CHAPTER 22

35K 1K 22
                                    

Belum diedit, udah mulai terbiasa kan nemuin banyak typo? Uh my bad -,- really sorry!





Darah meninggalkan wajahnya, Zayn terdiam dan jelas terlihat shock seperti baru saja mendapat berita besar, well sangat besar. Pupilnya membesar serta iris karamelnya yang biasanya mengancam kini tampak kehilangan kesadaran. Sudah sangat lama, sejak dulu Zayn ingin sekali menjauh dari wanita ini. Ia tidak mau lagi memiliki ketergantungan dengan Rebecca. Selamanya.

Jika Rebecca tahu bagaimana detailnya... tidak!

"oleh karena itu aku ingin sekali bertemu denganmu. Aku mencemaskanmu." Sekali lagi adalah tidak, Zayn mengangkat tangannya ke depat untuk membuat agar Rebecca mundur saat wanita itu berjalan ke arahnya. "aku tahu menemukanmu tidaklah sulit karena semua orang mengenal Tuan besar Zayn Weston. Tapi aku tahu kau tidak akan mau menemuiku."

"jika kau sudah mengetahuinya, apa yang akan kau lakukan? Melaporkanku? Percuma saja, semuanya bersih. Tidak ada jejak yang aku tinggalkan." Ancam Zayn. Wanita yang dua puluh tahun lebih tua darinya itu menggelengkan kepalanya, melaporkannya? Tidak, itu adalah hal terakhir yang akan ia lakukan di dunia ini. Jika ia ingin membuat Zayn mendekam di dalam penjara seharusnya sudah sejak dulu saat kasus yang menimpa putrinya, Meredith, tapi yang Rebecca lakukan justru membantunya bebas dengan memberikan tebusan dan menandatangani surat pencabutan tuntutan.

"aku hanya ingin melihat keadaanmu, memastikan bahwa kau baik-baik saja."

"fuck, aku baik-baik saja."

"tapi kau mabuk berat tadi malam."

"aku mabuk setiap malam! Kau tahu aku belajar dari seorang wanita yang sangat handal." Kata-katanya menusuk perasaan Rebecca, faktanya, dialah yang mengajarkan semua hal itu pada Zayn.

"baiklah aku minta maaf, ok? Jangan marah padaku." Zayn hanya menatapnya kaku sembari mengatur nafasnya yang cepat akibat diburu amarah. Ketika pria itu hendak beranjak melangkahkan kakinya, Rebecca diliputi perasaan panik luar biasa, Zayn marah padanya.

"dengarkan aku, jangan marah, Zayn." Zayn menepis tangan Rebecca yang meraih lengannya, ia segera mencari tangga dan berjalan turun, sialan Marco, kemana sopir sialan itu? ia berhenti di bawah tangga dan merogoh saku celananya, menggeser kunci ponsel dan mengetik sebuah nomor.

"Zayn kumohon. Dengarkan aku." Rebecca turun dari tangga dan kembali meraih lengannya, Zayn tak terganggu sedikitpun, ia hanya fokus pada nada sambung yang tiada henti. Rebecca seperti kesetanan, ia akan melakukan apapun agar Zayn tidak sedingin ini padanya.

"seseorang memberikan semua detailnya padaku." Celetus Rebecca, tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan agar membuat Zayn mau mendengarkan kata-katanya. " dia tahu Harriot adalah keponakanku, dia juga tahu bagaimana masa lalu kita, juga tentang kau dan Meredith. Dia-"

"katakan. Siapa?" tuntutnya.

"sejak telepon itu kami memiliki sebuah kerja sama. Dia membantuku memantau keadaanmu." Ponsel yang semua ia genggam kini jatuh di lantai, pecah berkeping-keping dan tangannya terkepal geram ingin membunuh, ia mencekik leher Rebecca, wanita itu tersedak oleh nafasnya sendiri, ia berusaha melepaskan diri dari cekikan pria itu.

"katakan Rebecca, siapa yang memberitahumu?" Zayn menggeram tepat di depan wajah pucat wanita itu, matanya membelalak karena lehernya tercekik begitu keras. Suara yang ia keluarkan hanya berupa permintaan tolong yang terbata-bata. "Z-Zayyyn-tolong, Za-zayn, leppask-"

ALONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang