Semesta, kehadirannya memang tak diharapkan, namun ia ada, mengapa tak dianggap?
Adalah suatu kalimat yang sering terlintas di otaknya.
Dunia, ia juga tak mengharapkan hadir, namun tuhan berkehendak, lalu untuk apa ia menyerah?
Adalah suatu kalima...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hujan diawal bulan November menyambut pagi mereka kala itu. Haevan menatap air hujan yang turun dari langit itu melalui jendela. Dengan pelan tubuh yang sudah terbalut seragam SMA dan hoodie yang tersampir di pundaknya itu keluar menuju balkon. Tangan itu terulur, membiarkan kedua telapak tangannya dijatuhi air dari atas sana.
Ia teramat menyukai hujan.
Baginya, hujan membuatnya tenang.
Suara gemercik air itu adalah candu baginya.
Namun sayang, ia tak bisa melihat matahari yang biasanya memberi sirna kehangatan untuknya. Huft, ia lebih menyukai hujan malam.
Melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, segera ia membawa tubuhnya beranjak menuju meja makan.
Disambutnya pagi ini dengan ucapan hangat seperti biasanya.
"Selamat pagi!"
Seperti biasa pula, tak ada balasan walau sekedar mengangguk atau tersenyum. Haev bersikap biasa saja toh memang sudah terbiasa, lalu duduk disalah satu kursi tepatnya di samping Jean.
"Ini untuk Nathan." Jean saudara tirinya yang satu tahun di atasnya itu berucap dengan dingin. Lagi, Haev mengangguk dan berpindah kursi, duduk di samping Mark yang juga saudara tirinya, anak sulung Papa Jeffrey.
Jean dan Mark hanya menatap tak suka perbuatan Adik tirinya. Iya, Haevan adalah Saudara tiri mereka, anak dari papa bersama wanita lain, sebab itu baik Nathan, Jean, maupun Mark membenci Haevan.
Tak lama setelah itu, Nathan datang dan duduk di samping Jean.
Bersamaan dengan Papa yang muncul dari dapur membawa makanan hasil memasak sedari subuh tadi.
"Selamat pagi jagoannya Papa!" Sapanya sembari tersenyum.
"Pagi Papa!" Haev membalasnya tak kalah riang.
"Pagi." Mark dan Jean yang membalas seadanya.
"Nathan jagoannya Mama."
"Haha! Iya deh, jagoannya Mama dan Papa."
"Nih yang masak Papa, chef Adelard! Pasti enak!"
"Dih, tetap Mama chef terbaiknya Adelard." Nathan menatap Haev dengan tajam, seolah menekankan hanya Mamaku chef terbaiknya Adelard! Bukan orang lain apalagi Mamamu, Haev!
Setelahnya Nathan menghela nafas, tiba tiba tatapannya menjadi sendu. "Nathan pengen rasain masakan Mama. Hah.. Boro boro rasain masakan Mama, rasain ASI Mama aja ngga diijinin sama Tuhan."
"Nathan ngga sendiri kok! Haev juga gitu."
Lagi, Nathan menatap tajam mata Haev. "Apa sih!" Lalu beralaih menatap papanya. "Papa, ceritain dong masakan Mama rasanya gimana.."
Jeffrey tersenyum dan mengusap pelan surai lembut milik Nathan.
"Mama nggabisa masak sayang. Papa juga belum rasain."