Chapter 04. Rupa Alas Gung Liwang-liwung

210 19 1
                                    

Rupa Alas Gung Liwang-liwung, mengartikan wujud asli dari hutan belantara. Di ambil, dari bahasa sansekerta.

Sara memberanikan diri, untuk menyentuh kedua bahu perempuan yang masih berdiri tegak membelakanginya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sara memberanikan diri, untuk menyentuh kedua bahu perempuan yang masih berdiri tegak membelakanginya. Lantas, membalikkan posisi tubuh itu supaya berhadapan dengan Sara dan juga Candy. “Gea!” jerit Candy menutup mulutnya menggunakan kedua tangan.

“Kak Gea,” lirih Sara membelalak, saat mendapati wajah Gea yang sangat pucat dan pupil matanya tampak keruh. Begitu juga dengan bibirnya yang membiru, dengan tubuh kaku dan dingin.

“Gea, lo kenapa?” tanya Candy cemas, lalu menjatuhkan air mata yang sudah tertampung di pelupuk matanya.

“Kayanya, Kak Gea kerasukan, Kak,” tutur Sara serius, semakin menambah kecemasan Candy. Terlebih lagi, tatapan Gea yang kosong itu membuat Candy tidak bisa mengajaknya berbicara.

“Kalo gitu cepat bawa Gea ke rumah, terus kita cari tau gimana caranya buat menyembuhkan Gea,” ujar Candy memopang tubuh Gea, dengan cara menyampirkan tangan kanan Gea pada kedua bahunya. Lalu, berjalan pelan meninggalkan area hutan itu. Namun, saat Sara akan meraih tangan Gea—ia justru tersungkur ke tanah—kedua telapak tangannya, menyentuh tanah tersebut untuk melihat sesuatu dengan kedua mata yang terpejam.

 Namun, saat Sara akan meraih tangan Gea—ia justru tersungkur ke tanah—kedua telapak tangannya, menyentuh tanah tersebut untuk melihat sesuatu dengan kedua mata yang terpejam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sepasang kaki Sara menampak di atas karpet merah, tubuhnya berdiri tegak menghadap ke sebuah altar yang berada di kejauhan. Pandangan Sara menyisir ke segala arah, menangkap kursi-kursi kayu di sisinya. Kaca jendela yang berukuran besar, berlapis emas mengkilat telah mempercantik altar, yang menjadi tempat pendeta untuk mempersatukan sepasang kekasih, dalam ikatan pernikahan. Namun, di sana tampak sepi. Tidak ada seseorang pun, yang berada di bangunan megah itu. Bola mata Sara berputar ke atas, melihat betapa tingginya atap bangunan. Lalu, angin bertiup sangat kencang. Semerbak aroma busuk, telah menusuk rongga hidung Sara. Bau yang menyengat, semakin mendekat bersama dengan embusan angin yang mulai kuat.

Bayangan hitam besar, yang menyerupai sesosok laki-laki tinggi dan gagah. Membuat Sara penasaran, untuk mengikuti arah perginya bayangan itu. Sara melangkah dengan cukup hati-hati, menyusuri karpet merah yang membentang panjang di setiap ubin kayu. Tidak ada keraguan di benak Sara, saat ia harus berjalan pelan di sepanjang lorong. Dan, hanya sumbu api dari teplok kecil disetiap pillar, yang menerangi beberapa ruangan disekitarnya. “Ke mana bayangan tadi? Kenapa hilang?” tanya Sara dengan kening yang berkerut.

DESA SESUK [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang