14. WIL KEVIN

172 31 2
                                    

POV SUNDARI

Kevin menggendongku masuk ke kamar, lalu mencium bibirku sambil melepaskan pakaianku satu-persatu. Menyisakan celana dalam, ia mendorongku telentang di kasur, meremas satu bukit sambil mengisap yang lain.
"Lepaskan pakaianku," perintahnya sambil terus menggerayangiku.
Ketika ia sudah bugil, ia menurunkan celana dalamku. Mengangkat kedua kaki ke pundaknya sambil bersimpuh di dekat pinggulku, mulailah ia masuk sedikit.

Ujungnya bergerak keluar masuk relung guaku. Meisya tidak menceritakan detail aktivitasnya dengan Kevin. Aku ingin ia membenamkan diri seluruhnya, tapi kuatir Meisya tak pernah memintanya.
Di saat aku ingin mengangkat pinggulku supaya Kevin masuk makin ke dalam, ia mendahuluiku. Gerakannya cepat dan masuk sampai ke pangkal. Tak lama ia bongkar muatan, sangat banyak sampai keluar lagi membasahi seprei.

"Apa yang kaulakukan selama aku pergi?" tanya Kevin sambil mengeringkan pusakanya dengan tissue.
"Aktivitas rutin biasa saja. Mengapa?" jawabku, juga mengeringkan area pribadiku.
"Tapi .... Kau lebih sempit dari yang kuingat. Enak sekali."

Lelaki itu memulai ronde kedua.
Kali ini Kevin menyuruhku posisi merangkak dengan kedua lutut renggang, lalu ia masuk dari belakang. Sekali lagi hanya ujungnya yang keluar masuk mulut goa, menggodaku.
Aku ingin berteriak menyuruhnya masuk seluruhnya. Karena tak berani, aku mendorong pinggulku mundur, lalu menggoyangnya agar tak diprotes.
Tak lama ia membongkar muatan lagi.

Istirahat untuk makan malam, lalu Kevin menghajarku lagi berkali-kali sampai menjelang pagi.
Berbeda dengan lelaki-lelaki lain yang tidur denganku, ia pindah ke kamar lain yang ada pintu tembusnya ke kamar ini.
Aku tak biasa dengan pengaturan tidur seperti ini. Pak Sastro memang pulang ke rumahnya, tapi Zein dan Guntur senang tidur memelukku, skin to skin.
Hari berikutnya Kevin tidur seharian, mungkin jet lag.

***

Waktu baru datang dari Amerika, Kevin selalu pulang untuk makan malam, dilanjut bercinta sampai menjelang pagi.
Kemudian kehidupan berjalan seperti yang diceritakan Meisya. Lelaki itu pulang sekitar tengah malam dengan kondisi capai, tak punya tenaga untuk bercinta denganku.

Aku curiga Kevin punya WIL, tapi tak tahu bagaimana membuktikannya.
"Tak mungkin itu," kata Meisya, "Kevin mencintaiku. Ia bekerja keras untuk memanjakanku."
Kloninganku ini memang naif.

"Sayang," kata Kevin suatu pagi ketika sarapan, "kapan jadwalmu suntik?"
"Suntik?" Aku mengernyitkan kening.
"Ya. Suntik KB."
"Apakah kau tak ingin punya anak?"
"Kita sudah diskusikan ini saat baru menikah. Aku tak mau tubuhmu yang sexy melar dan tidak menarik lagi. Tugasmu adalah mendampingiku tampil di depan umum."
"Bagaimana dengan penerusmu?"
"Untuk anak, ada perempuan lain yang bertugas hamil dan melahirkan. Anak lelakiku sekarang tiga tahun, dan dia sedang hamil anakku yang kedua."

"Kevin!"
Kupikir lelaki ini mencintai Meisya.
"Sudahlah!" Ia membanting serbet ke atas meja makan, "kau merusak selera makanku saja."
Beberapa langkah menjauh, ia menoleh.
"Oh ya. Cek jadwal suntik. Kalau sampai kau hamil, kita cerai!"
Syukurlah aku masih belum waktunya suntik lagi.

***

Aku ingin tahu perempuan yang melahirkan anak Kevin. Diam-diam kupasang GPS di mobilnya, tapi setelah jam kerja, mobil itu tetap di
kantor sampai waktunya pulang ke rumah.

Sopir pribadi suamiku, aku melacak posisi nomor ponselnya usai jam kerja. Ternyata bergerak ke Timur, dan berhenti di Bekasi sampai larut malam. Kemudian kembali ke kantor, dan GPS mobil menunjukkan pergerakan ke arah rumah.
Sialan! Suamiku sangat pintar. Harus dikuntit.

Aku minta ijin ke Kevin untuk hang out dengan teman lama. Menyewa mobil dengan sopir, membuntuti suamiku sejak keluar kantor.
Ia mengganti mobil mewahnya dengan mini van. Hatiku bertanya-tanya, mengapa begitu, tak ingin memberikan kemewahan ke perempuan yang melahirkan anaknya?

Aku menunggu di dalam mobil di seberang rumah yang didatangi suamiku. Seorang perempuan berbadan subur memakai daster membuka pintu. Kevin mengambilalih balita dari gendongannya.
Perempuan itu cantik, tapi tubuhnya tak terawat. Dengan ukuran sebesar itu, pasti tak banyak variasi posisi skidipapap.

Besok paginya aku mengajak Meisya bertemu, membicarakan WIL itu. Ia tak percaya.
Aku menyuruhnya cuti sehari, kuajak ke Bekasi. Kami sudah menunggu di seberang rumah itu ketika Kevin datang.
"Itu bukan mobil Kevin, Ndari," katanya ketika mini van itu masuk ke halaman.
"Lihat dulu."
Aku sudah mengambil tempat yang pas, supaya Meisya bisa melihat jelas dari tempatnya duduk.
"Ouw!"
Ditutupnya mulutnya menahan teriakan, karena aku mematikan mesin mobil, membuka jendela sedikit untuk aliran udara.

Meisya menangis dalam perjalanan kembali.
"Apa kurangnya aku?"
"Kita, maksudmu?"
"Eh, iya, kita," ia nyengir.
"Sudahlah, Meisya, tak perlu ditangisi. Zul yang tak berduit saja sempat selingkuh, apalagi Kevin yang kaya."
"Ngomong-ngomong," aku mengedipkan mata menggoda, "bagaimana? Enak ya skidipapap tiap malam?"
Kloninganku tersenyum malu.
"Iya sih. Tapi Kevin lebih perkasa, menang juga di ukuran."
"Lalu, mau bertukar tempat lagi?"
Kedua peran ini sama punya plus-minus. Aku juga tak ingin memilih salah satunya.
"Sementara ini aku masih bisa menikmati hidup bersama Zul," katanya.

***

Suatu malam Kevin mengajakku makan malam bersama rekan bisnisnya.
"Istrimu cantik," komentarnya ketika berjabat tangan denganku.
Aku berusaha keras menjaga ekspresi wajah tetap datar, karena lelaki itu, Zein.

"Apa kabar, Meisya?" tanya lelaki itu ketika suamiku ke toilet.
"Kata Kevin, kalian menikah sudah tiga tahun, berarti ... waktu itu kau selingkuh, dong."
Zein tertawa mesum.
"Maaf, Pak Zein," jawabku dengan anggun, gaya bicara yang berbeda dengan saat bekerja dulu, "pasti Bapak salah orang. Saya bahagia dengan perkawinan saya, tak terpikir sedikitpun untuk mendua."
"Apakah kau kembar?"
Ia menggeleng-gelengkan kepala, tetap merasakan kejanggalan.
"Misalnya pun kau kembar, ada yang aneh. Namamu Meisya Sundari, kan? Dia juga!"
Sebelum Zein mendesakku lebih lanjut, Kevin kembali dari toilet dan mengajakku pulang.

"Kevin, bolehkah aku minta nomor ponsel istrimu?" tanya Zein di parkiran, masih belum putus asa.
Suamiku membukakan pintu, menyuruh masuk sebelum menjawab.
"Untuk apa?"
"Di saat kau sibuk dan tak bisa dihubungi, mungkin aku bisa menitip pesan kepadanya."
"Istriku tidak ikut mengurus perusahaan," jawab Kevin menutup pintu dan berjalan ke pintu pengemudi, Zein membuntutinya.
"Jadi ... tak ada gunanya kau meneleponnya."
Lelaki itu tak bisa mengejar lagi.

Di perjalanan pulang Kevin menginterogasiku.
"Kau sudah kenal Zein?"
"Tidak."
"Mengapa ia yakin sudah kenal?"
"Aku tak bisa menjawabnya."

Untunglah di rumah tak ada PSTN.

Surabaya, 5 Maret 2022
#NWR

MEISYA DAN SUNDARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang