9. ZEIN

190 31 0
                                    

Yang paling senang aku tinggal di apartemen lux itu tentu Pak Sastro. Tak perlu membuat janji, kapan saja ia mampir aku pasti ada.
Memang aku jarang keluar, aktivitasku hanya kantor dan apartemen. Bukan karena aku bosan hang out atau tak ingin bersenang-senang, aku memikirkan Meisya. Kuatir berada di tempat yang sama dengan kloningku itu dan suaminya.

Pak Sastro jadi sering mengunjungiku, bisa dua tiga kali seminggu. Yang pasti tidak akhir pekan, itu waktunya bersama keluarga.
Aku tidak iri, tinggal menghitung uang masuk yang dikirimkannya setelah menggagahiku.

***

Anak sulung Pak Sastro pulang dari luar negeri, sudah menyelesaikan S2 dan mulai ikut mengelola perusahaan. Sialnya ia memilih berkantor di tempatku ... dan mulai mendekatiku.
Ia selalu punya alasan memanggilku. Hal yang lumrah karena aku di bagian keuangan, ia perlu memantau kondisi keuangan perusahaan, tapi aku merasa frekwensinya terlalu sering.

"Bisa temani aku makan siang nanti?"
Itu awalnya, dan aku tak bisa menolak. Selang sebulan, berganti lagi.
"Temani aku makan malam nanti." Itu perintah, bukan ajakan. "Kujemput jam tujuh, ya."
"Kita ketemu di resto saja, Pak." Aku mencoba menawar, tak ingin ia tahu dimana aku tinggal.
Ia setuju.

Aku sudah berdandan cantik ketika Pak Sastro datang.
"Mau kemana?" tanyanya penuh selidik.
"Makan malam bersama Zein."
"Zein anakku?" Nadanya naik satu oktaf.
"Saya tak bisa menolak, Pak." Aku membela diri.
"Sini, layani aku dulu."
Aku melihat jam dinding, sudah pukul enam, sumber uangku ini tak cukup sejam bercinta denganku.
"Saya batalkan dulu janji dengan Zein, Pak."

Zein tidak marah, hanya mengatakan kecewa.
"Maaf, Pak, pacar saya datang. Tak mungkin saya bilang pergi makan dengan lelaki lain."
Entah karena cemburu, atau sedang tegangan tinggi, petang itu Pak Sastro menghajarku berkali-kali. Bahkan menginap, tidur memelukku sampai pagi.
Imbalan yang kuperoleh sebanding sih, ia mengirim tiga ratus juta.

Besoknya di kantor, Zein memanggilku.
"Sudah kuduga, perempuan cantik sepertimu tak mungkin jomlo." Ia memandangku dari ujung rambut sampai ke ujung kaki dengan pandangan penuh nafsu.
"Pasti kalian juga bercinta, kan?" tuduhnya.
"Maaf. Apa yang saya lakukan di luar jam kerja kan bukan urusan Bapak."
"Aku menginginkanmu, Meisya."
Sejak awal aku menggunakan panggilan Sundari di kantor ini. Yang tertulis di name tag juga M. Sundari.
"Maaf, Pak, saya lebih suka dipanggil Sundari."
"Meisya lebih keren."

Ia mengunci pintu dan memelukku dari belakang.
"PAK!"
Bukan melepaskan, malah kedua telapak tangannya menangkup bukit kenyalku, meremasnya. Kurasakan ada yang menekan pinggang belakang, pasti ularnya.
Aku berusaha melepaskan diri, tapi satu tangannya malah turun ke bawah, meraba area sensitifku.
Merasa tidak mendapatkan yang diinginkan karena terhalang rok, tangannya berpindah, menariknya ke atas. Lalu menyelinap mencari mulut goaku ... tak terasa aku mendesah.

Zein mendorongku ke meja, membuatku membungkuk di atasnya. Tidak tahu sejak kapan ia menurunkan resleting, kurasakan ujungnya menggodaku dari belakang, berusaha masuk dengan menyibak g string.
"Pak!"
"Diam dan nikmati, Meisya. Rasakan bedanya dengan pacarmu."
Dan ular CEO itu mulai maju mundur mengobok-obok guaku, rasanya luar biasa. Aku selalu tidak tahan dengan tempo pelan seperti ini. Menggeliat-geliat menahan nikmat, sebentar saja aku telah mencapai puncak.

Ternyata ia tak meneruskannya, menarik diri setelah itu.
Ketika aku membalikkan badan menghadapnya, Zein telah merapikan pakaiannya kembali, menatapku dengan seringai puas.
"Seperti yang kuduga. Kau legit, Meisya."
"Ini pelecehan!"
"Kau menikmatinya, kan?" Lelaki itu tertawa, "Sabtu ini, ikut bersamaku ke Puncak. Aku tadi belum tuntas."
Ia mengibaskan tangannya, menyuruhku pergi.

Seharian itu aku tak bisa konsentrasi, masih terasa guaku diobok-obok tadi. Setiap mengingatnya, ada aliran membanjiri guaku, membuatku tidak nyaman.

Berjalan pulang kerja, sebuah jip Rubicon berhenti di sampingku. Jendelanya turun.
"Naiklah," titah Zein, "aku akan mengantarmu pulang."
"Tidak, terima kasih."
Aku tak mau ia ikut masuk dan mengenali tempat tinggalku sebagai apartemen milik ayahnya.
Lelaki itu turun dan berjalan memutari mobilnya mendekatiku.
"Aku perlu tahu tempat tinggalmu. Bagaimana besok aku menjemputmu?"
"Jemput di lobby kantor saja, Pak.'
Aku tahu tak bisa menolak ajakannya.
"Aku tidak terima penolakan."
"Maksudnya apa? Hanya mengantar atau ...."
"Menyelesaikan yang pagi tadi," sahutnya terus terang.
"Tidak bisa di kediaman saya! Bagaimana kalau pacar saya datang?"
"Naiklah," katanya membukakan pintu, "kita ke tempatku."

Perasaanku tidak enak. Setiap saat masalah ini akan membuat Pak Sastro memutuskan hubungan. Aku harus mencari tempat tinggal lain.

Zein membawaku ke komplek apartemen yang sama, beda tower. 
Begitu menutup pintu ia membopongku ke kamar, membantingku di kasur dan melepaskan semua pakaiannya. Aku terpesona melihat tubuhnya yang berotot.
"Sudah?" tanyanya tersenyum mengejek, tangan kirinya mengelus ularnya yang besar, dan otomatis membengkak hingga lebih besar dari ular ayahnya.

"Buka pakaianmu!" titahnya.
Aku tak punya pilihan selain menuruti keinginannya. Setelah tak ada sehelai benangpun yang menempel di tubuhku, ia memborgol kedua tanganku ke headbed yang terbuat dari besi.
Kemudian ia kedua lututnya mengapit kepalaku, menyorongkan ularnya ke mulutku.
Aku hampir muntah. Bukan pertama kalinya aku melakukan blow job, tapi biasanya dengan posisi duduk atau berlutut.
Setelah aku bisa beradaptasi, kedua tangannya mulai meremas bukitku.
Kupikir ia akan membungkuk dan melakukan 69, ternyata tidak. Ia menarik diri, lalu memasuki guaku, kali ini dengan tempo cepat. Aku belum sempat merasakan enak is telah menyemburkan muatannya.

"Shit!" aku sengaja memaki, "harusnya tidak dibuang di dalam."
Dalam hati aku tertawa. Aman, karena tiga bulan sekali aku suntik.
Zein melepaskan borgol dan tidur di sampingku.

Aku senang melihat pemandangan dari ketinggian. Dari ujung ke ujung kulayangkan pandanganku, dan ketika akan membalikkan badan ada yang menarik perhatian. Di jendela seberang, sepasang lelaki perempuan sedang skidipapap dengan lampu menyala dan gorden terbuka. Cuaca mendung di luar membuatku jelas melihatnya.
Astaga! Aku dan Pak Sastro sering melakukannya.

Melihat unit di sebelahnya, aku terkesiap. Sepertinya itu tempatku .... Apakah selama ini Zein menontonku? Dari jarak sejauh ini, apakah ia mengenali ayahnya?
Aku mengambil ponselku dan mengirim pesan WhatsApp ke Freddy, seorang broker properti. Dua bulan lalu aku telah melihat sebuah rumah kecil di daerah Ciputat. Memang jauh jaraknya dari kantor, tapi aku butuh tempat yang aman.
Aku juga menghubungi seorang salesman mobil seken, aku akan membeli mobil kecil yang murah.

Surabaya, 28 Februari 2022
#NWR

MEISYA DAN SUNDARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang