24. VALENT DAN MEISYA

127 21 0
                                    

"Siapa pria beruntung yang menjadi partner bercinta pertama kali denganmu?" tanya Kevin sambil menggerayangi tubuh molek di pelukannya. Rasanya tak rela ada lelaki lain mendahuluinya menyentuh Tara.
"Apakah itu penting?" gugat Tara, menggeliat erotis ketika tangan Kevin menggoda relung tubuhnya.

Lelaki itu kesal, Tara menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan, menunjukkan enggan dijawabnya. Perempuan itu tak tahu bagaimana menjawabnya, karena Kevin adalah lelaki pertama yang menjamahnya di malam pengantin mereka.

"Tara?"
Jemari Kevin terus bergerilya, Tara membalas menjelajah tubuh lelaki itu.
Mereka bercinta lagi. Tara sangat puas, hasrat yang dipendam tersalurkan. Begitu juga Kevin. Sejak mengendalikan Dwi ke rumah Bekasi ia belum pernah tidur dengan perempuan manapun. Beberapa kali ia mengunjungi anak-anaknya, tapi Dwi selalu menolak melayaninya.

"Sayang," bisik Kevin, "kau sangat hebat. Aku puas sekali."
Tara hanya tersenyum. Ia selalu menjaga area intim ya, tentu saja masih sempit dan menggigit setelah dibiarkan menganggur berbulan-bulan.
Seingatnya, ukuran Zul lebih besar. Terakhir kali ia bercinta dengan driver ojol itu, ternyata lama tak ada yang memasukinya, Kevin pun bisa memuaskannya.
Malam itu Kevin menginap, dan mereka mengulang sesi panas itu berkali-kali sampai pagi.

***

"Apa yang mengusik pikiranmu?" tanya Valent melihat Meisya tak berselera menyantap makanannya.
"Tara," sahutnya lesu, "menjalin hubungan dengan Kevin."
"Bukannya kau tak mau kembali kepadanya?"
"Iya sih. Tapi kok aku sedih, ya?"
"Mungkin karena kau berharap Kevin mengejarmu. Lalu, ketika tak terjadi, kau kecewa."
"Mungkin." Meisya tertawa.

Meisya berharap Kevin mengejar, supaya ia tidak perlu merendahkan dirinya untuk tidur dengan lelaki itu. Sudah agak lama ia tidak berhubungan intim, dan Valent tidak pernah mengajaknya. Kadang ia meragukan orientasi seksual teman dekatnya itu.

"Sebenarnya ... apa yang kauinginkan, Meisya?"
Perempuan itu kaget ditanya seperti itu di pintu masuk unit apartemennya.
"Maksudmu?"
Valent mendorongnya masuk, lalu menutup pintu di belakangnya.
"Apakah ini?"
Lelaki itu tiba-tiba memagut bibirnya, menuntutnya membalas.
"Manis," komentar Valent melepaskan ciumannya karena Meisya tidak meresponnya.

"Kenapa menciumku?" tuntutnya.
"Apakah kau mau langsung skidipapap?" tanya Valent mengejek.
"Aku ... aku ...."
Meisya tergagap ketika lelaki itu menebak isi kepalanya dengan benar.
Tanpa minta persetujuan, Valent mencium Meisya lagi. Kali ini perempuan itu membalas, membuatnya tidak menyadari lelaki itu perlahan menggiringnya ke arah kamar. Ciuman yang membangkitkan gairah itu membuat jemari Meisya menjelajah tubuh atletis Valent, menarik kemeja keluar dari celana, melepaskannya setelah membuka setiap kancingnya.

"Aaah ...," desah Valent ketika mulut Meisya menyesap putingnya, sambil tangannya membuka ikat pinggang dan resleting celana panjang lelaki itu.
Bibir Meisya mencium turun nenyusuri dada sampai ke bawah pusar berbarengan dengan turunnya celana panjang berikut celana dalam, membebaskan bukti hasrat Valent.

"Meisya!"
Lelaki itu memekik, tak menduga Meisya begitu agresif, memasukkan sosis jumbo itu masuk ke mulutnya.
Valent tak begitu suka dilayani blow job. Baginya mulut perempuan itu becek, terlalu banyak air liurnya. Ia lebih suka pusakanya menjelajah lorong-lorong gelap.

Lelaki itu membungkuk, menarik turun resleting gaun Meisya. Lalu ia menarik perempuan itu berdiri, melepaskan gaunnya. Matanya sempat terbelalak melihat sepasang bukit mengkal di hadapannya. Meisya tidak memakai bra, dan sesi hot tadi membuat puncak bukitnya menunjuk ke depan dengan manis, menantang dinikmati.
Tak melewatkan kesempatan itu, Valent mengarahkan bibir mengecup keduanya. Meisya mendesah kecewa, ia berharap lelaki itu mengulumnya.

Jemari Valent membelai semak belukar di pangkal paha Meisya, menggoda mulut guanya.
"Waduh," keluhnya, "ada mata air di situ rupanya."
Meisya tersenyum malu, lari ke kamar mencari tissue, mengeringkannya.
Valent tertawa, mendorong Meisya telentang di tempat tidur, mengangkat kedua tungkainya ke pundak, dan mengarahkan pusakanya ke mulut goa.
"Boleh, kan?"

"Sudah seperti ini kau masih bertanya?" gerutunya, "AUUW!"
"Valent .... Valent ...."
Berikutnya tak ada lagi gerutu, berganti seruan kenikmatan.
Meisya sudah mencapai puncak, tapi Valent masih perkasa. Lelaki itu membalikkan tubuh Meisya, menyuruhnya mengambil posisi merangkak, lalu ia masuk dari belakang. Kali ini ia bergerak pelan membuat perempuan itu menggelinjang menahan rasa nikmat.
"Valent .... Valent .... AUW!"
Tanpa peringatan Valent mempercepat gerakannya, Meisya menjerit karena terkejut. Berlanjut dengan jerit kenikmatan, sampai Valent menarik diri dan membongkar muatan di punggung Meisya.

Lelaki itu menjatuhkan diri ke tempat tidur, puas dengan aktivitas panasnya. Perempuan yang baru digenjotnya mengomel karena kesulitan membersihkan cairan lengket di punggungnya, yang meleleh turun ke pantat dan menetes ke lantai karpet.
"Sial! Susah membersihkannya. Kau jorok sekali, Valent!"
Valent mengabaikan keluhan Meisya, ia menutup matanya, tertidur kelelahan.

***

Valent terbangun memeluk Meisya. Mereka berdua tidak berpakaian.
Sejenak ia mengumpulkan ingatan yang sudah terjadi di antara mereka. Tersenyum mengingat betapa iiarnya geliat perempuan itu, Valent mengeras lagi.

Ia merangkak naik ke atas Meisya. Mulutnya mengulum salah satu puncak bukit sementara satu tangan meremas bukit kenyal lainnya. Tangan satunya merambah ke bawah, memeriksa apakah mulut goa sudah siap dimasukinya lagi.
"Ngngng ...."
Meisya mengerang tanpa sadar.

Ketika membuka mata, ia melihat kepala Valent di dadanya. Ditariknya rambut lelaki itu, berharap bibirnya pindah mengecupnya. Valent menggeleng. Ia masih ingat, awal sesi panas mereka, bibir itu mengulum pusakanya. Membayangkan tidak langsung mencium miliknya sendiri membuatnya bergidik jijik.

Melihat Meisya sudah bangun, Valent menggulingkan tubuhnya turun dari tubuh sintal perempuan itu.
"Woman on top," desisnya sambil menunjuk senjata yang teracung.
"Ck!" keluh Meisya, tapi gairahnya sudah dibangkitkan, iapun mengangkangi pinggul lelaki itu dan memasukkannya sendiri.
Valent sengaja bersikap pasif, ingin tahu bagaimana kelihaian perempuan ini.

Posisi di atas membuat Meisya mudah mengarahkan sodokan ke G spot. Bergerak menghentak-hentak, dengan cepat ia mencapai puncak. Valent tersenyum memandang ayunan sepasang bukit kenyal itu, begitu indah di matanya.
Sayangnya tak lama kemudian gerakan itu berhenti, padahal ia masih jauh dari puncak.
Cepat ia membalikkan posisi, menghajar Meisya yang berteriak-teriak tidak nyaman. Meisya jarang berolahragq, tubuhnya kurang lentur. Valent meletakkan bantal-bantal di bawah pinggangnya, sedemikian sehingga tubuhnya melengkung dengan pantatnya ke arah atas. Valent menghujamkan tombaknya bertubi-tubi tanpa ampun.

Ketika siksaan itu berakhir dan sekali lagi Valent menyemburkan muatan di tubuhnya, kali ini di atas perutnya, Meisya kehabisan tenaga. Untuk protes pun ia tak mampu.

Jatuh tertidur kelelahan, ketika membuka mata lagi, Meisya sendirian. Valent meninggalkannya begitu saja tanpa menutupi tubuh telanjangnya. Cairan lengket di perutnya telah mengering.

Melirik jam dinding sambil mengingat hari apakah hari itu, Meisya bangun dan membersihkan diri di kamar mandi.

Surabaya, 21 April 2022
#NWR

MEISYA DAN SUNDARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang