12. KEMBALI DENGAN ZUL

175 29 0
                                    

POV SUNDARI

Sejak mengetahui apartemen yang kutempati berseberangan dengan Zein, aku tak pernah lagi membuka tirainya.
Pak Sastro heran, karena dulu aku yang mengajaknya bercinta dengan lampu menyala dan tirai terbuka.
"Mengapa, Sayang?"
Aku menunjuk apartemen Zein.
"Bapak tahu, Zein tinggal di seberang sana?"
"Oh, ya?" Lelaki yang pantas menjadi ayahku itu menggeleng.
"Darimana kau tahu?" tanyanya penuh selidik.
"Saya tak bisa berbohong kepada Bapak," ucapku berterusterang, "Zein menjebak saya. Membawa saya ke sana untuk ena-ena. Waktu ia tidur, saya melihat-lihat keluar jendela dan melihat kamar ini."

Bukannya marah, Pak Sastro malah tertawa.
"Aku dan dia, mana yang lebih memuaskanmu?"
"Paaak!" seruku merajuk.
Setelah melayaninya, aku mengemukakan rencana pindah kerja.
"Saya tak bisa menghindari Zein, tapi saya tak ingin menjadi teman tidurnya. Jalan satu-satunya adalah pindah kerja dan tempat tinggal."
"Kau mau pindah kemana? Hm?" tanyanya mengecup pipiku dengan sayang.
"Tak bisa di perusahaan Bapak. Zein akan mudah menemukan saya. Saya sudah membayar uang muka rumah di Ciputat. Saya akan mencari kerja tak jauh dari sana."
"Aku tak bisa mengunjungimu, terlalu jauh dari rumah," keluhnya, "dan aku tak punya koneksi di area sana."
Aku menyusupkan kepala ke dadanya, pura-pura sedih.

***

Untuk membeli rumah, aku butuh KTP. Terpaksa merepotkan Meisya, mengajaknya bertemu di sebuah cafe.
"Untuk apa butuh KTP asli?" tanyanya.
Wajahnya glowing, terlihat berkelas. Walaupun pakaianku sekarang sudah lebih baik dari setahun lalu, tetap saja kalah pamor dengan kloninganku itu.
"Aku sudah berpisah dengan Zul," jawabku, "aku butuh KTP untuk membeli rumah."
"Sekarang tinggal dimana?"
"Di Sudirman CBD, tak jauh dari kantor. Aku sudah pindah kerja."

Aku melihat KTP itu, alamatnya di Pantai Indah Kapuk.
"Oh, sudah pindah dari apartemen Taman Anggrek?"
"Aku bosan terkurung di apartemen. Kevin membelikan rumah itu. Aku bisa mengurus bunga-bunga di taman."
Aku mengangguk mengiyakan, dulu itu hobbyku ketika remaja.
"Mama tak pernah berkunjung?"
"Tidak. Malah memintaku ke sana, tapi Kevin selalu sibuk."
"Kau belum hamil?"
"Kevin sering pulang larut malam, dan terlalu capai untuk bercinta." Meisya tertawa malu-malu, "sekalinya bercinta, ia bisa berjam-jam, tiga empat ronde sampai pagi."
"Lalu .... Kau tak kesepian?"
"Kan ada dildo."
Kali ini Meisya tertawa lebar.

"Yang buatan tak senikmat yang asli," komentarku.
"Daripada tidak ada. Dan aku tak mau selingkuh."
Aku juga tak ingin selingkuh. Hubungan dengan Guntur, Pak Sastro, dan Zein, terjadi karena keadaan memaksaku.

Aku menceritakan rencanaku membeli rumah dan pindah kerja, mencari yang tak jauh dari Ciputat. Selatan Jakarta itu biangnya macet.

***

Pindah ke rumah baru, beberapa bulan aku menganggur. Tabunganku habis karena aku membeli rumah tunai. Begitu pindah aku mengganti nomor ponsel. Bukan hanya Zein, ayahnya juga putus hubungan denganku. Aku menjual mobilku sebelum kehabisan uang, dan mulai mencari kerja kasar.

Akhirnya aku mendapatkan kerja di sebuah cafe. Bekerja sistem shift, giliran malam pulangnya menunggu cafe tutup, dan harus membersihkannya dulu. Pulang rata-rata pukul satu dini hari.

Aku selalu menggunakan ojek online. Lebih aman karena ada recordnya.
Tak terduga suatu hari Zul yang mengantarku.
"Sekarang kau tinggal di sini?" tanyanya saat sampai di rumah.
Aku mengiyakan.

Besoknya Zul datang sebelum aku berangkat kerja. Ibunya pulang ke kampung, tinggal bersama adiknya. Sri sudah lama berhenti, ia tak mau bekerja tanpa gaji.
"Aku sudah lama mencarimu," katanya, "aku menyesal, Ndari. Aku masih mencintaimu."
Tak menjawab pernyataan cintanya, tapi aku tak keberatan menjadi langganan ojeknya. Ia tak mau dibayar.
"Anggap saja aku antar jemput istriku, seperti dulu."

Sekitar dua bulan kemudian ia mengajak rujuk. Simbiosis mutualisme. Zul mendapatkan kos gratis, aku antar jemput. Bonus skidipapap.
Aku rujuk dalam artian berdamai, tapi tidak menikah lagi, nikah siri juga tidak. Kan statusku tidak jelas, antara ada dan tiada. Meisya yang pegang KTP asli, aku cuma fotokopi, walaupun aku yang asli, dia hanya kloning.

Terbiasa dengan Pak Sastro dan Zein, ular Zul terasa kecil. Namun daripada dildo, yang asli tetap lebih baik.
Bekas kekasihku ini memperlakukanku bak barang berharga. Tahu aku hanya kerja di cafe, is tak pelit mengeluarkan uang.
"Tak usah masak," katanya, "kita bisa beli makanan saja. Seporsi berdua pasti lebih hemat."

***

Hampir setahun hidupku tenang, lalu ibu Zul kembali. Drama rumah tanggaku terulang lagi.
Walaupun aku di atas angin, karena rumah itu milikku, hidupku tidak tenteram.

Aku mengadu kepada Meisya, ia mengajak bertemu, lebih jelas mendengar ceritaku.
"Bagaimana kalau kita bertukar peran? Aku menggantikanmu hidup bersama Zul. Kerja di cafe sepertinya menarik, bertemu banyak orang. Tidak membosankan seperti hidupku selama ini."
"Tidak bisa, Meisya," tolakku, "kulitmu mulus, wajahmu glowing, rambutmu terawat. Sangat berbeda denganku yang asal begini. Sekali lirik saja, Kevin akan tahu."
"Minggu depan Kevin ke Amerika dua minggu, kau bisa gunakan waktu itu untuk perawatan."

Kami berdua saling mengisi segala sesuatu yang terjadi sejak kami berpisah. Aku juga mengingatkan Meisya untuk suntik KB, kuatir dia hamil.
"Zul aktif, tiap malam ia melakukannya."
Wajah kloninganku merona. Tampaknya aktivitas malam ini yang membuatnya ingin bertukar peran.
"Ibu Zul cerewet. Aku bekerja. Malam harus melayani Zul. Pagi masih membersihkan rumah, memasak, mencuci pakaian."
"Tak ada mesin cuci."
"Pengalaman yang dulu, aku tak mau mencari masalah. Juga tak ada lemari es. Tiap hari harus belanja ke tukang sayur."
"Sepertinya menarik," Meisya tersenyum, merasa tertantang, "nggak apa-apa, kan, kulawan ibu Zul?"
"Oh ya, itu rumahku. Jadi kita bisa mengancam mengusirnya. Cintaku ke Zul sudah terkikis habis, jadi tidak masalah kalau diajak putus. Kuterima kan daripada tidak ada lelaki yang menghangatkan ranjangku."
Kami berdua tertawa.

***

Aku memvideo kondisi rumah, termasuk wajah Zul dan ibunya, mengirimkannya ke Meisya. Tak mau dia kelihatan canggung di rumahnya sendiri.
Begitu juga foto si tukang sayur, teman sekerja, terutama sang boss.
Meisya juga melakukan hal yang sama untukku.

Setelah mengantar Kevin ke bandara, kami bertemu di sebuah cafe. Bertukar pakaian.
Kuantar Meisya ke rumah, maklum Ciputat bukan daerah jajahannya. Bisa tersesat dia.
Dari rumah aku ke salon, creambath dan menggunting rambut, lalu manicure, pedicure.

Malam itu aku tidur nyenyak di kasur empuk. Hari berikutnya aku ke salon lagi, luluran.
Lemari besar penuh dengan pakaian mahal, membuatku bingung memilihnya.

***

Tak terasa Kevin telah selesai dengan perjalanan bisnisnya. Aku menjemput di bandara, langsung pulang ke rumah, masuk ke kamar .... Lelaki itu langsung menyergapku.
"Meisya, aku rindu."

Surabaya, 3 Maret 2022
#NWR

MEISYA DAN SUNDARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang