[CHAPTER 6] Luka

6.1K 989 31
                                    

Ruangan yang semula remang-remang dengan sedikit cahaya sinar matahari yang masuk lewat gorden jendela yang tak tertutup rapat, kini berubah menjadi lebih terang saat Jeno menekan saklar lampu untuk menghidupkan lampu yang ada di dalam ruang kerja...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ruangan yang semula remang-remang dengan sedikit cahaya sinar matahari yang masuk lewat gorden jendela yang tak tertutup rapat, kini berubah menjadi lebih terang saat Jeno menekan saklar lampu untuk menghidupkan lampu yang ada di dalam ruang kerjanya tersebut. Jeno membawa langkah kakinya menuju kursi di balik meja kerja yang biasa ia duduki, bersandar pada punggung kursi dengan hembusan napas panjang keluar dari rongga mulut. Pikirannya berkecamuk tentang banyak hal. Terutama tentang sosok remaja yang kini tinggal di rumahnya.

Jeno tidak tahu seberapa berat hidup yang Renjun jalani selama ini, akan tetapi melihat tatapan mata dan mendengar suaranya saat keduanya berada di dalam mobil tadi membuat Jeno sedikit paham; Renjun tengah terluka. Bukan luka fisik yang mampu di lihat orang lain, tapi luka di dalam hati. Sama seperti dirinya.

Lamunan Jeno seketika pecah kala ponselnya kembali berdering, ada sebuah panggilan masuk, dan saat ia melihat siapa nama yang tertera di layar ponselnya, Jeno segera menggeser tombol virtual berwarna hijau tersebut.

"Halo..."

"Jeno, bagaimana urusan Renjun tadi? Berapa kerugian yang harus akun ganti?"

Jeno mengerutkan kening, kerugian? Alih-alih bertanya bagaimana keadaan Renjun, Mark malah menanyakan tentang kerugian?

"Mark, sebenarnya selama ini bagaimana caramu mengatasi setiap masalah Renjun di sekolah? Apa kau tidak pernah bertanya pada Renjun, kenapa dia sampai membuat masalah? Dan apa yang selama ini dia rasakan?"

"Jeno, sejak awal masuk sekolah, dia sudah terlibat banyak masalah, mulai dari membolos, melawan wali kelasnya, pulang ditengah pelajaran dan berkelahi dengan teman sekelasnya, bahkan temannya sampai pindah dan masuk rumah sakit.. Dia tidak suka dengan sekolah yang aku pilih, itulah kenapa dia selalu membuat masalah dan membuatku harus membayar kerugian atas apa yang dia lakukan.."

Ah, sekarang Jeno paham alasan kenapa Renjun semakin membencinya bahkan setelah mereka tinggal bersama selama lebih dari dua tahun. Alih-alih memahami Renjun dan membuat remaja itu merasa aman dan nyaman, Mark malah mengabaikannya hal yang paling penting tentang Renjun, Mark pikir uang adalah hal yang paling Renjun butuhkan, selama ia bisa memenuhi semua kebutuhan Renjun, maka itu cukup. Padahal, tidak semudah itu. Jadi, wajar saja jika Renjun semakin membenci sahabat baiknya itu.

Jeno menghela napas, dia tidak ingin ikut campur dalam urusan Mark dengan Renjun. Namun, jika ia hanya diam dan sang sahabat terus bersikap seperti ini, maka sampai kapanpun tidak akan ada perubahan di antara kedua orang tersebut.

"Mark, aku tidak ingin ikut campur, aku juga bukan sok tahu dan ingin mengajarimu.. Tapi aku pikir, caramu selama ini salah, bahkan aku tebak kau sama sekali tidak memahami apa dan bagaimana perasaan Renjun, apa yang dia inginkan dan bagaimana harusnya kau bersikap.. Mark, dia hanya remaja berusia 17 tahun saat kehilangan orang tuanya, lalu dipaksa untuk tinggal bersama orang yang menyebabkan orang tuanya meninggal, menurutmu bagaimana perasaannya? Alih-alih membuatnya merasa aman dan nyaman, kau malah mengabaikannya dengan kesibukanmu kala itu dan berpikir asal dia tidak kekurangan apapun, itu cukup. Tapi semua itu sama sekali tidak benar Mark, kau melukainya bahkan lebih buruk lagi Mark.." Jeno mengenal Mark, mereka berteman sejak masih duduk di bangku SMP, merilis bisnis ini pun juga bersama, itulah kenapa Jeno tahu tentang Mark pun sama halnya dengan Mark yang tahu tentang Jeno, "Saat kau kembali, tolong perbaiki sikapmu, setidaknya minta maaflah pada anak itu dengan cara yang benar.."

Tak ada jawaban dari Mark, barangkali ia di sana tengah berpikir tentang apa yang Jeno katakan dan tanpa menunggu lagi, Jeno memutuskan sambungan panggilan tersebut. Biarkan saja, setidaknya Jeno sudah mengatakannya dan tentang bagaimana keputusan Mark nanti, itu adalah hak Mark.

Sedangkan Renjun. Setelah sampai di kediaman Jeno, dia langsung turun dari mobil dan tanpa berkata apapun lagi membawa langkah kaki masuk ke dalam rumah, mengunci diri di dalam kamar. Renjun tidak marah, lagipula untuk apa ia marah, sejak awal memang tidak ada yang percaya padanya itulah kenapa Mark selalu memberikan ganti rugi atas apa yang ia perbuat padahal Renjun tidak bersalah, mereka dulu yang memancing emosi Renjun dengan terus mengganggu Renjun, menghina dan mengoloknya, menurut kalian bagaimana perasaan Renjun? Awalnya dia hanya diam, bersikap tidak peduli, tapi semakin Renjun diam mereka semakin kurang ajar dan Renjun tidak tahan hingga berkahir berkelahi dengan mereka. Apa dia salah?

Namun hari ini, Renjun sedikit merasa ada yang berbeda sebab belum pernah ada yang bertanya tentang apa yang ia rasakan atau alasan kenapa ia berkelahi. Dan Jeno adalah orang pertama yang bertanya tentang alasan kenapa Renjun berkelahi dan tidak menghakiminya seperti apa yang Mark lakukan.

Renjun tersentak kaget kala tiba-tiba pintu kamarnya di ketuk dari luar, remaja itu lekas berdiri dan membawa langkah kakinya mendekat ke arah pintu guna membukanya.

"Paman.." Ujar Renjun dengan nada suara pelan saat menemukan Jeno berdiri di balik pintu kamar dengan membawa sebuah kotak, entah apa isinya.

Jeno menyodorkan kotak berisi perlengkapan untuk mengobati luka, sebab Jeno melihat ada sebuah luka di lengan kanan Renjun, sudut bibir dan lebam di bawah mata, barangkali anak ini butuh kotak ini untuk mengobati luka-lukanya. "Obati lukamu dengan ini, jika dibiarkan takutnya infeksi.." Ujar Jeno menjelaskan maksud kedatangannya pada Renjun.

Renjun dengan gerakan sedikit ragu mengambil alih kotak yang Jeno sodorkan, "Em.. Terimakasih, paman.."

"Ada makanan di meja makan, makanlah nanti, kalau sudah dingin kau bisa menghangatkannya sendiri.." Ujar Jeno sebelum melangkah pergi meninggalkan Renjun. Namun, baru beberapa langkah ia berhenti sebab mendengar ucapan Renjun yang sedikit menyinggungnya.

"Jika paman melakukan ini karena kasihan padaku, tolong simpan saja rasa kasihan paman itu.. Aku tidak semenyedihkan itu hingga harus di kasihani.." Ujar Renjun lantas masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya rapat-rapat sebelum Jeno sempat membalas ucapan sang remaja.

Jeno membalikkan tubuh, menatap pintu kamar Renjun dengan tatapan yang sulit diartikan, lantas menghela napas dalam-dalam. "Jeno, sebenarnya apa yang kau lakukan? Lihatlah, kau terlihat seperti orang bodoh.." Gumam Jeno lantas kembali melanjutkan perjalanan menuju ruang kerjanya.

Renjun duduk di atas tempat tidur, menatap kotak yang ia lempar di sudut ranjang. Renjun tahu, Jeno tidak benar-benar peduli, orang-orang dewasa itu sama saja dan Renjun tidak akan semudah itu percaya dengan Jeno, sebab di dunia ini tidak ada yang benar-benar bisa di percaya bahkan Renjun saja tidak percaya pada dirinya sendiri.

"Papa, Mama.. Tidak bisakah kalian membawaku juga? Aku tidak ingin hidup lagi.." Ujar Renjun yang kini memeluk lututnya sendiri, menyembunyikan wajahnya pada sela-sela antara lutut dan tubuhnya, menumpahkan tangis tanpa suara.




- T o b e
C o n t i n u e -

MINE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang