[CHAPTER 29] Worried

764 118 7
                                    

- M I N E -

;

Mata Jeno terus mengawasi setiap gerakan di sekitar perusahaan besar yang dipenuhi dengan karyawan yang sibuk keluar masuk. Ia bersandar pada dinding dingin, menyamar sebagai pengantar paket, sementara Mark berpura-pura sedang menelpon sambil berjalan mondar-mandir di seberang jalan. Keduanya berkomunikasi melalui earpiece yang tersembunyi di telinga mereka.

"Ada yang mencurigakan?" bisik Mark, mengamati setiap mobil yang datang dan pergi.

"Tidak ada, semua terlihat normal," jawab Jeno, raut wajahnya mencerminkan kekecewaan. Sudah beberapa jam mereka mengintai tanpa hasil.

Mark dan Jeno telah menghabiskan berjam-jam mengawasi sebuah gedung perusahaan paman Renjun, sampai akhirnya sosok yang mereka tunggu muncul. Keduanya yakin bahwa pria yang baru saja keluar adalah paman Renjun, dalang di balik penculikan Renjun. Mata mereka fokus pada sosok itu yang segera memasuki sebuah mobil hitam. Mobil itu perlahan-lahan meninggalkan gedung. Jeno lekas berlari ke arah mobilnya begitu juga dengan Mark yang segera masuk di kursi samping Jeno, dengan gerakan yang terlatih, Jeno langsung menghidupkan mobilnya untuk mengikuti dari jarak yang aman.

Mark menatap Jeno, "Kau yakin dia akan pergi ke tempat Renjun?" tanyanya, suaranya berat dengan kekhawatiran.

Jeno menggenggam kemudi dengan lebih kuat, matanya tidak pernah lepas dari mobil di depan. "Tidak ada salahnya untuk mengikutinya. Ini satu-satunya petunjuk yang kita punya," jawabnya, suara tenang namun tegas.

Di dalam mobil yang sepi, hanya suara mesin yang terdengar, ketegangan menggantung di udara. Mereka berdua tahu bahwa keselamatan Renjun bergantung pada langkah mereka selanjutnya. Setiap tikungan yang diambil oleh mobil paman Renjun semakin menambah kecemasan, namun Mark dan Jeno tetap bertekad untuk tidak kehilangan jejak.

✧─── ・ 。゚★: *.✦ .* :★. ───✧

Renjun terbangun dengan napas tersengal, sisa kelelahan masih membekas di wajah pucatnya. Dia merasakan pergelangan tangan dan kakinya kaku akibat terikat rapat pada kursi kayu lusuh di sudut ruangan gelap yang bau apek. Dengan berusaha keras, Renjun menggerakkan tangannya, mencoba mengendurkan ikatan tali yang melilit, tapi sia-sia. "Harus ada cara keluar dari sini," bisiknya pada diri sendiri, tekadnya membara meski fisiknya lemah.

Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk membebaskan diri, tetapi tidak ada apa pun selain kegelapan yang pekat dan beberapa kotak kardus tua menumpuk di pojok ruangan. Renjun merasa seolah-olah waktu berhenti, dan pikirannya melayang kembali pada wajah Jeno, yang terakhir kali dia lihat penuh dengan kepanikan saat melihatnya diculik.

“Jeno, aku harap kau baik-baik saja,” gumam Renjun, suaranya hampir tak terdengar. Dalam hatinya, dia berharap Jeno tidak menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi. Renjun tahu betul bagaimana Jeno bisa terlalu keras pada diri sendiri, dan dia takut Mark akan menambah beban dengan menyalahkan Jeno atas kejadian ini.

Ketidakpastian menghantui setiap detik, Renjun menggertakkan gigi, berusaha untuk tidak terlarut dalam ketakutan dan keputusasaan. Dia harus tetap kuat, untuk Jeno, untuk dirinya sendiri. Dengan setiap tarikan napas, dia mengumpulkan semangat, menyiapkan diri untuk kesempatan apa pun yang mungkin muncul untuk melarikan diri. Di tengah keheningan yang menyesakkan, Renjun menutup mata, memvisualisasikan wajah Jeno, menggambar kekuatan dari kenangan akan senyumnya. "Aku akan kembali, tunggu aku," bisik Renjun ke dalam keheningan, janji yang belum tentu bisa dia tepati, namun harus dia pegang teguh.

Renjun tidak mengerti, sekeras apapun dia berpikir tentang alasan sang paman yang begitu membenci dirinya dan orang tuanya. Sebenarnya kenapa? Padahal selama ini kedua orang tua Renjun telah banyak membantu sang paman, lantas kenapa sang paman tega melakukan ini.

MINE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang