02. Persiapan

173 23 1
                                    

Semakin banyak kamu melangkah, maka semakin besar pula kemungkinan pengetahuanmu bertambah.

Setelah sibuk seharian mempersiapkan acara yang akan segera datang, saat ini aku tengah bermalas-malasan bersama es cincau dalam genggaman.

Tak terasa sudah beberapa acara kulalui, mulai dari Musyawarah Besar hingga Pemilihan Ketua MPK.

“Cape banget, mau cepet pulang biar bisa tidur!”

Obrolan yang seperti gerutuan itu terdengar dari manusia-manusia yang kini duduk melingkar, termasuk aku. Sedari tadi kami sibuk pontang-panting memenuhi kebutuhan acara. Kakiku bahkan akan kaku jikalau dipaksakan untuk berlari lagi.

“Iya nih, udah mau jam enam juga.”

Tanganku terangkat, memastikan ucapan temanku barusan. Ternyata benar, sudah seharian aku menghabiskan hari Minggu berhargaku di sekolah.

“Apa kabar cucianku tercinta yang belum diangkat dari jemuran,” ringisku kembali mengingat seragam putih abu-abu yang besok akan kukenakan.

“Kalian pulang duluan aja, sisanya nanti sama kelas 12.”

Suara lembut itu mengundang senyumku untuk mengembang. Bagaimana tidak senang jika disuruh pulang duluan.

Buru-buru kami berpamitan meninggalkan ruang OSIS menuju gerbang setengah terbuka. Sembari berjalan jemariku mengetik nama Father pada kolom pencarian. Lantas menekan ikon telepon untuk menyambungkan panggilan.

“Jemput ya, Pa,” ucapku setelah mengucapkan salam sebelumnya.

Kudengar ayahku tercinta juga mengiyakan keinginanku.

Suara klakson berhasil mengalihkan pandanganku dari layar ponsel.

“Ayo!”

Tangan pria di atas motor keluaran tahun lalu memenuhi indra penglihatanku.

“Papa,” panggilku membalas lambaian tangannya.

Langkah riangku mendekat, menaiki motor setelah menggunakan helm yang tadi disodorkannya.

“Tumben minta dijemput, biasanya juga sama teman kamu.”

Dalam perjalanan ayahku berusaha mencairkan suasana.

“Lagi mau aja,” balasku bohong.

Padahal sebenarnya tadi Agita sudah pulang lebih dulu. Aku tak tahu pasti apa alasannya, aku juga tidak berusaha mencari tahu. Toh itu urusan pribadinya yang mungkin saja tak bisa kucampuri.

15 menit kemudian kami sampai di pekarangan rumah. Maklum ayahku jika berboncengan dengan putri cantiknya ini pasti sangat pelan.

Tiap kali kutanyakan alasannya, ia pasti akan menjawab, “Kan bawa anak gadis, masa kebut-kebutan.”

Aku kembali berpikir, jikalau ayahku membawa kakak laki-lakiku akan secepat apa ya?

Tuh kan, pertanyaan konyol itu malah menghantui pikiran lelahku. Lagian untuk apa juga Ayah membonceng Kak Zidan yang bahkan sudah bisa membawa kendaraan roda dua sendiri, tidak seperti aku. Sepeda saja tidak bisa, payah sekali kamu Meira.

“Sudah, hentikan kebiasaan bengongnya. Sana masuk, Papa mau masukin dulu motor.”

Sesuai perintahnya, kakiku melangkah menginjak teras setelah membuka sepatu. Aku memang tim lebih baik menggunakan sepatu daripada sendal. Alasannya kakiku akan lebih terlindungi. Dulu aku pernah mengalami kejadian tidak mengenakan karena hanya menggunakan alas terbuka. Tapi tak usah dibahas, itu sudah lama sekali. Aku bahkan tidak ingat bagaimana detail kejadiannya.

“Assalamu'alaikum, Ma!”

“Mama,” panggilku lagi karena tak kunjung mendapatkan sahutan.

Aku jadi penasaran ke mana perginya ibuku sore hari begini? Tidak mungkin ia keluar dari rumah.

Jangankan menjelang magrib, siang bolong saja ibuku lebih memilih diam di rumah. Entah jiwa rumahan dari mana yang ia dapatkan, intinya beliau adalah sosok yang pasti diam kalo gak ada keperluan. Panutan sekali untuk kaum rebahan sepertiku. Mungkin jiwa malasku juga turun dari wanita itu.

Tapi untunglah masih ada jiwa senang berkelana dari ayahku yang kini sudah memasuki ruang tamu, menyusulku.

“Pa, Mama ke mana?” tanyaku lelah mondar-mandir mencari keberadaan penghuni rumah sejati.

“Palingan di kamar mandi, dari tadi mamamu bolak-balik terus.”

Mataku memicing mendengarkan penuturannya. “Makan pedes lagi ya?”

“Mama kan gak bisa makan pedes. Ngeyel banget sih jadi orang tua!”

Tak lama setelah dengkusanku terlontar, wanita berbaju hijau muda itu turut datang menghampiri.

“Salim,” ucapnya menyodorkan tangan kanannya untuk kucium.

“Mama makan apalagi hari ini sampe bolak-balik kamar mandi gitu?”

Pertanyaan sengit mulai kukeluarkan, menyerang kebiasaannya yang entah kapan bisa mereda.

“Seblak, tadi siang beli di depan. Mama baru tau level pedesnya kebangetan, jadi sakit perut deh.”

Bibirnya tersenyum tak berdosa. Jika terus begini bagaimana aku bisa marah coba?

Aku menghela napas panjang. Menyerah untuk menjadi pemenang dalam perdebatan ini.

“Lain kali jangan pedes-pedes banget. Mama kan gak kuat makan pedes," jelasku memberikan pengarahan.

Saat ini aku tambah bingung, siapa yang orang tua di sini sebenarnya?

Konyol sekali memang, tapi aku amat sayang ibuku. Dia yang terbaik, setelah ayahku tentu saja.

Karena ayahku adalah pahlawanku ketika dimarahi Ibu. Dia juga donatur terbesar ketika Ibu melarangku membeli sesuatu yang menurutnya tidak penting.

“Sudah-sudah, sebentar lagi mau magrib. Siap-siap sana.”

Hanya dengan isyarat dagunya aku langsung paham, lantas pergi meninggalkan keduanya menuju kamarku yang kuyakin berantakan.

Ibuku selalu mengajarkan padaku untuk melakukan apapun kebutuhanku sendiri. Ia tidak akan membantu jika aku dirasa bisa melakukannya. Dan kebetulan tadi pagi aku lupa membereskan kamar karena harus cepat-cepat menuju sekolah setelah mencuci baju dan menjemurnya. Bahkan tadi cucianku masih menggantung di luar.

“Biar mandiri, jangan apa-apa bergantung sama kita.”

Itulah jawaban Ibu jika Ayah memintanya untuk membantuku mengambilkan pakaian. Dan aku tidak merasa keberatan, toh aku masih sanggup melakukan hal sederhana seperti itu. Lagipula tugas ibuku di rumah lebih banyak daripada aku yang hanya berkutat dengan barang pribadi saja.

______________________________________

MEIRAKSA [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang