Amarah yang sebelumnya menguasai diri Jeno perlahan padam. Jeno menutup laptopnya dengan sedikit kasar, tak peduli jika laptop itu akan rusak akibat ulahnya. Jeno tidak bisa fokus mengerjakan laporannya, meski ia sudah membacanya berulang kali tetap saja ia tidak paham. Hembusan napas pelan meluncur dari belahan bibir Jeno bersamaan dengan tubuhnya yang kini bersandar pada punggung kursi kerjanya. “Sialan!” Umpat Jeno sembari mengusap wajahnya dengan kasar.Jeno kembali menegakkan tubuh, kedua tangan dijadikan tumpuan untuk menyangga kepalanya. Jeno merasa sudah keterlaluan pada Renjun, tangisan remaja itu masih sangat jelas diingatan Jeno dan itu juga yang mengganggunya sejak tadi. Jeno merasa dirinya benar-benar brengsek sebab meninggalkan Renjun begitu saja disaat remaja itu tengah tertekan dan baru saja mengalami musibah. Tapi, bukankah itu baik untuk Jeno? Dengan begitu ia tidak perlu repot mengusir Renjun keluar dari rumahnya sebab pasti anak itu kini sudah mengemasi pakaiannya dan akan segera angkat kaki dari rumah ini.
Tapi sekali lagi, Jeno merasa ini tidak benar, meski di mulut ia bilang tak peduli akan tetapi melihat Renjun yang tidak berdaya dan penuh luka kesedihan seperti tadi membuat sesuatu dalam diri Jeno bergejolak. Rasanya Jeno ingin mendekapnya, dia ingin melindungi anak itu dan menjaganya tetap aman. Terdengar gila mungkin, tapi Jeno benar-benar tidak bisa mengabaikan Renjun begitu saja.
Jeno pernah mengalami kepahitan dalam hidup yang membuatnya menyesal hingga saat ini, dia tidak berharap Renjun akan mengerti, akan tetapi ia harap Renjun akan berhenti menangis sebab Jeno tidak bisa menghiburnya atau mengatakan kalimat-kalimat indah yang mungkin akan membuat perasaannya jauh lebih baik.
Jeno beranjak dari tempatnya duduk, mungkin membasuh wajahnya dengan air akan sedikit membuatnya lebih segar dan bisa berpikir jernih. Jeno menyalakan kran air lantas membasuh wajahnya, di tatapnya sosok itu dibalik cermin namun sialnya malah bayangan Renjun yang tengah menangis yang tergambar di sana. Sialan, Jeno benar-benar merasa sudah gila karena anak itu. Jeno tidak menyesal telah membentak Renjun, tapi dia mungkin menyesal karena tak meminta maaf pada anak itu.
Jeno bak orang bodoh sebab terbengong dalam kurun waktu yang lama, lantas ia melangkah mendekati pintu keluar. Ini sudah sangat malam, sekitar pukul 12 malam, apa mungkin Renjun sudah pergi dari rumahnya? Tapi kemana anak itu akan pergi malam-malam begini? Dia tidak punya tempat tujuan, belum lagi ada begitu banyak bahaya diluar sana saat malam hari. Jeno, kau benar-benar bodoh.
Tujuan utama Jeno adalah kamar Renjun, pintu kamar itu tertutup rapat dan Jeno sudah membulatkan tekad untuk mengetuknya, memastikan apakah Renjun masih ada di rumahnya atau tidak, “Renjun..” Panggil Jeno, namun tak ada sahutan dari dalam, lagi Jeno mengetuk pintu kayu itu dan masih hening hingga akhirnya Jeno putuskan untuk membuka pintu kamar Renjun yang rupanya tak terkunci.
Jantung Jeno seketika berdebar keras dan deru napasnya memburu, “Renjun..” Kamar itu kosong bahkan seprainya tampak rapih seperti belum ditempati. Astaga, dimana anak itu? Jangan bilang dia benar-benar pergi?!
Jeno kembali keluar tak lupa menutup pintu kamar Renjun kembali, niatnya ingin kembali ke ruang kerja untuk mengambil kunci mobil dan mencari Renjun. Namun, netra hitamnya tak sengaja melihat kearah ruang tamu dimana Renjun tengah meringkuk seperti bayi di atas sofa, matanya terpejam namun jejak air mata masih jelas membasahi wajahnya dan itu sungguh membuat hati Jeno remuk melihatnya. Apa yang sudah ia lakukan pada remaja ini?
Pemandangan Renjun yang tak berdaya di atas sofa membuat hati Jeno sakit, padahal Jeno tahu jika Renjun hanyalah seorang remaja yang rapuh dan penuh luka, dia telah kehilangan segalanya bahkan mungkin dia telah kehilangan dirinya sendiri dan seharusnya Jeno ada untuk menggenggam dirinya dan menguatkannya.
Jeno mendekati tempat Renjun berada, anak itu terlihat gelisah dalam tidurnya bahkan samar-samar Jeno dapat mendengar sebuah rintihan dari belahan bibirnya. Jeno ingin menyentuh wajah Renjun, setidaknya menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajahnya, namun ia urungkan hal itu. “Maafkan aku, Renjun, aku tidak bermaksud membentak mu.. Aku hanya terlalu khawatir karena kau belum pulang dan tidak bisa dihubungi, maafkan aku..”
Jeno semakin mendekat sebab rintihan Renjun dalam tidurnya semakin terdengar keras, “Maafkan aku.. Aku salah, maafkan aku.. Jangan benci aku, aku salah..” Gumam Renjun semakin menghantam perasaan Jeno.
Merasa ada yang tidak beres, Jeno menyentuh kening Renjun dan benar saja anak ini mengalami demam, suhu tubuhnya benar-benar panas. Jeno mendesah resah, tanpa menunggu lagi ia langsung mengangkat tubuh Renjun dan memindahkannya ke dalam kamar agar lebih nyaman. Jeno merebahkan tubuh Renjun di atas tempat tidur, kemudian ia keluar untuk mengambil wadah obat dan baskom yang di isi air guna mengompres Renjun agar panasnya turun.
Jeno tidak pernah merawat orang yang sedang sakit sebelumya, ia hanya melakukan apa yang menurutnya benar, mencelupkan handuk kecil yang telah ia lipat menjadi dua ke dalam besok berisi air, sebelum ditempelkan pada kening Renjun, Jeno lebih dulu memerasnya agar airnya tak membasahi wajah Renjun.
Demi Tuhan, wajah Renjun tampak pucat belum lagi luka lebam yang menghiasi sudut bibirnya, membuat Jeno semakin merasa bersalah.
Kelopak mata Renjun perlahan terbuka, samar-samar ia melihat sosok Jeno yang duduk disampingnya dengan ekspresi wajah yang tampak sedih meski tak begitu jelas, kepala Renjun terasa begitu pening.
“Paman..” Suara Renjun begitu lirih dan terdengar seperti bukan suaranya sebab sangat serak. Jeno benar-benar sudah membuat anak ini menangis dengan keras.
“Maafkan aku, Renjun..”
Renjun tampak menggeleng pelan sementara bibirnya gemetar, “Tidak, paman, itu salahku..”
Jeno menghela napas, ia berupaya keras guna menatap manik mata Renjun yang terbuka meski sepertinya terasa begitu berat, “Tidak, Renjun, harusnya aku tidak membentak mu, aku hanya terlalu khawatir karena kau tidak mengabari ku sama sekali padahal hari sudah menjelang malam, hingga merasa marah dan berakhir membentak mu, maafkan aku..”
Renjun bisa mendengar dengan jelas suara Jeno yang terdengar tenang tak seperti tadi, entah mengapa hati Renjun pun ikut merasa tenang, entah Jeno itu orang seperti apa tapi Renjun yakin jika Jeno adalah orang yang baik, “Paman, kau tidak salah, harusnya aku mengabari mu seperti apa yang kau perintahkan, maafkan aku karena sudah lancang.. Aku harap paman mau memaafkan ku, aku janji hal seperti ini tak akan terjadi lagi, aku—”
“Ya, Renjun..” Ujar Jeno menyela ucapan Renjun, “Aku memaafkan mu, sekarang istirahatlah, kau demam dan tubuhmu pasti lelah..”
Renjun tersenyum tipis, remaja itu perlahan menutup matanya kembali, namun sebelum itu ia berujar pelan, “Paman, terimakasih sudah mau menerimaku di rumahmu, aku tidak punya niat untuk mengganggu hidupmu ataupun pekerjaanmu, aku hanya akan tinggal beberapa minggu disini hingga Mark kembali.” Setetes air mata berhasil lolos dari mata Renjun yang terpejam. Sejujurnya, jika bisa Renjun tak ingin kembali tinggal bersama Mark karena rasanya sangat menyakitkan; melihat orang yang telah membuatnya kehilangan segalanya.
Awalnya Jeno hanya diam, namun perlahan tangannya bergerak untuk mengusap jejak air mata Renjun dengan ibu jarinya, “Aku tahu, aku juga minta maaf, lain kali aku tidak akan melakukannya lagi, aku janji..” Ujar Jeno seperti obat penenang untuk Renjun, perlahan remaja itu menjemput alam mimpinya.
Jeno menarik tangannya yang masih menyentuh pipi Renjun, membiarkan remaja itu beristirahat dengan tenang.
- T o b e
C o n t i n u e -—————
Hai!
Semoga cerita tidak seberapa ini dapat menghibur kalian ya❤
Jangan lupa tinggalkan jejak setelah membaca😉
Ren-
KAMU SEDANG MEMBACA
MINE ✔
Romance[NOREN] Lee Jeno tidak pernah menyangka, bahwa keputusannya untuk menerima tawaran konyol dari sang sahabat, akan membuat suatu perubahan besar dalam kehidupannya. Start : 11 April 2022 End : 21 Nov 2024