Perlu banyak perjalanan untuk menghasilkan berbagai pengalaman.
Di ruangan yang terasa sesak ini, aku kembali terduduk. Memerhatikan orang-orang yang tengah melewati sesi interview.
“Memang gak ada yang mudah.”
Melihat raut-raut kebingungan dari para pelamar lain membuat ingatanku berputar seenaknya. Satu tahun yang lalu aku pun seperti itu. Tidak tahu mana jawaban yang masuk akal.
“Putih telur atau kuning telur?”
Pertanyaan tak terkira selalu keluar tanpa beban. Aku sendiri bingung, mengapa harus membandingkan dua hal berbeda seperti itu.
“Putih telur.”
“Kenapa?”
Tanpa sadar aku menahan napas, menunggu gadis itu memberikan jawaban.
“Karena bisa dibuat masker wajah.”
Raut wajahnya begitu serius, namun celotehan darinya benar-benar menggelikan.
Memang tak ada yang salah dengan ucapannya. Namun siapa juga yang akan menggunakan kalimat itu sebagai jawaban?
“Benar-benar tak terpikirkan,” gumamku mengalihkan perhatian ke arah lain.
Setelah ruangan kosong, kututup pintu rapat. Lantas memasuki ruangan samping yang sudah terisi oleh teman-teman seperjuanganku.
“Lama amat ruangan satu.”
Kusunggingkan senyum sembari mengangguk. Menyetujui pendapatnya itu.
“Iyalah, orang Kang Dim ada di sana!”
Tanpa perlu kurespon, ucapan dari mereka sudah mengusir kesunyian. Mengabaikan pekerjaan yang seharusnya diselesaikan setelah pembahasan berakhir.
“Eh Red, tahun depan adain festival musik seru tuh.”
Saran dari Bagas menarik perhatianku. Sejauh ini, kebanyakan acara yang kami adakan selalu berfokus pada pendidikan formal. Sepertinya hal menyenangkan akan lebih menarik perhatian warga.
“Mari kita bungkus dengan literasi dan seni lain,” tuturku menyerahkan tulisan acak yang baru saja melintas.
Bagiku merancang sebuah acara adalah hal yang menyenangkan. Meski pun kenyataannya tetap saja memusingkan. Apalagi masalah yang biasa muncul tanpa peringatan. Seperti kericuhan atau bahkan cuaca yang tak bisa kami kendalikan.
“Boleh sih ini, tapi masalahnya gue bakal di sekbid lima lagi apa enggak.”
Benar juga, setiap tahun struktur kepengurusan selalu dirombak besar-besaran. Menyesuaikan dengan bakat yang ada dalam diri setiap anggota.
“Simpen aja dulu.”
Tanganku terulur menyimpan sobekan kertas pada pangkuannya. Catatan tak seberapa itu sudah menemukan pemilik yang tepat.
“Ya udah yuk, ke ruang OSIS.”
Setelahnya hamparan lapang gersang menghiasi pemandangan. Cat yang sudah luntur itu perlu diperbaiki. Mungkin nanti, sebelum acara Pemilihan Ketua OSIS terjadi.
Di sepanjang koridor, tatapanku berlarian ke sana kemari. Memerhatikan anak-anak Pengembangan Diri yang tengah sibuk dengan kegiatannya.
“Ajuin buat bikin taman baca bagus tuh!”
Telunjukku berhasil membuat keduanya memicingkan mata.
Di samping kelasku terdapat lahan kosong yang cukup luas. Awalnya itu adalah taman bunga yang dikelola oleh para anggota pecinta alam, namun sejak bulan lalu mereka memindahkan semuanya ke taman belakang.
“Sayang juga kalau cuma buat lewat,” tuturku kembali mengayunkan kaki.
Sudah pukul lima sore, tetapi aktivitasku belum juga berakhir. Menyiapkan arsip untuk pemegang seksi bidang tiga selanjutnya.
Karena bagaimana pun aku sudah mencalonkan diri untuk naik. Meski belum tentu dapat, namun bersiap untuk segala kemungkinan bukan sesuatu yang salah.
“Zin, pinjem bentar ya.”
Manusia berambut kepang itu mengangguk pelan, lantas membiarkan diriku menguasai tempat duduknya.
Kuregangkan otot yang terasa kaku. Terlalu lama berdiam diri juga tak baik untuk tubuhku.
“Makasih, ya.”
Sebelum berlalu, suaraku terlontar lebih dulu. Membuat gadis itu menganggukkan kepalanya lagi.
Suasana sekolah sudah cukup sepi, para kakak tingkat pun sudah tak terlihat keberadaannya.
[Besok dilanjut lagi, hari ini pada istirahat aja.]
Pesan yang terkirim setengah jam lalu mengajakku untuk meninggalkan tempat. Berbaur bersama pengendara lain di jalanan ramai.
Sebelum sampai pada tujuan, motorku terparkir di toko peralatan sekolah. Tadi pagi Risa, adik perempuanku meminta tempat pensil baru lengkap dengan isinya.
“Kerjaannya morotin orang aja,” dengkusku begitu mengingat tingkah manisnya beberapa hari terakhir.
Dia memang selalu seperti itu, baik ketika ada maunya. Sungguh menjengkelkan.
Masih dengan mata yang sibuk memilih, suara dari ponselku kembali menganggu.
“Apa lagi?”
Aku bertanya setelah membaca nama sang penelepon.
Di seberang sana, kekehan pelan terdengar. Lantas suaranya yang malu-malu memintaku membelikan buku diary juga.
“Iya-iya,” putusku memilih untuk menyerah.
“Handphonenya kasih ke Ibu, jangan dimainin terus.”
Bukannya berterima kasih, gadis kecil itu malah menutup panggilan sesukanya. Membiarkan diriku meredam kekesalan sendirian.
“Untung adik sendiri,” gerutuku mulai mengambil barang-barang yang dirasa akan disukainya.
Melihat buku-buku yang berjejer, aku jadi teringat dengan buku rapat yang sudah usang.
“Ini bagus.”
Kuraih sebuah buku bersampul biru polos. Ukurannya yang tidak terlalu besar akan memudahkanku untuk membawanya ke mana saja.
Motorku melesat, melanjutkan perjalanan yang tersisa dengan segudang pikiran nyata.
Selama satu tahun ini, list dreamku masih belum terisi sepenuhnya. Entah aku yang lamban atau caraku yang tak mempan. Rasanya banyak sekali waktu yang terbuang tanpa menghasilkan apa-apa.
“Tak ada yang sampai pada tujuan dengan bersantai, sekali pun mimpinya adalah hal sederhana.”
Kalimat itu begitu terngiang di kepala. Kuharap di tahun berikutnya ada banyak jalan yang bisa kulalui.
Karena jika terus berdiam diri, semuanya akan tetap sama. Sekali pun dunia berputar dengan cepat.
“Assalamu'alaikum.”
Kakiku melenggang masuk, melewati ambang pintu yang langsung membawaku menuju ruang tamu.
Sebelum masuk lebih jauh, kuletakkan plastik yang kujinjing di atas meja. Memanggil Risa yang pastinya sedang bermalas-malasan di dalam kamar.
“Pesanannya udah sampai, Tuan Putri!” teriakku menghasilkan suara nyaring dari balik pintu.
Entah kecerobohan apalagi yang kali ini dibuatnya. Yang pasti aku sudah menyumbangkan tawa tanpa perlu menyaksikan tingkah konyolnya.
______________________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
MEIRAKSA [SELESAI]
Fiksi RemajaMenjadi bagian dari organisasi sekolah seolah sudah tertanam dalam diriku. Meski begitu, dua pilihan besarku tak ada yang sesuai dengan harapan. Sampai suatu ketika, sentuhan yang tak disengaja membawaku pada perasaan baru. Perasaan berbunga yang di...