1. ZULKIFLI

181 31 0
                                    

SUNDARI POV

Namaku Meisya Sundari, tapi Zulkifli --kekasihku-- lebih suka memanggilku Sundari, katanya lebih serasi disandingkan dengan namanya.

Kami berkenalan ketika mobilku mogok di hari pertama aku masuk kerja. Tak ingin terlambat, aku menyuruh sopirku naik ojek dan mengurus mobil itu. Aku melanjutkan ke kantor naik ojek tadi.

Sampai di kantor, kuserahkan helm yang kupakai dan mengambil dompet di tas selempangku. Lalu aku terkejut, astaga! Waktunya ke ATM, uang tunaiku tinggal belasan ribu saja, tidak cukup untuk membayar ojeknya.
"Mas," kataku malu, "Mas kan sudah tahu rumah saya. Itu loh, tempat jemput sopir saya tadi."
"Maksudnya?" Ia memandangku tak mengerti.
"Maaf, Mas, ternyata saya tidak membawa uang tunai yang cukup, dan ini sudah mepet jam masuk kantor, tidak sempat lagi ke ATM. Saya minta nomor rekening Mas, nanti saya transfer."
Wajahnya menyiratkan keraguan.
"Nama saya Meisya," aku memperkenalkan diri, "nomor ponsel Mas berapa?"
Ia mendiktekan dua belas angka, dan aku melakukan panggilan yang kututup setelah mendengar nada dering ponselnya.
"Itu nomor saya, dan saya bekerja di kantor ini." Aku menyebutkan nama perusahaan tempatku bekerja.
"Silakan kirim nomor rekening melalui SMS atau WhatsApp, dan saya segera transfer hari ini juga, tidak pakai nginap."
Ia mengangguk dan menstarter motornya.
"Mas," panggilku sebelum ia berlalu, "namanya siapa?"
Tidak sopan! Saat aku menyebutkan namaku tadi, ia tidak balas menyebutkan namanya.
"Saya Zul. Zulkifli."

***

Hari pertama bekerja, aku sangat sibuk, tak ingat untuk menghubungi Zul, dan pemuda itu juga tidak mengirimkan nomor rekeningnya. Sore aku dijemput sopir, kecapaian, tertidur di mobil.

"Besok jangan menyetir sendiri," kata Mama, "diantar sopir atau naik taxi saja. Bahaya kalau kamu ngantuk saat pulang."
Iya sih, kantorku di bilangan Sudirman termasuk jauh dari rumah di Cinere.
"Ma," aku merengek manja, "naik taxi boros. Belum gajian sudah tekor. Dan tidak enak dengan teman-teman. Karyawan baru sok kaya, pulang pergi naik taxi. Lagian gajiku bisa habis untuk naik taxi."
"Lalu bagaimana? Mau naik ojek?" goda Mama sambil tertawa.
Aku jadi ingat Zul, dan hutangku.

Bergegas aku mandi, makan malam, lalu masuk ke kamar. Menelepon Zul.
"Siapa ini?" tanya perempuan yang menerima teleponku, "Zul sedang mandi."
"Saya Meisya. Nanti saya telepon lagi."
Ponsel adalah benda pribadi, pasti perempuan itu istrinya.

"Ibuku," kata Zul, ketika aku telepon lagi satu jam kemudian. Aku tak percaya.
Pemuda itu menghabiskan waktu lebih dua jam untuk meyakinkanku tanpa hasil. Aku juga bingung, untuk apa ia memberikan penjelasan. Tak penting. Aku kan bukan istrinya.
"Besok pagi aku akan menjemputmu," janjinya, "sore akan kujemput di kantor dan kubawa mampir ke rumah, kuperkenalkan dengan ibuku."
Ck! Gaje!

Besoknya, aku ke kantor diantar Zul, begitu juga pulangnya.
Aku menolak mampir ke rumahnya. Buat apa? Tapi pemuda itu memaksa.
"Rumahku tak jauh dari sini."
Ck!
"Aku mau cepat pulang, sudah lapar."
"Aku traktir makan dulu, ya," bujuknya.

Kami makan di sebuah warung sate.
"Buat apa sih mengenalkan aku ke ibumu?" tanyaku sambil menunggu pesanan dihidangkan.
"Maaf, ya, Mbak. Kemarin waktu Ibu tanya, dengan gugup aku bilang Mbak Meisya pacarku," jawabnya malu-malu, "lalu Ibu minta ajak Mbak ke rumah, pengen kenal."
Aku tertawa. Zul sudah menolongku kemarin, tak ada salahnya aku ganti menolongnya sore ini.
"Oke," aku menyetujui, dan ia tersenyum lebar.

Di jalan aku menceritakan lebih banyak tentang diriku. Anak tunggal, Papa punya istri muda di Perth. Bisnisnya di sana, tapi sebulan sekali ia datang menengokku.

Zul tinggal di rusun lama daerah Tanah Abang. Bangunan empat lantai tanpa lift, dan ia tinggal di lantai teratas.
"Maaf membuatmu capai. Mau kugendong?" ia menawarkan ketika langkahku semakin pelan dan napasku ngos-ngosan.
"Mengapa pilih di atas?"
Masih satu lantai lagi. Ia jongkok di depanku dan menyuruhku naik ke punggungnya.
"Satu, pemandangannya luar biasa," jawabnya, mulai melangkah naik tangga, "dan sewanya paling murah."

Zul belum sempat menurunkanku ketika pintu unitnya terbuka. Seorang perempuan setengah baya menatapku tak senang.
"Bu," ia mencium tangan perempuan itu, "ini Sundari."
Tadi aku sudah menyebut Nama lengkapku.

Aku meniru Zul mencium tangan perempuan itu, tangan kirinya mengusap rambutku.
"Ibu mau kemana?"
"Beli lauk untuk makan malam. Tadi tidak masak, vertigo kambuh."
"Ini Zul belikan sate ayam untuk Ibu."
Zul meraih kresek di tanganku dan menyerahkannya.
"Mana cukup untuk bertiga?" sahutnya setelah sekilas melirik tusuk sate yang menyembul.
"Hanya untuk Ibu. Kami sudah makan di sana tadi."

Unit Zul punya dua kamar yang sempit, hanya satu yang berjendela menghadap ke luar. Dapurnya --lebih cocok disebut pantry karena kecil-- minimalis. Ada meja kecil yang bisa dilipat dan dua kursi tanpa sandaran.
Ruang tamu merangkap ruang keluarga, berisi sofa L. Kamar mandi tanpa bak, hanya shower. Kloset duduk dilengkapi kran pendek, tanpa jet washer. Ada timba dan gayung, tak ada wastafel.

"Setrikanya dimana?" tanyaku kepo.
"Di meja makan itu," ibu Zul menjelaskan dengan semringah, mungkin dianggapnya aku serius dengan anaknya.
"Menyiapkan masakan juga di meja itu, jadi ya multi fungsi," lanjutnya.
Ruang tamu itu punya balkon yang digunakan menjemur pakaian. Hatiku bertanya-tanya nyucinya dimana? Ah mungkin ada mesin cuci yang dipakai bersama di bawah, pikirku.
Ibu Zul makan sendiri tanpa sungkan. Aku menunggunya selesai untuk berpamitan.

Hari-hari berikutnya aku tetap diantarjemput Zul, berlangganan ojek. Pulangnya selalu makan malam. Pemuda itu tahu tempat makan enak kelas kaki lima.
Zul selalu membayar makan malam kami, alasannya ia membawakan untuk ibunya. Karena itu aku juga bersikeras membayar uang ojek, karena itu sumber penghasilannya.
"Mana ada antar jemput pacar sendiri dibayar?" elaknya tertawa.
"Tapi kita kan tidak pacaran, Zul."
"Kalau begitu, kita pacaran saja."
"Oke," kataku seolah setuju, "mulai besok aku cari ojek lain ...."
"Eits, jangan!" serunya cepat menarik uang di tanganku.

Aku semakin akrab dengan Zul, benar-benar seperti pacaran. Sampai suatu hari kami kehujanan, berteduh di sebuah halte bis kota.
"Dingin, ya?" ia melepaskan jaketnya dan menyampirkan di pundakku.
"Maaf, jas hujanku hanya satu, belum beli lagi."
"Model kelelawar?"
"Ya."
Aku menengadah, mendung gelap masih membentang di langit senja.
"Berarti bisa dipakai berdua. Yuk!"

Zul memakai jas hujan itu dan aku memeluknya erat. Hujan sudah reda ketika kami mendekati kawasan Cinere. Aku berniat mengurai dekapanku, tapi tangan kirinya menarik tanganku, isyarat supaya aku tetap di posisi itu.

Sampai di gerbang rumah, aku menawarkan masuk. Ada baju Papa yang bisa dipakainya. Ia menolak tanpa memberikan alasan.
Namun ... ketika melepaskan jas hujan, aku tahu sebabnya. Dadaku yang menempel tanpa jarak di punggungnya telah membangkitkan macan tidur.

Surabaya, 20 Februari 2022
#NWR

MEISYA DAN SUNDARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang