10. SIMPANAN PAPA

179 26 0
                                    

POV ZEIN

Lulus kuliah bisnis di Sidney aku dipanggil pulang, bersiap menggantikan Papa. Kupikir suami Mama itu sakit-sakitan, ternyata masih gagah dan segar bugar. Kenapa mengganggu kesenanganku di benua Kanguru?

Setelah meninjau sekian kantor Papa dengan berbagai bidang kerja, aku masih belum bisa memutuskan memegang yang mana. Papa membebaskanku memilih.
Siang itu aku ikut ke kantor pusat di Sudirman CBD. Sementara Papa meeting dengan rekan bisnisnya, aku minta Sekretarisnya memanggil Manager Keuangan membawa Laporan Triwulan terakhir.

"Masuk," sahutku menjawab ketukan pintu ruang kerja Papa. Suaraku angkuh, tak ingin direndahkan manager yang sudah lama bekerja di sini.
Seorang gadis berambut sebahu dengan polesan make up natural masuk. Aku terpukau memandangnya.
Cantik, batinku, sementara mataku menjelajah tubuhnya. Ia memakai blus lengan pendek berwarna nude, kancingnya di depan, membuat tanganku gatal ingin membukanya. Dadanya membusung, tapi mungkin efek push up bra. Mataku menyipit membayangkan puncaknya yang pas di mulut saat aku mengulumnya.
Blus itu dimasukkan ke dalam rok pensil berwarna coklat tanah, tanpa ban pinggang, tanpa ikat pinggang. Rok itu sepuluh senti di atas lutut, membuat tanganku ingin mengelus pahanya, naik hingga ke pangkal dan menggoda area sensitifnya. Aku berusaha keras menahan air liurku.
Betisnya ramping dan kelihatan berotot, mungkin karena ia memakai sepatu dengan hak tujuh senti.

"Met siang, Pak," suara merdu mengalun ke telingaku, membuyarkan pesonanya, "ini laporan yang Bapak minta."
"Oh, eh, ya," aku tergagap, menaikkan pandangan kembali ke matanya.
Sialan! Aku tak pernah seperti ini sebelumnya.
"Terima kasih. Siapa namamu?"
"M. Sundari," aku membaca name tag di dadanya, "M itu kepanjangannya apa?"
"Meisya, Pak."
Bibir berwarna natural itu bergerak menjawab, menggodaku ingin mengecupnya.
"OK, aku periksa dulu. Bila perlu, nanti kaupanggil."
"Ya, Pak. Saya permisi."

Meisya Sundari membalikkan badan dan berjalan menuju pintu. Mataku langsung memindai bagian belakangnya.
Seperti dugaanku, pantatnya bulat padat, mengundang tanganku meremas. Dan pergelangan kaki bagian belakangnya ramping.
Aku sudah membuktikan kata teman-temanku, perempuan seperti itu legit, goanya sempit.
Aduh, membayangkan masuk ke tubuh Meisya membuatku mengeras.

Aku belum selesai memeriksa laporan itu ketika Papa masuk. Bukan karena banyak yang tak kumengerti, tapi karena pikiranku tidak fokus. Aku menginginkan Meisya. Aku bertekat mendapatkannya.
"Bagaimana?" tanya Papa, "kau sudah berkeliling ke semua kantor cabang. Mana yang kaupilih menjadi kantormu?"
"Di sini saja, Pa," jawabku mantap.
"Cabang-cabang bisa dipantau dari pusat, tapi pusat harus bisa mengendalikan semuanya."
Papa setuju.

***

Sebulanan aku fokus mempelajari kondisi perusahaan, tanpa lalai memperhatikan kedua orang tuaku. Beberapa kali seminggu Papa pulang larut malam, padahal tak ada janji dengan rekan bisnis. Aku tahu pasti karena sudah cek ke Sekretarisnya.

"Papa pasti punya simpanan," kata Mama.
"Kenapa dibiarkan?"
"Dulu sudah pernah kulabrak, tapi Papa mengancam menceraikan Mama."
Aku mengepalkan tangan.
"Tapi Papa pembosan kok, dua tiga bulan ganti."
"Darimana Mama tahu?"
"Dua tiga bulan sekali Papa pulang setengah mabuk. Itu berarti dia pergi ke club malam, mencari simpanan baru."
"Mama sudah tak bisa lagi memuaskannya?"
"Tubuh Mama memang terjaga bentuknya, tapi bagian intim itu tak lagi kenyal. Sejak menopause Mama kesakitan setiap kali skidipapap. Mama memang menyuruh Papa mencari perempuan di luar untuk menampung hasratnya."
"Hmmmm. Mereka akan mencari kesempatan mendapatkan uang dari Papa."
"Biarkan saja. Selama tidak dinikahi, mereka tak bisa menguasai harta keluarga kita."

"Tiga kali seminggu ini, Ma!" seruku tak terima dengan kepasrahan perempuan yang telah melahirkanku.
"Apakah Edwin dan Revan juga tahu?"
"Mereka hanya tahu Mama Papa pisah kamar."
Ah ya, aku tak memperhatikan Hal ini.
"Mengapa pisah kamar? Keinginan Papa?"
"Mama yang mau. Tengah malam Papa sering bangkit gairahnya, Mama selalu kesakitan melayaninya ...."
"Hmmmm ...."
"Tapi dulu Papa hanya sekali dua kali sebulan. Akhir-akhir ini menjadi tiga kali seminggu, walaupun tak pernah menginap."
Aku bertekat menyelidikinya.

Dimulai dari keuangan perusahaan dan cabang-cabangnya, tak ada aliran dana mencurigakan.
Tak mungkin perempuan simpanan mau ditiduri gratis, pasti meminta imbalan. Aku memancing-mancing Papa, punya rekening pribadi di bank mana saja. Menggunakan koneksiku untuk memeriksa rekening Papa, tapi tak menemukan kejanggalan.

Sementara itu aku mendekati Meisya, hampir setiap hari mengajaknya makan siang. Berusaha mengantarnya pulang, tapi selalu ditolak.
Suatu hari aku sakit kepala. Tak sanggup menyetir sendiri, aku memanggil sopir Mama. Ketika menunggu di drop off, Meisya berjalan keluar gedung.

Langsung hilang sakit kepalaku. Aku mengikutinya sambil menelpon si sopir, menyuruhnya menunggu.
Gadis cantik itu menuju gedung apartemen di bagian lain komplek ini. Tak seberapa jauh, pantas saja ia berjalan kaki.
Ia masuk ke satu lift. Aku menunggu sambil memperhatikan nomor-nomor lantai, sampai lampu berhenti agak lama di satu lantai.

Aku ke resepsionis, menanyakan apakah di lantai tersebut ada unit atas nama Papa. Kalau ada, aku ingin tinggal di situ.
"Ada, Pak. Ditempati putrinya."
Putri? Aku tiga bersaudara lelaki semua. Pasti ini tempat simpanan Papa. Pucuk dicinta ulam tiba. Membuntuti Meisya malah menemukan simpanan Papa.
"Bapak siapa, ya?"
"Saya calon menantunya. Kami sedang bertengkar dan ia menghilang dari rumah."
"Menghilang? Pak Sastro sering mengunjunginya, kok."

Resepsionis itu tak mau menyebutkan nomor unitnya, tapi berbaik hati memberikan nomor lantai. Kok sama dengan lantai tempat Meisya, ya?
Aku naik lift ke lantai itu, ada sepuluh unit. Tak mungkin kuketuk satu-persatu, nyari siapa?
Nasibku mujur, ketika pintu lift sedang menutup aku melihat Papa keluar dari lift di seberangku. Cepat kutekan tombol membuka pintu, dan mengawasi ke unit mana Papa masuk.

Keluar tower itu aku mengamati sekeliling. Unit milik Papa itu menghadap ke tower lain. Kalau aku tinggal di sana, di lantai yang sama, aku bisa memata-matai Papa.
Sekali lagi nasib baik berpihak kepadaku. Ada unit dijual, jendelanya persis berhadapan dengan unit yang kucurigai ditempati simpanan Papa. Aku langsung membelinya, tunai!

Perempuan simpanan Papa itu tak tahu malu. Mungkin semua perempuan simpanan seperti itu, ya?
Mereka bercinta dengan lampu menyala dan gorden terbuka. Dari kamarku dapat kulihat jelas kegiatan itu, membuatku panas dingin.
Tak banyak variasi yang mereka lakukan, hanya missionary position dan woman on top. Sesekali blow job. Eh bahkan Papa menjilatnya! Gila! Aku yang memandang dari jauh, tak bisa melihat detail, tapi merasa malu.

Surabaya, 2 Maret 2022
#NWR

MEISYA DAN SUNDARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang