Setelah pulang dari rumah sakit, Haevan segera memasuki kamar, namun ia dikejutkan oleh kamarnya yang berantakan.
Haevan menarik nafasnya dalam-dalam lalu menghembuskan supaya dia sedikit lebih tenang dan bisa mengontrol emosinya.
"Baru juga pulang." Niatnya yang ingin segera rebahan ke kasur kesayangannya ia urungkan kala melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa kamarnya seperti tidak layak huni. Barang-barang banyak yang rusak, figura di atas nakas pun sudah pecah berkeping-keping, bantal yang biasa ia gunakan untuk mengganjal kepala pun sudah sobek sehingga kapuknya bertebaran kemana-mana, tidak terlewat pakaian yang seharusnya berada di almari kini juga sudah berserakan di lantai, dan OH YAA! SERAGAMNYA!
Mata Haevan berkaca-kaca kala baju seragamnya, yang seharusnya utuh kini sudah terpotong menjadi beberapa bagian kecil.
Entah ini ulah siapa, yang jelas bukan maling. Tidak ada barang berharga yang hilang, tetapi, banyak barang berharganya yang rusak.
Ia menutup pintu kamar dengan keras, lalu duduk dibalik pintu tersebut, Haevan menyembunyikan kepalanya di lipatan tangan.
Tidak bisa kah? Haevan tinggal dengan tenang di dunia ini?
Ia ingin marah, tapi kepada siapa? Toh, marahnya tidak akan merubah apapun. Jadi, ia memilih untuk menangis, ia menangis karena tidak bisa marah. Dan ia menangis, karena barang berharganya telah hancur.
Dengan sesenggukan, Haevan berdiri. Di kepalanya terus ia rapalkan kalimat penyemangat, terus ia ingat-ingat bahwa banyak orang-orang di dunia ini yang membuatnya kuat, berdiri di sampingnya serta membimbingnya, selain Papa dan saudaranya.
Perlahan, ia berangsur membaik. Menghela nafasnya lagi, Haevan mengusap jejak air mata di pipinya dengan kasar.
Ia ambil pakaian yang tergeletak di lantai, memeriksanya apakah pakaian ini sehat atau terluka. Syukur, masih ada beberapa pakaian yang layak pakai, pakaian itu ia masukkan ke keranjang untuk ia cuci nantinya, sedangkan pakaian yang tidak layak ia masukkan ke kardus untuk ia buang.
Pemuda itu mendongak, menatap dirinya dari pantulan kaca yang retak. Aduh kaca kesayangan, malah retak.
"Ingat Haevan, seperti pepatah kita harus berakit-rakit dahulu dan bisa bersenang-senang kemudian."
"Gapapa kita harus kecapean gini, toh nanti kita juga dapet enaknya bisa rebahan, tempatnya juga jadi bersih dan layak."
Ucapnya sambil menunjuk-nunjuk dirinya yang ada di pantulan kaca.
Pemuda itu mecoba untuk menghibur dirinya sendiri, sedikit menyugar rambutnya kebelakang, lalu ia mengangkat alisnya tengil. "gantengnya oiii."
Ckleek
Pintu yang tiba-tiba di buka membuatnya terlonjak kaget. Lebih kaget lagi mengetahui bahwa Jean yang mengunjunginya di kamar, rautnya terlihat biasa saja seolah sudah tahu dengan keadaan kamar Adiknya, membuat Haevan memincing curiga.
Jean hanya menyembulkan kepalanya saja. "Loudahgapapa?" Tanyanya dengan tempo yang cepat membuat Haevan tidak bisa menyembunyikan raut kebingungannya.
"Hah?"
Jean masuk lebih dalam lagi, menutup pintu kamar Haevan dengan pelan. Berjongkok ketika melihat di bawahnya banyak pecahan kaca, membuat Haevan was-was. Tapi, yang dilakukan Jean adalah mengumpulkan pecahan kaca itu dan membuangnya ke tempat sampah, Haevan mengusap-usap daun telinganya, dia hanya diam berdiri ditempatnya dengan pandangan kebingungan level maksimal. Bisa dibayangkan bukan raut wajah ngangngong Haevan saat ini.
Jean yang diperhatikan juga merasa canggung.
Akhirnya Jean menghela nafas, ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Anak kedua dari Jeffrey itu mengangkat kepalanya, menatap manik teduh Haevan, menatapnya dengan dalam "Maaf Haev. " Ia sebetulnya gengsi. Tapi ia tahu, jika ia tidak melakukan ini dari awal, suatu saat mungkin ia akan menyesal. Jean juga tidak mau hidup dalam ruang lingkup kebencian terus menerus, ia ingin mengakhiri kebenciannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Dark Sun (hiatus)
FanficSemesta, kehadirannya memang tak diharapkan, namun ia ada, mengapa tak dianggap? Adalah suatu kalimat yang sering terlintas di otaknya. Dunia, ia juga tak mengharapkan hadir, namun tuhan berkehendak, lalu untuk apa ia menyerah? Adalah suatu kalima...