Hanya dentungan jam dinding yang menjaga agar suasana tak sunyi. Sudah tiga hari berlalu, dan selama itu Haevan tak berangkat sekolah akibat demam tinggi.
Oleh sebab itu, sekarang ia berdiri di depan cermin. Menatap obsidian sendirinya dengan lekat, tentu melalui benda yang disebut cermin tersebut.
Dari bawah hingga atas, Haev terlihat sempurna. Hanya saja ia tak menyukai tubuh pendeknya. Oh ia berfikir, andai tubuhnya dapat lebih tinggi dari ini, pastilah ia lebih terlihat tampan dan keren, yang paling penting adalah membuat para wanita memandangnya kagum.
Melihat jam yang terus berputar setiap detiknya membuat Haevan segera bergegas. Mengambil jaket lalu memakainya, cuaca sungguh terasa sangat dingin.
Selama tiga hari tak ada yang mencarinya, menanyakan kabarnya, menjenguknya, ataupun merawatnya. Tak ada yang peduli padanya, baik ia hidup ataupun mati keadaan akan sama saja, tak ada yang peduli.
Oh ya, untuk tugas kelompok yang tiga hari lalu dikerjakan bersama, Haevan sudah memberikan file itu kepada Jinan dan Hugo. Namun kabar buruknya ia harus presentasi sendiri nanti, menyebalkan.
Kini, ia berjalan menuju ruang makan, setiap anak tangga yang ia pijak berbunyi pelan.
"Selamat pagii!" Seperti biasa, lagi. Semua orang tak menganggapnya ada, ia lupa.
"Makan apa pagi iniii?" Tanyanya begitu semangat melihat hidangan di meja makan.
Sedangkan saudara tirinya hanya membolakan mata mereka dengan malas.
"Udah baik lo ngga ikut makan bareng kemaren." Nathan berucap, menyantap makanannya dengan raut kekesalan.
Haevan sedikit membelakkan matanya, sedikit tak terima. "Loh, Papa mana?" Ia, memilih mengalihkan pembicaraan.
Namun tak ada yang menjawab. Tak menyerah, Haevan menggoyangkan pelan lengan Mark yang duduk di sampingnya. Sungguh, ia penasaran kemana Papa nya sekarang, pasalanya selama ia sakit ia tak melihat batang hidung pria dewasa itu.
Mark menyentak kasar hingga membuat tangan Haevan terkantuk meja, cukup keras hingga menimbulkan bunyi.
Namun Haevan tersenyum senang, akhirnya ia mendapat atensi dari saudaranya.
"Jangan sentuh gue, bisa?"
Haevan mengangguk. "Papa mana?" Tanyanya.
"Udah berangkat ke kantor."
"Terus ini yang masak siapa?"
"Nathan."
"Beneran?"
"Lo meragukan kemampuan gue? Lo pikir cuman lo yang bisa masak?" Balas Nathan ketus.
Haevan menggeleng. "Engga kok. Aku kagum ternyata kamu juga bisa. Padahal Mama Carissa--"
Brakk
Bugh
Haevan terjatuh dari kursinya, merintih sakit setelah Nathan melayangkan pukulan tepat di bibirnya.
"Sekali lagi gue denger lo nyebut Mama gue dengan mulut kotor ini, lo bakal mati di tangan gue." Sebelum pergi, Nathan menendang kursi di depannya. Mark ikut pergi, mengejar Nathan.
Namun sebelum itu Mark menatap tajam pada Haevan. "Hancur lagi! Lo bisa ngga sih biarin kita bertiga hidup tenang? Anjing."
Haevan terdiam.
Namun sedetik kemudian ia yang masih terkejut pun bangkit hendak mengejar Nathan, namun tangannya sudah lebih dulu di cekal Jean.
Ia mencoba melepaskan, namun Jean mencekalnya sangat erat, hingga rasa panas itu timbul membuat bekas kemerahan di pergelangan tangannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Dark Sun (hiatus)
FanfictionSemesta, kehadirannya memang tak diharapkan, namun ia ada, mengapa tak dianggap? Adalah suatu kalimat yang sering terlintas di otaknya. Dunia, ia juga tak mengharapkan hadir, namun tuhan berkehendak, lalu untuk apa ia menyerah? Adalah suatu kalima...