17. DILEMA ZULKIFLI

171 28 0
                                    

Setelah mandi, dengan perut keroncongan Zul menuntun motornya ke kios bensin di luar komplek. Isi tangkinya bukan habis tak bersisa, ia cuma was-was tidak mendapatkan hutangan.
Matahari persis di atas kepala, dan rumah Sundari letaknya agak jauh dari gerbang komplek. Zul sampai di kios bensin bersimbah peluh.
Menebalkan muka, lelaki itu merayu gadis yang menjaga kios, supaya bisa hutang seliter bensin. Gadis itu terpikat wajah tampan Zul, menuangkan sebotol ke tangki motor.

Mengucapkan terima kasih, Zul bermaksud meninggalkan kios itu berbarengan dengan notifikasi di ponselnya. Orderan masuk.
Bersyukur akun ojolnya belum ditutup, Zul meluncur menjemput rejeki.
Sampai sore ia mendapat dua orderan yang membayar tunai. Segera ia membeli dua bungkus nasi Padang dan membawanya pulang, untuknya dan sang Ibu.

Kemudian sampai malam ia masih mendapat beberapa orderan lagi. Kali ini ada yang membayar non tunai, tapi ia tak masalah karena sudah ada cukup uang untuk membayar hutang bensin, mengisi lagi dan uang belanja hari berikutnya.
Hampir tengah malam ia menuju cafe tempat kerja Sundari, berharap gadis itu belum memesan ojol dan bersedia pulang bersamanya.
"Ndari," panggilnya sebelum perempuan itu sempat mengambil ponsel dan barang-barangnya di loker.
"Yuk, gaes, gue duluan, ya, udah dijemput."
Tak ingin Zul mengatakan hal-hal yang akan merusak citranya, Sundari cepat-cepat berpamitan.

"Sudah makan?" tanya Zul di perjalanan.
"Sudah. Tadi boss ulang tahun, membagikan nasi kotak."
"Ndari, rumah mau dijual?"
"Ya."
"Mengapa?"
"Aku tak mau serumah dengan ibumu. Aku tak mungkin mengusirnya, kan?"
"Lalu ... kau tinggal dimana?"
"Cari kos dekat cafe."
"Bagaimana hubungan kita?"
"Tak ada harapan." Gadis itu tertawa getir.
"Beberapa bulan ini kau bermalas-malasan, hanya mengantarjemput dan meniduriku. Biaya rumah, termasuk belanja, aku yang bayar. Aku capai, Zul."
"Aku masih mencintaimu, Ndari. Ayo, kita menikah lagi."
"Dan tinggal serumah dengan ibu? Tidak!"

Zul kebingungan. Ia menyayangi ibunya, dan mengerti kondisi ekonomi adiknya di desa. Ibunya lebih enak tinggal bersamanya di kota. Masalahnya perempuan yang melahirkannya itu cerewet sekali, dan Sundari tidak tahan menghadapinya.

"Sayang, jangan tinggalkan aku. Tapi aku juga tak bisa meninggalkan Ibu."
"Maaf, ya. Aku bukan kejam, tapi cobalah pikirkan andai kau jadi aku. Tahan?"
Zul terdiam, tak mampu berucap sepatah kata pun.

"Atau begini ...," Ndari mengusulkan solusi, "kau kos dengan ibumu, setiap malam mengantarku pulang kau menginap."
"Berarti Ibu sendirian?"
"Saat ini Ibu sudah tidur, kan? Tak ada bedanya kau bermalam denganku atau dengan ibumu. Pagi-pagi kau bangun dan pulang."
"Hmmm ...."
"Berarti kau harus rajin bangun pagi, tak bisa bermalas-malasan seperti sekarang. Lagian, kau kan harus mencari nafkah untuk bayar kos, untuk belanja ibumu."

Zul tersenyum. Sepertinya itu jalan keluar terbaik, tapi ....
"Itu selama aku kerja di cafe. Bila aku mendapat kerja kantoran lagi, aku pasti pindah."
Senyum pemuda itu menguap. Pernah kehilangan jejak Ndari, ia kuatir hal itu terulang kembali.

Begitulah Ndari kos tak jauh dari tempat kerjanya. Zul mencari kos agak jauh sedikit, mencari yang lebih murah.
Ibunya sangat keberatan pindah, tapi pembeli rumah itu mengancam melakukan pengusiran dengan membawa aparat pengadilan. Terpaksa perempuan paruh baya itu menurut.

***

Beberapa bulan berikutnya hidup Zul berjalan monoton. Malam menjemput Ndari, menginap di kosnya untuk bercinta. Subuh pulang ke kos yang ditempati bersama ibunya. Setelah mandi dan sarapan, ia memberikan uang belanja lalu pergi ngojek. Siang pulang untuk makan dan beristirahat. Sore mengantar Ndari ke cafe dan ngojek lagi sampai waktunya menjemput gadis itu.

Suatu sore Ndari tak ada di kos. Dipikirnya berangkat ke cafe lebih awal, Zul menyusul tapi gadis itu juga tak ada di sana.
Ponsel Ndari tidak aktif. Kata teman kerjanya, Ndari sudah tidak bekerja di cafe itu lagi. Cepat Zul ke kos, mengetuk-ngetuk pintu tapi tak ada yang membukakan.
"Cari Ndari, ya?"
Suara renyah mengganggu aktivitasnya. Ia menoleh, memandang sosok langsing memakai kaos ngatung dan celana pendek.
"Ya. Kemana dia?"
"Tadi pagi pindahan," jawab gadis cantik itu, "Mas suaminya, ya? Kok nggak tau?"

Zul tak bisa menjawab. Mau bilang ya, kok tidak tahu. Bilang bukan, kok tiap malam menginap di situ.
"Kenalkan, gue Prita."
Gadis itu mengulurkan tangan.
"Zul," sahutnya membalas uluran tangan Prita.

"Sebenarnya ... saya ... maksudnya, saya dan Ndari hanya friends with benefits. Saya antar jemput dia, dan dapat ena-ena."
Pemuda itu nekat menjawab vulgar, toh tak ada Ndari tak mungkin menginap di kos itu.
"Hmmm ...," Prita menatapnya dari atas ke bawah, mengira-ngira kemampuan pemuda itu. Sebaliknya Zul melakukan yang sama, tidak secantik Ndari, tapi mulutnya mungil mengundang kecupan. Membayangkan masuk ke dalamnya, si kecil menggeliat.

Tatapan Zul turun ke sepasang bukit yang menantang, lebih besar dari Ndari, dan ... puncaknya membayang di kaos yang tidak tebal itu. Sepertinya Prita tidak memakai bra.
Lebih ke bawah lagi, matanya digoda garis pinggang yang putih. Sama putihnya dengan Ndari, tapi pusar gadis ini bodong, dan tidak malu memamerkannya.
Celana pendeknya ketat seperti celana senam, diduganya hanya sedikit di bawah pantat.
"Astaga!" pekik Zul di dalam hati.
Prita pasti tidak memakai dalaman bawah juga, ada belahan di pangkal pahanya. Si kecil langsung bengkak, membuat celananya sesak.

Lidah Prita menjilat bibir tipisnya.
Matanya juga menjelajah tubuh pemuda di hadapannya, mengenali perubahan di titik tengah Zul.
"Bagaimana kalo loe mulai sekarang antar jemput gue?" ucapnya mengagetkan pemuda itu.
"Gue kerja di klab malam di Kemang."
"Berapa?"
"Penawaran yang sama dengan Ndari," gadis itu tertawa, "yuk, test drive dulu."
Dorongan si kecil membuat otak Zul buntu, seketika ia mengiyakan, membuntuti Prita ke kamarnya, menutup dan menguncinya.

Prita menahan kedua tangan yang akan mulai menggerayanginya.
"Test drive pake cara gue."
Dilepaskannya pakaian Zul satu persatu sampai yang terakhir membebaskan si bengkak.
"Wow!" desisnya.
Pemuda itu sudah tak sabar ingin gantian membuka pakaian Prita.

"Sabar, Sayang," kerling nakal gadis itu.
Bak penari striptease, Prita menyingkap dan melepaskan kaosnya perlahan-lahan dengan gerakan sensual. Lalu ia berbalik membelakangi Zul, membungkuk menurunkan celana super pendek itu sambil menggoyangkan pantatnya yang bulat.
Sesuai tebakan pemuda itu, Prita tidak mengenakan pakaian dalam.

Perlahan gadis itu memutar badan, menggenggam sepasang tangan Zul yang sudah terulur ingin menjamah tubuhnya. Didorongnya tubuh pemuda itu sampai jatuh telentang di ranjang. Ia merangkak naik dan membaringkan tubuhnya ke atas Zul.

Surabaya, 13 Maret 2022
#NWR

MEISYA DAN SUNDARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang