Dari istri kedua, Papa memberikanku dua adik cowok, masih SMP.
Walaupun di sana ada sekolah berasrama, Papa lebih suka bertemu anak-anaknya setiap hari. Masalah muncul ketika istrinya sakit dan harus dirawat di rumah sakit, tak ada yang mengurus rumah dan kedua adik tiriku.
Aku sudah dewasa, bahkan sudah bekerja. Karena itu Mama pergi ke Perth untuk mendukung Papa, meninggalkanku sendirian di rumah besar ini.Sementara itu, hubunganku dengan Zul berubah setelah hujan-hujanan itu. Setiap hari ia memintaku memeluknya saat dibonceng. Pemuda itu tidak menyatakan cinta, tidak mengajak pacaran, hanya tatapannya yang berubah menjadi ... penuh cinta ... dan kulihat tonjolan di celananya ketika meninggalkanku.
Sendirian di rumah, Zul tak menolak kuajak mampir, bahkan ia membawa pakaian ganti.
Sesampai di rumah, Zul akan mandi di kamar mandi tamu, dan aku di kamarku. Kemudian kami makan malam.
"Makan di rumah lebih sehat daripada makan di warung tenda," katanya, "salahkan aku yang tak mampu mengajakmu makan di resto mahal."
"Yang kita makan selama ini, aku suka kok," kubesarkan hatinya.
"Ibuku tak percaya kau menyukainya," sahutnya tersenyum, "dianggapnya orang kaya tak akan sudi makan di pinggir jalan. Aku senang kau tidak sombong dan mau menyesuaikan diri denganku."Zul memegang kedua tanganku.
"Aku mencintaimu, Ndari," bisiknya, kuatir aku menolaknya, "maukah kau menjadi kekasihku, dan kelak menjadi istriku, ibu dari anak-anakku?"
Aku mengangguk pelan, aku juga menyukai driver ojol ini. Mata Zul berbinar bahagia, kedua tanganku diciuminya.Kami mengobrol di ruang tamu, jauh dari mata dan telinga para pembantu.
"Ndari," panggilnya, "bolehkah aku menciummu?"
Aku diam tak menjawab. Pemuda itu menarik tanganku supaya tubuh kami mendekat, lalu memelukku. Diusapnya bibirku dengan jarinya sebelum menggesekkan bibirnya. Kemudian Zul melumat bibirku. Sepertinya ia belum pernah berciuman, terasa kaku sekali.Aku selalu menawarkan Zul membawa masakan untuk ibunya. Ia menolak, karena pulangnya selalu larut malam. Pasti ibunya sudah makan, bahkan sudah tidur. Rata-rata Zul pulang jam sembilan malam, bila tak ada hambatan. Seringnya kami melanjutkan mengobrol di teras, lalu di pintu pagar, sama-sama enggan berpisah.
"Kapan ya, aku tak lagi pulang ke rumah lain?" keluhnya menciumku ketika berpamitan di suatu malam.
"Tergantung kamu," jawabku, "kapan menikahiku?"
"Secepatnya. Aku sedang menabung."
"Kalau kita tinggal di sini, ibumu sendirian dong?"
"Tidak bisa begitu, kau ikut aku tinggal bersama ibu. Lokasinya juga lebih dekat ke kantormu."
Aku tak keberatan tinggal di rusun kecil itu, tapi membayangkan tiap hari turun naik tangga dari dan ke lantai empat ....Awalnya kami hanya mengobrol setelah makan malam, tapi sejak ciuman pertama itu aktivitasnya berubah, lebih banyak grepe-grepe di sofa.
Akupun tak lagi memakai pakaian dalam setelah mandi, supaya lebih terasa saat digerayangi dan diremas. Aku mengenakan tank top, yang mudah disingkapkan ke atas, memamerkan bukitku yang mengkal. Zul paling suka mengisap puncaknya, membuat tonjolan di celananya menggila."Sayang," bisiknya dengan suara serak, "kita harus segera menikah. Aku kuatir tak bisa menahan diri dan memperkosamu di sini."
"Apa sih yang nggak bisa ditahan?" godaku. Padahal aku tahu pasti yang dimaksudkannya.
"Ini," katanya menarik tanganku untuk menangkup pusakanya.Astaga! Sejak kapan ia membuka resleting celananya?
"Zul!" pekikku, "ka ... kau?"
"Ularku ingin menjelajah semak-semakmu, Ndari. Memasuki gua kenikmatanmu ...."
"Zul! Aku tak mau melakukannya sebelum menikah."
"Bantulah aku, Sayang, dengan tanganmu."
Zul menurunkan celananya melewati pinggulnya, lalu membimbing tanganku untuk mengocoknya."Se ... segini besarnya ...," desisku agak takut, "apa muat?"
Zul tersenyum lebar.
"Pasti muat!" katanya dengan yakin.
"Kau sudah pernah melakukannya?"
"Ya, waktu baru akil balig, dengan bibiku."
Zul mengerang ketika tanganku terus bergerak dari pangkal sampai ke ujung, bolak-balik.
Agak lama aku merasakan ularnya berkedut dan ia masih sempat meraih tissue untuk menampung cairan putih lengket yang disemburkan ularnya.Setelah yang pertama, kegiatan itu menjadi kebiasaan. Setiap hari kami melakukannya, sampai suatu hari ....
"MEISYA!"
Aku sangat terkejut mendengar bentakan Mama. Kapan beliau pulang, kok aku tidak tahu?
Untungnya kali ini Zul tidak membuka pakaiannya sama sekali, aku segera menurunkan tank top yang tersingkap sampai ketiak."Ma ...," panggilku, "kapan Mama datang? Kok tidak kasih kabar?"
"Kalau meneleponmu, Mama tidak bisa memergoki perbuatanmu ini," gerutunya.
"Siapa dia?"
"Zulkifli, Ma, pacar Meisya."
"Hmm."Zul mengulurkan tangan, tapi Mama mengabaikan ajakan berjabat tangan itu. Memandang pemuda itu dari atas ke bawah, menerka-nerka.
"Dia bukannya ojek langganan yang tiap hari antar jemput?"
"Dulu, Ma, sekarang kami pacaran."
"Pacaran apa?" Mama mendengkus, "pakai nyosor payudara? Hah?""Mulai besok kamu diantarjemput pakai mobil, tidak boleh naik ojek. Tidak elit sama sekali!"
"Ma ...."
"Apa? Takut kena macet? Ya, berangkat lebih pagi!"
"Dan kau ...," Mama menunjuk Zul, "silakan pulang, tak perlu datang lagi."
"Ma ...."Zul keluar dengan menundukkan kepala. Walaupun Mama menahan diri tidak mengucapkan kata-kata kasar, yang diucapkannya menyakiti hati Zul. Apalagi dia diusir. Aku tak bisa membelanya.
"Ma, Meisya mau tetap naik ojek," kataku setelah Zul pulang.
"Pilihannya, diantarjemput mobil atau pindah ke Perth."
"Loh, kok ke Perth?"Surabaya, 21 Februari 2022
#NWR
KAMU SEDANG MEMBACA
MEISYA DAN SUNDARI
Romanceditulis berdasarkan video di Facebook, disadur ke dalam cerita berlokasi di Indonesia. Tentang Meisya Sundari dari keluarga kaya berpacaran dengan Zulkifli dari kalangan bawah. Ketika sedang galau karena desakan keluarganya untuk menikah dengan reka...