19. TARA

155 26 0
                                    

Setelah pertemuan dengan Tara, Zein tidak bisa tidur. Ia yakin, gadis itu adalah Meisya, mengapa berganti identitas?
Tadi ia masih sempat minta nomor ponselnya. Tanpa melihat jam, pemuda itu langsung menelepon.
"Haaalooo ...," suara mengantuk menjawab panggilannya setelah dering ke sepuluh.

"Tara? Aku Zein, yang tadi ketemu bersama Valent dan Reyhan."
"Yaaa ...," Tara tanpa malu memperdengarkan suaranya menguap, yang justru terasa sexy bagi pemuda itu, "ada apa? Sebelum telepon, kamu lihat jam, nggak?"
Zein menoleh ke jam dinding di kamarnya. Astaga, jam dua dini hari.
"Maaf, Tara. Aku mengganggu tidurmu, ya? Ntar pagi aku telepon lagi, deh."
"Enak saja!" Tiba-tiba suara itu berubah ketus, "aku sudah terlanjur melek sekarang!"
"Maaf, maaf. Bagaimana aku menebusnya?"
"Ke sini! Temani aku!"

"Oke! Kirimkan alamatnya. Aku berangkat sekarang."
Dengan gembira Zein mengambil satu stel pakaian kerja di lemari, sikat gigi cadangan di laci, memasukkannya ke sebuah kopor kecil. Lalu meraih kunci kontak mobil dan melesat keluar rumah.
Di lampu merah pertama ia memeriksa ponselnya, mencari alamat yang dikirimkan Tara.

Ternyata perempuan itu tinggal di apartemen di CBD, di tower yang sama dengannya. Tanpa kesulitan ia sampai di depan pintu unit gadis itu.
"Halo!" Suara ketus Tara menyapanya.
"Aku sudah tiba di depan pintu apartemenmu."
"Langsung masuk saja, pintunya kuganjal kok."
Zein mendorong pintu itu dan sepotong spons tipis terjatuh.

Tara duduk di kursi tinggi di kitchen island, pakaian tidurnya tipis tanpa lengan, pendek, memamerkan separoh paha mulusnya.
Zein menelan air liur melihatnya, celananya terasa sesak. Ia melepaskan sepatu dan kaos kaki, meletakkannya di tak dekat pintu, mengambil sepasang sandal kamar. Kopor kecilnya ditarohnya di sofa.

"Mau minum apa?" tanya Tara. Nada suaranya tegas, tak cocok dengan matanya yang redup.
"Apa saja."
"Jahe hangat. Mau?"
Zein mengiyakan. Gadis itu turun dari kursi dan mengambil mug di rak, menyeduhkan minuman jahe untuknya. Mata pemuda itu tak bisa beralih dari tubuh Tara, lekuknya sangat jelas membayang, baju tidur itu tak bisa menutupi tubuh moleknya.
Zein tidak menemukan garis bra di punggungnya, maupun garis celana dalam di pinggulnya.
"Apakah ...."
Pikiran omesnya membuat si kecil menggeliat.

Tara meletakkan mug dan duduk berhadapan dengan Zein.
"Tak merasa perlu berganti pakaian?" tanya gadis itu, suaranya sudah lebih lembut.
"Aku tak ingin kau lama menunggu." Pemuda itu tersenyum, "selain itu, jam segini mau kemana?"

Zein memperhatikan Tara, tidak terlihat garis tali bra di pundak, tapi aneh, walaupun baju tidurnya tipis, tidak tampak puncak bukitnya.

Setelah menghabiskan minumannya, mereka berpindah duduk berdampingan di sofa, menonton TV.
Tara memutar rekaman acara TV Australia, film lama, tapi mengandung unsur XXX. Tak lama Zein mulai kegerahan, gairahnya naik, padahal ia tak berani memulai mencumbu gadis di sebelahnya.

Ketika adegannya semakin panas, iapun nekat.
"Tara," bisiknya sensual, menarik tangan kanan gadis itu mengarahkannya ke si kecil yang membengkak, "tolong bantu aku."
Tara tersenyum manis, meremasnya dari luar celana, membuatnya hampir meledak.

Gadis itu membantunya melepaskan kaos longgar dan celana pendek berikut celana dalamnya.
Tara naik ke pangkuannya, menggeserkan sepasang bukit kenyalnya ke dada berotot Zein. Pemuda itu sangat yakin gadis itu tidak memakai bra, tapi ia tak berani membuktikannya. Kedua tangannya meremas pinggang gadis itu, berusaha menahan keinginan membenamkan dirinya dalam-dalam ke relung kenikmatannya. Sementara itu, Tara menyingkap sedikit baju tidurnya, menggeserkan area sensitifnya ke ujung tombak Zein yang siaga penuh.

"Tara ... Tara ...," desah Zein berusaha mengendalikan diri.
Satu tangan Tara memegangnya menggeser-geserkan ujungnya ke mulut goa yang mulai basah. Tepinya kiri kanan tergores kain, ia menduga gadis itu memakai celana dalam dengan lubang di tengah. Tak perlu membukanya, bisa menerobos masuk. Namun ia tak dibiarkan masuk, hanya diijinkan bermain-main di mulut goa saja.

"TARA!" seru Zein ketika ia tak sanggup lagi menahan diri dan menyemburkan muatannya.
"Maaf! Maaf ...."
Pemuda itu meraih tissue di meja dan membersihkan area intim Tara. Tepat seperti dugaannya, gadis itu memakai celana dalam sexy, hanya kain segitiga dan tali kecil. Bagian tengah segitiga berwarna nude itu seperti robek, menguak penutup liang kenikmatan yang tersembunyi.

"Kau lemah!" ejek Tara, Zein tersenyum malu.
"Maaf," katanya membela diri, "aku sudah lama sekali tidak menyentuh perempuan."
"Kenapa?"
Tara turun dari pangkuannya, sedangkan lelaki itu membersihkan diri dan memakai pakaiannya kembali.

"Patah hati?"
"Ya ...."
"Walaupun patah hati, biasanya lelaki tetap mencari pelampiasan hasrat."
"Di mataku, tak ada perempuan yang bisa membangkitkan gairahku ...."
Belum sempat Tara mengejek lagi, Zein menambahkan.
"Baru kau, Tara. Ini yang pertama setelah hampir dua tahun ...," lelaki itu tertawa getir.

"Mengapa?"
"Kau sangat mirip dengannya."
"Oh, ya? Siapa?"
"Meisya, istri Kevin Pratama."
Deg!
Serasa ada meninju hati Tara.

Zein beranjak berdiri.
"Aku pulang."
"Sudah dini hari, berbahaya menyetir sendiri. Kalau mengantuk?"
"Aku pulang ke apartemenku di tower ini, kok," senyum pemuda itu, senang oleh perhatian si gadis.
"Tapi ... tadi lama sekali ...."
"Tadi dari rumah orang tuaku. Sudah lama apartemen ini kubiarkan kosong."

"Tak ingin menginap?" tanya Tara, membuat Zein membelalakkan mata.
"Aku tidak salah dengar, kan?"
Gadis itu menggeleng.
"Mau sih ...."
Pemuda itu tersenyum nakal, "tapi tak mungkin."
"Mengapa?"
"Karena aku ingin tidur memelukmu."

"Cuma peluk, kan? Tanpa grepe-grepe?" Tara tersenyum lebar.
Zein mengangguk senang.
"Tapi gak janji," ucapnya di dalam hati.
"Oke."
Pemuda itu meletakkan lagi kopor kecil yang tadi sudah diangkatnya. Hampir saja ia bersorak dan melompat kegirangan.

Unit apartemen Tara sama luasnya dengan unit Zein. Ada dua kamar tidur.
Pemuda itu berjalan mengekor nona rumah, memandang isi kamar yang didominasi warna biru.
"Kok bukan pink?"
"Apakah kamar cewek harus pink?"
"Kebanyakan begitu sih ...."
"Aku kan beda."

"Aku mau menyambung tidurku yang tadi kauganggu," kata Tara membaringkan tubuhnya, membelakangi pemuda itu.
Zein membuka kaos dan celana pendeknya, lalu masuk ke bawah selimut. Menggeser tubuhnya sedekat mungkin dengan Tara, supaya bisa memeluk dengan enak.

***

Terang langit di luar membayang ke gorden yang menutup jendela. Mata Zein masih belum bisa terpejam. Memeluk Tara malah membuatnya tegang, jantung berdetak lebih cepat.

Surabaya, 24 Maret 2022
#NWR

MEISYA DAN SUNDARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang