26. MALAM PERTAMA TARA

170 22 0
                                    

"Ada apa, Rina?" ketus Valent menjawab telepon sekretarisnya.
"Maaf, Pak, mengganggu. Pak Zein minta waktu ketemu Bapak besok pagi-pagi," sahut Rina, agak takut mendengar nada suara atasannya.
"Jam berapa?"
"Kalau bisa jam delapan, Pak. Kebetulan besok pagi sampai tengah hari jadwal Bapak masih kosong."
"Jam sepuluh saja," gerutu Valent, "pesankan snack untuk teman minum kopi."

Valent sangat kesal dengan gangguan telepon dari Rina, tapi tak bisa mengabaikan. Sambil cemberut ia memakai pakaiannya kembali, hilang sudah gairahnya karena interupsi itu.
Tara sangat lega melihatnya, diluputkan dari pemaksaan. Hanya sebentar, karena laki-laki itu tak segera pergi.
"Aku pulang," pamit Valent, "tapi aku akan kembali. Aku masih ingin bercinta denganmu, Tara."

Tara tersenyum samar melihat Valent akan pulang. Ia berusaha menyembunyikannya, sayangnya masih terlihat oleh mata tajam pemuda itu.
"Kau senang aku pergi?" gugat Valent.
Tara tergagap, tak mampu menjawab. Iya ataupun tidak, kedua jawaban itu sama-sama berisiko.

Valent melangkah mendekat, menarik Tara ke dalam pelukannya. Dibelainya tubuh telanjang itu penuh kasih sayang.
Tara menggeliat, dan gerakannya membangunkan bagian badan lelaki itu yang tadi sudah tertidur.
Perempuan itu merasakannya, menyodok perut. Ia mengangkat kepala memandang Valent, dan disambut dengan ciuman. Bibir lelaki itu memagutnya penuh hasrat, dan Tara tak bisa mengelak.

Sambil terus mencium, Valent melepaskan pakaiannya kembali. Didorongnya Tara telentang di ranjang dan ia merangkak ke atasnya, menindihnya.
Bibirnya menjelajah turun ke leher, lalu ke dada, mengecup kemudian mengulum puncak bukit kenyal gadis itu.

"Aaah .... Valent .... Valent," desah Tara, berusaha meredam gairah yang dibangkitkan lelaki itu.

***

Turun dari atas Tara setelah menyemburkan muatan, Valent tergeletak di samping gadis itu. Bibirnya menyunggingkan senyum puas. Ternyata nikmat bercinta dengan Meisya dan kloningannya bisa berbeda. Meisya lebih menjepit dan goyangannya membuatnya ingin menambah lagi. Tara lebih sempit, tapi kentara pengalamannya tidak sebanyak Meisya.

Tara cemberut. Pikirannya beralih dari kepuasan yang baru direguknya, membandingkan dengan Kevin.
"Menyesal? Hmm?" bisik Valent menggigit cuping telinga gadis itu.
Tara bergeming.
"Apakah aku tak memuaskanmu?"
Tangan Valent menyusuri lekuk-lekuk tubuh Tara, berusaha membangkitkan gairah gadis itu.

Saat itu ponsel Tara berdering, panggilan video dari Kevin. Panik kuatir ketahuan, dibawanya ponsel ke kamar mandi.
"Haa ... haallooo ...," disahutinya telepon itu dengan suara bergetar.
"Tara! Mengapa tak mau menunjukkan wajahmu?"
Tara meletakkan ponsel di meja wastafel ketika melihat cupang di lehernya. Ia belum berpakaian, tak ada yang bisa dipakainya menutupi leher yang memerah.
"Aku di kamar mandi, Kevin, nanti aku telepon balik, ya?"
Lelaki itu tertawa.
"Aku sudah pernah melihat semuanya, meraba setiap lekuknya .... Mengapa kau sekarang malu?"
"Kevin .... Low bat, aku harus charge ponselku, nanti kutelepon."
Tanpa menunggu jawaban Tara menekan tombol off.

***

Tara yang asli, sepupu Valent, seorang yang kuper. Temannya tidak banyak, apalagi teman cowok.
Rumah orang tua mereka di Bandung bersebelahan. Belajar di sekolah yang sama, Valent menjadi pelindung gadis itu, selalu menolong bila ada yang merundungnya.
Tumbuh besar bersama menyuburkan cinta di hati pemuda itu, tapi ia tak berani menyatakannya, kuatir kedekatan mereka mempengaruhi hubungan keluarga besar.

Valent sudah kuliah di Jakarta ketika Tara lulus SMA. Pemuda itu pulang untuk menghadiri perayaan kelulusan sepupunya, sayangnya gadis itu tidak berhasil ditemuinya, terlalu sibuk dari satu pesta ke pesta lainnya.

Sementara itu Tara berada di sebuah klub malam. Hatinya senang bukan karena masuk peringkat lima besar, tapi karena merasa diterima teman-temannya.
Malam itu adalah perayaan terakhir, setelahnya mereka akan bersiap mendaftar ke perguruan tinggi.
Tara belum pernah mengecap minuman beralkohol, ia memesan jus jeruk walaupun ditertawakan teman-teman barunya. Teman-teman satu sekolah yang selama tiga tahun mengabaikannya, dan baru saja memperhatikannya.

Tanpa setahu gadis kuper itu, teman-temannya mengadakan taruhan, siapa yang bisa mengajaknya tidur. Salah satu diantara mereka curang, memasukkan obat perangsang ke dalam minumannya.
Lewat tengah malam, tak lama setelah menghabiskan jus jeruk di gelas terakhirnya, Tara merasa pening.
"Aku mau pulang," pamitnya setelah melihat jam tangannya, dan terkejut menyadari waktu berlalu sangat cepat.
"Ayo, kuantar," sahut Bram, dengan sigap ikut berdiri dan menggandengnya ke arah pintu keluar.

Pemuda itu masih sempat mengedipkan mata ke teman-temannya, dan memberi kode kemana ia akan membawa Tara. Diam-diam empat orang pemuda membuntuti mobilnya.
Beruntung Valent yang suntuk datang ke klub itu, mereka berpapasan di pintu masuk. Merasa curiga melihat kondisi Tara, pemuda itu membatalkan niatnya, malah mengajak sahabat-sahabatnya mengikuti pasangan itu.
Di jalan, mereka melihat empat pemuda berboncengan motor membuntuti mobil yang membawa Tara.

Teman-teman Valent ikut kuatir ketika mobil Bram berbelok masuk ke halaman sebuah hotel. Sebelum pemuda itu mengajak Tara masuk, teman-teman Valent membajak Tara dan memindahkannya ke mobil mereka. Bram tidak berani melawan karena ia sendirian, teman-temannya belum datang.

Valent diantar pulang, dan ia terpaksa membawa Tara ke rumahnya. Sudah pukul dua dini hari, akan timbul keributan bila ia mengantar ke rumah si gadis.

***

Ketika Tara membuka mata, matahari sudah tinggi. Cahayanya menerobos masuk celah-celah gorden jendela.
Gadis itu merasa asing dengan dekorasi dan aroma maskulin kamar itu. Diingat-ingatnya yang terjadi malam sebelumnya, minum jus jeruk di klab malam dan tak sadarkan diri.

Ia menoleh ke samping dan melihat seorang pemuda tidur menelungkup tanpa busana.
"Apa yang sudah terjadi?" pikirnya panik, "apakah tadi malam ...."

Dan Tara merasakan pegal-pegal di sekujur tubuhnya, terutama di area intimnya.
Membuka selimut yang menutupinya, ia memekik tertahan. Kemana pakaiannya?

"Valent," desisnya mengenali pemuda yang masih pulas di sampingnya.
Seingatnya, kemarin ia pergi dengan teman-teman SMAnya, tidak bertemu sepupunya. Bagaimana bisa?

Ia menyibak selimut dan memeriksa seprei, tak ada bercak darah seperti yang teman-temannya ceritakan setelah kehilangan keperawanan.
Belum sempat menarik napas lega, matanya melihat darah yang mengering di pahanya. Berarti ia benar-benar melakukannya, dengan Valent.

Surabaya, 20 Mei 2022
#NWR

MEISYA DAN SUNDARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang