34. Kejutan

36 7 0
                                    

Sedikit berbeda bukan berarti tak bisa.

Selesai sudah proses pertanggungjawaban. Di bulan November ini kami resmi mengakhiri masa jabatan.

“Gak yakin gue bakal sesekbid lagi sama lo.”

Kepalaku memutar ke kanan, menjumpai Fajar yang terduduk nyaman di seberang.

“Iyalah, soalnya gue punya feeling buat masuk MPK.”

Kulihat matanya memutar malas. Ekspresinya itu berhasil membuatku mengeram kesal. Mimpi buruk aku memiliki partner seperti dia. Padahal dulu pria itu adalah orang yang baik dan ramah. Namun semakin lama bibit kelaknatannya semakin terlihat. Mungkin topeng di wajahnya mulai terkelupas karena terlalu mengenal satu sama lain. Semua orang seperti itu, termasuk aku.

“Fokus,” gumamku kembali larut dalam hiruk-pikuk kehidupan.

Jejeran manusia mulai memenuhi satu ruangan luas. Menyambut pagi hari dengan berbagai kesibukan.

Saat ini adalah pengumuman kedua yang kujalani. Setiap tahun pemegang sekbid dan komisi akan diatur ulang. Hal ini bertujuan untuk memperbaiki struktur yang mungkin saja tak sesuai dengan passionnya.

Meski begitu, para pengurus sebelumnya tak perlu repot mengisi angket lagi. Karena mereka memiliki penilaian tersendiri untuk kinerja kami. Tidak menutup kemungkinan dari OSIS pindah ke MPK, dan dari MPK beralih ke OSIS. Kecuali kalau sudah dipercaya untuk membimbing adik kelas di seksi bidang yang sama itu beda cerita.

Flashback banget nih momen.”

Aku menggerutu pelan. Memasuki ruangan yang satu tahun lalu kuhuni dengan penuh tanda tanya. Lagi-lagi takdirku berada di sini.

“Yang ngebet pengen jadi MPK-nya Mei. Eh yang beneran pindah malah Eca sama Viana.”

Celotehan tak penting dari mereka berhasil mengusikku. Membuat bibirku kembali mengerucut.

“Jodohnya ada di ruang OSIS kali. Makanya balik terus!”

Tawa Anya membuka jalan untuk memasuki gendang telingaku, disusul oleh Aprina, Lusiana, dan antek-anteknya. Mereka benar-benar mengabaikan tatapan heran dari para pengurus baru.

“Git, bawa lakban gak sih?”

Kusenggol gadis yang tengah sibuk membenarkan ikatan rambutnya. Di detik berikutnya dia malah melotot galak.

“Kamu pikir aku gudang barang-barang apa?”

“Ya kali aja. Kan kamu anak kesekretariatan.”

Bahuku terangkat acuh dengan senyuman yang mulai melekat. Untung saja kelas 12 lebih dulu masuk sebelum gadis itu memukul lenganku. Tawa dari Anya yang kini duduk di sampingku pun ikut surut. Suasana serius mendorong kami ke gerbang kebisuan. Dua makhluk di depan sana mengunci rapat agar pikiran kami hanya tertuju pada perbincangan mereka.

“Selamat buat kalian semua. Selama satu periode ke depan kalian akan selalu melihat wajah-wajah yang ada di samping kanan dan kiri kalian itu. Semoga gak pernah bosen ya.”

Basa-basi dari Nabila dan Raksa mulai terdengar. Keharmonisan organisasi mulai ditampakkan, sebelum akhirnya memasuki pembahasan yang lebih serius. Mulai dari aturan hingga seluk-beluk OSIS MPK yang tahun lalu kudengar.

Meski begitu, cara mereka menjelaskan tetap membuatku tertarik untuk mendengarkan. Padahal ini adalah kisah yang kami ukir sendiri dengan penuh perasaan. Senang, sedih, marah, kecewa juga bangga.

Suara tawa Aprina yang selalu paling kencang, atau tangisan Amanda yang begitu menyayat hati. Bagiku mereka lebih dari sekedar teman organisasi.

Hari-hari yang tak selamanya berjalan baik kuhabiskan dengan mereka. Bahkan tulisan-tulisan tak penting pun tercipta karena mereka. Aku yakin, perjalananku tak akan semenyenangkan ini jika tanpa mereka.

Jikalau tahun lalu aku akan ikut dalam rombongan yang keluar dari ruangan karena sudah tak memiliki kepentingan, kali ini langkahku tertahan. Tetap terduduk nyaman dengan orang-orang yang biasanya berada di sekitarku.

“Kayaknya kali ini bakal jadi pengalaman baru buat mereka semua ya, Sa.”

Begitu melihat Raksa tertawa, bibirku ikut terangkat. Rasanya bahagia itu mudah didapat jika menyangkut dirinya. Aku sendiri tidak tahu mengapa sebahagia ini hanya dengan tawa pelannya.

“Gak sedikit loh yang bakal pindah. Semoga keputusan kami sesuai dengan minat dan bakat kalian ya.”

“Jadi curiga aku bakal di sekbid keagamaan, deh.”

Tawa kami serempak terdengar. Seruan dari Meila benar-benar mengundang gelak tawa.

“Gak cocok kalau kamu yang di sana. Nanti keputrian malah ngebahas futsal, kan berabe!”

Region si paling senang menjaili teman sekbidnya itu berucap lantang. Suaranya dengan merdu menembus indra pendengaranku.

“Mei, selama jadi humas ikatan batin kamu sama Anya makin kuat deh kayaknya.”

Aku melongo bingung. Dengan cepat mengalihkan tatapan menuju Nabila. Karena di detik sebelumnya aku diam-diam memperhatikan pria di sampingnya.

“Ketauan gak ya?” batinku sembari menegakkan punggung. Berpura-pura tidak terjadi apa pun.

Padahal saat ini jantungku tengah berisik. Saking berisiknya, suara Aprina yang terkenal cempreng itu terdengar samar di telingaku.

“Mei kan suka nulis ya, jadi kayaknya bakal cocok kalau ada di sekbid literasi. Biar Brilian juga ada temennya, Anya kan udah nyalonin buat naik.”

Penjelasan darinya mampu membuatku memasang ekspresi bingung.

“Tapi kamu waktu di sekbid tiga juga bagus banget kok, Mei. Cuma kan gak mungkin semua kelas sebelasnya kumpul di sana.”

Sepertinya aku selalu diberi kejutan setiap tahunnya. Bahkan kegabutanku membuat cerita pun tak luput dari perhatiannya. Hatiku jadi menghangat mengingat pujiannya untuk kinerjaku.

“Suka gak?” tanya Nabila saat mata kami berpapasan.

Aku tersenyum. “Suka, Teh.”

Tentu saja. Menulis memang bukan keahlianku, tetapi aku senang melakukannya. Bahkan ketika masih menjabat di posisi sebelumnya pun aku terkadang membantu teman lain untuk menyusun broadcast acara agar lebih menarik perhatian.

“Bohong itu, Teh. Tadi pagi Mei malah bilang mau ke MPK. Pengkhianat banget emang dia tuh!”

Lama-lama perbincangan mulai tak tahu arah. Kebanyakan dari mereka membicarakan hal-hal tak berguna. Mungkin selama ini rindu sebesar itu yang kami simpan sebelum akhirnya mendapatkan momen yang tepat untuk saling berbagi.

“Pasti bisa, kok.”

Saat kakiku hendak melangkah keluar. Suara yang paling ingin kudengar melintas pelan. Aku berbalik dengan senyum yang coba kusembunyikan.

“Ya?”

Kubuat suara penuh kebingungan atas ucapannya.

Dia tak menjawab. Pria itu hanya menggeleng dengan tarikan bibir yang lagi-lagi nampak jelas di mataku.

“Bakal kangen deh ngerepotin kamu dengan tugas ini itu,” tuturnya masih menatap lekat wajahku.

“Mei juga bakal kangen lho dichat malem-malem buat laporan.”

“Maksudnya kangen marah-marah sambil ngetiknya,” lanjutku semakin berani membalas ucapannya.

Rasanya aura pria itu tak lagi membuatku ciut. Tatapan matanya tak lagi membuatku takut.

______________________________________

MEIRAKSA [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang