sudut ruangan menaruhnya salam satu tumpukan rapih di ujung tempat tidur. Dikecupnya kening Caroline sebelum akhirnya ia keluar dari kamar, sedikit kerutan menghiasi dahinya dan ia tersenyum konyol. Zayn menggelengkan kepala, ada apakah dengan seks dan kecupan romantis di kening? Sangat bukan dirinya, Zayn Weston tidak bercinta, ia hanya bersetubuh. Maknanya sangat jauh berbeda.

“Well?” Zayn langsung tersentak ke belakang ketika tepat di depan pintu kamar Caroline ia mendapati Janice dengan setelan satinnya bersedekap menatapnya dengan tatapan menuduh. Sialan, kenapa Zayn lupa bahwa Janice Mariana berada di rumahnya sejak petang tadi? Bukankah Marco sudah memberitahunya bahwa Janice memaksa menginap dan memohon pada Serena yang kemudian langsung menghubungi Marco yang bertugas mengikuti mobil tuannya. Zayn benar-benar lupa, itu artinya Janice sudah ada di sini sejak pertama kali dirinya dan Caroline masuk rumah. Caroline membuatnya lupa akan segalanya.

“Apa?” jawab Zayn dingin seperti biasa seraya menutup pintu sepelan mungkin di belakangnya. Ia bertelanjang dada, karena kemejanya masih berkumpul dengan pakaian Caroline di atas tempat tidur. Jeansnya menggantung rendah di pinggul, menampilkan garis V dan bulu pubish panas membuat siapapun rela melakukan apapun untuk menjulurkan lidahnya di sana.

“Kau melakukannya.” Tuduh Janice. Zayn berjalan menjauh, menuju kamarnya.

“Melakukan apa?” jawabnya lagi, acuh tak acuh.

“Zayn!” bentak Janice, Zayn menoleh menatap Janice yang jengkel terbakar amarah. Zayn mengerutkan kening, khawatir teriakan Janice akan membangunkan Caroline. Wajah gadis itu mulai bergetar, bibirnya bergerak seperti akan segera menangis, sebelum semuanya berantakan dan ketentraman rumah pada dini hari menjadi lenyap, Zayn menyeret lengan Janice dan masuk ke dalam kamar tamu di samping kamarnya. Zayn mendorong Janice masuk bersamanya dan mengunci pintu lantas ia berbalik, dan benar saja Janice menangis, bahunya bergetar. Menggelikan sekali, Janice tak pernah menangis sebelumnya—berdasarkan apa yang ia ketahui selama ini.

“apa sih yang kau tangisi? Berhenti bertingkah seperti anak kecil.” Tegas Zayn tidak sabar. Sekarang ia berhak berteriak sekeras mungkin atau membunuh Janice sekalian karena mereka berada dalam satu ruangan tertutup dan pintu terkunci rapat. Ia tahu dengan tangannya, Janice bisa ia buat seperti apapun.

“kau tidur dengannya, kan? Jawab aku!” Wajah gadis itu memerah kecewa. Jawaban atas pertanyaannya sungguh mengecewakan yaitu kerutan geli yang terukir di wajah Zayn. Pria itu berkedip.

ALONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang