27. Hari Baik

38 8 0
                                    

Hal-hal baik berawal dari hati yang baik.

Saking sibuknya dengan keseharian yang kulalui, aku baru tersadar bahwa hari ini adalah hari ulang tahunku. Itu pun karena notifikasi dari media sosialku yang mengucapkan selamat ulang tahun.

"Ah, udah tujuh belas tahun aja," ucapku kembali memasukkan berbagai benda yang hari ini akan kubawa ke sekolah.

"Selamat ulang tahun, Cantik!"

Baru saja aku membuka pintu kamarku, seruan dari Ayah dan Ibu menghentikan langkahku.

"Mama, Papa," ucapku terharu sekali akan sikap keduanya.

Sembari tersenyum dengan mata yang mulai menggenang, aku berhamburan memeluk mereka bergantian.

"Eh malah nangis, ini ditiup dulu!" perintah ibuku semakin mendekatkan kue cokelat yang kuyakini adalah buatannya sendiri.

Wanita yang kini tengah tertawa melihat air mataku memang memiliki hobi yang sangat bermanfaat, membuat makanan apa saja yang menarik perhatiannya. Dan ayahku tak pernah mempermasalahkan itu, malah terkadang ia ikut peran di dapur.

Masih banyak waktu yang tersisa untuk pergi ke sekolah. Sebelum berangkat aku menghabiskan waktu bersama kedua orang tuaku. Panggilan telepon dari kakakku juga menjadi penyemangat untuk hari ini.

"Yuk berangkat, keburu telat nanti."

Ayahku bangkit dari duduknya, lantas mengambil kunci motor yang tergantung di dekat pintu.

"Ini kuenya dibawa aja, dimakan bareng teman-teman kamu ya."

Kue cokelat yang sudah terpotong rata itu dimasukkan ke wadah plastik yang kini mendarat di pangkuanku.

"Makasih Ma," ucapku lagi sebelum akhirnya pergi keluar menghampiri ayahku yang kembali memanggil namaku.

Di sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya bibirku menyunggingkan senyum. Hatiku berbunga-bunga, menyambut hari baik milikku.

"Duluan, Pa!" pamitku setelah mencium tangannya.

"Pagi, Neng."

Aku kembali tersenyum, menanggapi sapaan dari penjaga sekolah yang sudah cukup akrab denganku. Mungkin karena aku sering berkeliaran bahkan ketika hari libur tiba.

"Selamat pagi!" teriakku begitu membuka pintu ruang OSIS.

"Eh?"

Aku terperanjat, menatap Raksa juga Nabila yang kini memandangiku. Lebih tepatnya memandangi orang yang membuat keributan di pagi hari.

"Hehe, maaf."

Buru-buru aku kembali menutup pintu, meninggalkan keduanya yang tengah duduk berhadapan dengan beberapa kertas di atas meja.

"Lagian tumben banget pagi-pagi udah di sana," tuturku meratapi harga diri yang saat ini sudah tak berharga lagi.

"Yang lain ke mana, sih? Masa udah pada ke kelas?"

Masih dengan langkah menjauhi ruangan satu itu, aku terseok-seok menuju lobi. Biasanya pagi-pagi seperti ini teman-teman organisasiku juga terkadang nongkrong di sana.

"Anya!"

Tepat sekali dugaanku. Beberapa gadis cantik memenuhi kursi yang berjejer rapi.

"Geser dong," ucapku lantas terduduk diantara Nazila dan Reva.

"Dih, yang lagi ultah wajahnya cerah banget."

"Mei, matahari gak terbit dari timur kan?"

Aku terdiam membisu, gini nih kalau punya teman yang sekolahnya cuma sampai gerbang.

"Ya emang dari timur, geblek!"

Setelahnya tawa diantara kami menguar, bahkan sampai merembes keluar ruangan.

"Pada ngetawain apa, nih? Seru banget kayaknya."

Suara tak asing memasuki indra pendengaranku. Kemudian dua manusia berjalan perlahan menuju tempat yang masih dihuni olehku dan teman-teman yang lain.

"Hehe, ada, deh."

Itu suara Meila. Katanya ia cukup akrab dengan Nabila, dan sepertinya kabar itu memang benar adanya. Terlihat dari jawaban tak sungkan yang gadis itu lontarkan. Aku dan yang lainnya hanya tersenyum kikuk, berusaha meredam tawa yang masih tersisa.

"Apa itu?"

Lagi-lagi Nabila membuka ruang obrolan. Mengikuti telunjuknya yang mengarah ke pangkuanku, semua pasang mata juga turut menatapku.

"Ah, ini kue. Kebetulan hari ini ulang tahun Mei. Tadinya mau disimpan di ruang OSIS," jelasku menggaruk tengkuk yang sama sekali tidak gatal. Mungkin karena suasana canggung, tanpa sadar aku melakukan hal itu.

"Oh, yang tadi?"

Kulihat alis gadis yang masih setia dengan posisi berdirinya itu terangkat, diiringi dengan ekspresi gelinya.

"Haha, iya."

Dalam hati aku merutuk malu, untung saja teman-temanku tidak mengetahui masa kelam itu.

Setelah puas mengajak kami berbincang, akhirnya Nabila mengakhiri obrolan yang tadi dirinya mulai.

"Ya udah, yuk!" ajaknya pada Raksa yang sedari tadi bersandar dengan ekspresi tak acuhnya.

Mungkin ia enggan berbaur dengan obrolan tak menarik dari kami.

"Mau langsung ke kelas, Teh?"

Gadis itu kembali menatapku dan mengangguk perlahan.

"Ini, Teteh ambil duluan aja. Takut nanti malah gak kebagian hehe," lontarku mengulurkan barang bawaan milikku sembari berjalan mendekatinya.

"Oh, gak pa-pa nih?"

"Gak pa-pa, Mei malah seneng kalau ada yang makan. Soalnya ini buatan ibu Mei."

"Makasih ya," ujarnya sebelum melangkah lebih dulu. Meninggalkan Raksa yang kini mulai berjalan ke arahku. Sebenarnya ke arah pintu menuju lapangan lebih tepatnya.

"Kang Aksa juga."

Tanganku kembali terulur, membiarkan pria itu memilih bagian kue mana yang diinginkannya.

"Makasih," ucapnya sembari memperlihatkan sepotong kue padaku.

"Selamat hari baik," bisiknya sebelum meninggalkanku yang kini berdiri mematung.

"Bagus ya, pencitraannya langsung ke pejabat. Padahal temennya dari tadi udah ngantri juga."

Aku terkekeh, mendekati kembali gerombolan manusia yang sempat kujauhi kerena mendekati kakak kelasku tadi.

"Pedes banget Mbak sindirannya," delikku lantas memberikan potongan-potongan kue milik mereka.

Tentunya dengan perasaan senang yang membuncah. Entah karena doa-doa baik yang dilontarkan atau karena satu kalimat yang tidak biasa. Yang pasti, tanpa rencana bibirku tertarik sempurna. Menghasilkan kebahagiaan di hari baik ini.

______________________________________

MEIRAKSA [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang