[CHAPTER 16] Janji

6K 878 121
                                    

Pagi itu saat Renjun membuka kedua mata, matahari telah meninggi di luar sana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi itu saat Renjun membuka kedua mata, matahari telah meninggi di luar sana. Rupanya semalam ia jatuh tertidur di kamar Jeno setelah menangis tanpa suara. Renjun sontak berderap dari tempat tidur, membawa langkah kakinya keluar dari dalam kamar lantas mencari keberadaan Jeno. Ruang kerja si pria menjadi tujuan utama, akan tetapi saat Renjun membuka pintu kayu tersebut tak ada siapapun di dalam sana, yang membuat Renjun lebih terkejut adalah kondisi ruangan itu tampak berantakan dengan berkas yang berserakan di atas lantai, pecahan dari guci besar yang menjadi pajangan dan tirai yang tampak robek akibat ditarik dengan paksa. Renjun tak bisa lagi menjelaskan bagaimana hancurnya ruang kerja Jeno saat ini. Jeno tidak ada di manapun, sekitar rumah telah Renjun telusuri namun tetap saja ia tak berhasil menemukan si pria. Renjun memutuskan untuk kembali masuk ke dalam rumah, duduk kebingungan di ruang tamu sembari berharap bahwa Jeno akan segera muncul.

Pikiran Renjun terlalu kacau untuk bisa berpikir dengan jernih, dia bahkan sampai lupa untuk pergi ke sekolah. Pipi Renjun terasa panas, rupanya si remaja kembali meneteskan air mata. Pikirannya di penuhi dengan Jeno.

Dimana Jeno sekarang? Apa yang dia lakukan? Apakah dia masih menyalahkan dirinya atas kejadian semalam? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang hinggap dalam benak Renjun. Sesuatu terasa menyesakkan dalam dada, membuat Renjun tak berhenti menangis meratapi nasibnya.

Setelah puas menangis, Renjun mengusap air mata dengan sedikit kasar, dia tidak tahu kemana harus pergi untuk mencari Jeno. Jadi Renjun putuskan untuk membersihkan diri lantas menunggu sang empunya rumah kembali.

Hari menjelang sore, Jeno belum juga pulang. Renjun tampak gelisah, berkali-kali melongok pada pintu kayu yang menjadi satu-satunya akses masuk. Demi Tuhan, Renjun benar-benar khawatir dengan Jeno dan kebingungan saat ini. Akan lebih baik jika Jeno ada disini, entah memarahinya atau apapun Renjun tak peduli, asalkan si pria ada di hadapannya.

“Jeno, sebenarnya kau ada dimana?”

Di tengah rasa kebingungan dan khawatir, dari arah luar Renjun mendengar suara deru mobil. Sebelumnya Renjun memang tak memperhatikan garasi dan rupanya memang mobil Jeno tak ada di sana.

Renjun segera berdiri guna menyambut kedatangan Jeno. Pintu utama itu terbuka, menampilkan sosok Jeno dengan penampilan yang tak bisa dibilang baik-baik saja; kemeja lusuh dengan dua kancing yang terbuka, rambut berantakan dan luka kemerahan dengan darah yang mengering di punggung tangan.

Melihat kondisi Jeno yang tampak menghawatirkan seperti itu Renjun mendekat, mata dan bibirnya bergetar, “Paman.” Lirih Renjun.

Keduanya kini saling berhadapan, tepat di ruang tamu sederhana milik Jeno. Sorot mata tajam Jeno seketika menghujam Renjun dengan dengan begitu kasar, namun hanya sebentar sebab Jeno langsung memalingkan wajahnya, “Pergilah Renjun, tempat ini tidak aman untukmu, aku tidak bisa menjagamu. Jadi aku mohon, pergilah dari sini.” Desisnya gusar, “Aku sudah memberitahu Mark, orang suruhannya akan menjemputmu besok pagi, jadi sebaiknya kau kemasi barang mu dan pergi dari sini.”

MINE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang