7. PEREMPUAN BAYARAN

190 27 1
                                    

Video yang dikirimkan adalah rekaman yang dibuat Guntur ketika kami berhubungan badan pagi itu. Wajahnya tak terlihat, hanya ular besarnya yang keluar masuk guaku. Sedangkan tubuhku terekspos semua, mulai semak-semakku sampai wajahku pun terlihat jelas. Bukitku yang mengkal terguncang-guncang oleh hentakan lelaki itu.

Aku tak kuasa menolaknya. Dengan terpaksa aku mengikuti kehendak Guntur.
Aku dibawa ke apartemen Mediterania di Kelapa Gading, diturunkan di lobby.
"Kamu naik duluan, nanti aku menyusul," katanya menyerahkan kunci dan kartu pas sambil menyebutkan nomor unit.

Dari jendela kamar apartemen aku bisa melihat jalan toll yang tidak menapak tanah di kejauhan.
Pemandangan dari jendela kamar Meisya pasti lebih indah, karena yang dilihatnya simpang susun Tomang yang tumpuk tiga atau empat itu. Ya, Meisya tinggal di Apartemen Taman Anggrek setelah menikah dengan Kevin.

Aku tak menyesali pernikahanku dengan Zul, jalan hidup yang kupilih mengharuskan terus bekerja, berbeda dengan Meisya yang jadi nyonya besar.
Dan jalan ini membawaku jadi pemuas nafsu Guntur dan Pak Sastro. Tadi di jalan atasanku itu sudah mengatakan besok Pak Sastro membutuhkan pelayananku.

Masuk sambil bertelepon, kali ini Guntur terburu-buru.
Dasar buaya berpengalaman. Tidak ada waktu untuk pendahuluan, diambilnya gel di laci nakas, dioleskannya di goaku, lalu dibaliknya tubuhku. Tanpa pemanasan ia masuk dengan kasar dari belakang, aku belum mencapai puncak ia sudah selesai.

Kembali ke kantor, kuserahkan kunci dan kartu pas kepadanya.
"Bawa saja. Besok kencan dengan Pak Sastro juga di sana," tolaknya.
Ooo jadi itu apartemen Pak Sastro?
"Itu apartemenku, disewakan harian," imbuhnya, "tidak mahal kok. Barangkali suatu saat kau membutuhkan."

***

Pak Sastro masuk membawa makan siang. Sambil menikmatinya, ia menanyakan nomor rekening.
"Yang lalu aku belum memberikan hadiah. Nanti pilih dan beli sendiri, ya."
Tak lama ia mengirimkan dua bukti transfer melalui WhatsApp, masing-masing seratus juta. Aku terkesiap, royal sekali.
"Dua transfer," katanya menjelaskan, "untuk yang lalu dan siang ini."
"Terima kasih, Pak. Yakin, tidak kelebihan angka nol?"
"Tidak," katanya mendekatiku, mulai mencumbuku, "yang lalu aku puas. Aku akan memanggilmu lagi saat aku butuh."

Begitulah aku digilir dua lelaki brengsek itu. Yang satu royal, selalu mentransfer sejumlah uang setiap kali berkencan, satunya pelit, mau gratisan saja.

Setelah beberapa bulan, aku merayu Pak Sastro, mengatakan ingin menghindari Guntur, minta pindah kerja ke kantornya. Nasibku sedang baik, ada lowongan.
Berganti perusahaan akupun mengganti nomor ponsel, tak ingin berhubungan dengan bekas atasan yang menjerumuskanku itu lagi.

Gedung kantor baru di Sudirman CBD yang satu komplek dengan bangunan apartemen. Pak Sastro memberikan akses ke satu unit miliknya untuk kencan kami. Umurnya sudah lima puluhan, ada anak istri di rumah, karena itu frekwensi kencan juga jarang. Ia mengerti aku bersuami, tak bisa menginap apalagi pindah ke apartemen lux itu.

***

Sementara itu hubunganku dengan Zul dan ibunya datar saja. Malas memasak aku berlangganan catering, tapi seringkali tak kebagian, sudah dihabiskan mertuaku.

"Kok kau belum hamil, ya Sayang?" tanya suamiku suatu malam usai pergumulan panas kami.
"Entahlah. Mungkin karena kau terlalu rajin. Tiap malam dikeluarkan, mana sempat matang?"
Sejauh ini ia masih tak menyadari aku tak pernah menstruasi.

"Kenapa semakmu dibabat habis?" protesnya suatu malam melihat mulut guaku gersang.
"Kebakaran," sahutku asal.
"Berikutnya jangan ya," bisiknya, menjatuhkan tubuhnya di sampingku, tidak jadi masuk.
Kulirik ularnya telah menyusut menjadi ulat.
"Gairahku hilang melihatmu gundul begitu. Aku suka sensasi ketika rambutmu mengelusku."
Malam itu ia tidur memelukku, tanpa berpakaian kembali. Aku agak kecewa karena gairahku terlanjur dibangkitkannya. Untunglah siangnya aku sudah dipuaskan Pak Sastro, jadi aku bisa tidur nyenyak.

Aku tidak menjanjikan apa-apa soal hutan gundul yang diprotes Zul. Dibabat habis atas permintaan Pak Sastro, ia mau menjilatku bila tak ada rambut di sana. Tentu saja aku menuruti yang memberikanku banyak uang. Orang tua itu tergila-gila padaku, dari sebulan sekali, sekarang ia menginginkan seminggu sekali. Ia tak sehebat Guntur yang sanggup beberapa ronde sekali main, tapi ukurannya yang lebih besar dari Zul selalu memuaskanku.

***

Mertuaku protes lagi karena aku membayar pembantu yang datang pagi pulang sore. Alasannya sama, pemborosan.
"Bu, di kantorku yang baru pekerjaannya lebih berat. Pulang ke rumah sudah tak ada tenaga tersisa. Dan gajiku lebih besar, selisihnya cukup untuk membayar pembantu."
"Tak ada tenaga? Lah tiap malam kok masih bisa ena-ena?"
"Ibu ini bagaimana?" Zul yang protes, "aku yang mau Ndari melayaniku tiap malam. Sudah beristri, apakah aku harus cari pelampiasan di luar?"
"Sepertinya kita perlu carikan ibu suami," komentarku tertawa.

Ibu manyun. Sebentar. Lalu mencari perkara lain.
"Kok pakaian kerjamu tak pernah dicuci di rumah?"
"Bu, kantorku ini lebih elit dari yang lama. Pakaianku menyesuaikan, lebih mahal dari yang dulu. Karena itu kubawa ke laundry, daripada dirusakkan pembantu."

Pakaianku masih kelas menengah, belum menyamai baju-baju mewah yang kutinggalkan untuk Meisya. Pak Sastro sudah pernah menyinggung hal ini.
"Kurangkah uang yang kuberikan untukmu?"
Empat ratus juta sebulan, masih ditambah perhiasan yang sesekali dibelikannya. Ia heran mengapa aku masih pulang pergi naik ojek, tidak beli mobil. Tak mau menempati apartemen yang disediakannya, ia mengerti karena aku bersuami. Tapi tinggal di rusun lantai empat tanpa lift?

"Mengapa masih belum tumbuh juga?" keluh Zul mengelus sekitar guaku.
"Entahlah."
Dan Zul tak mau menyentuhku. Suamiku jadi setengah impoten karenanya.
"Lalu bagaimana?" tanyaku agak sengit, "memangnya kau tak butuh penyaluran hasrat?"
"Butuh sih ...."
"Selama aku gundul, kau lampiaskan kemana?"

Ternyata Zul meniduri pembantu. Suatu siang aku sakit kepala, pulang pada jam makan siang, naik taxi.
Aku membawa kunci sendiri. Masuk ke rumah kudengar suara erangan suamiku. Kuatir ia juga sakit, cepat aku masuk ke kamar, dan aku melihat pemandangan luar biasa. Zul memompa Sri, pembantu kami.

"ZUL-KI-FLI!" teriakku.

Surabaya, 26 Februari 2022
#NWR

MEISYA DAN SUNDARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang