Kehancuran berawal dari kebiasaan kecil, termasuk menelantarkan sampah.
Masih dengan ekspresi sama, aku memandang Raksa penuh puja. Melihat wajah seriusnya yang sama sekali tak terusik oleh suara-suara berisik dari luar ruangan.
“Tinggal perbaiki baris terakhir aja,” ucap pria itu menggeser komputer di hadapannya.
Aku mengangguk, berniat kembali menggunakan komputer yang masih menampilkan ruang percakapan antara aku dan pria di sampingku.
“Pake yang ini aja.”
Belum sempat aku mengklik link yang kubagikan padanya, Raksa sudah lebih dulu menarik kursiku.
“Perbaiki kesimpulannya biar lebih rinci.”
Pria itu berucap pelan, karena seseorang di sebrang sana menatap kami tajam. Pastinya ia terganggu dengan suara kursi yang terdengar cukup nyaring. Lagipula kenapa manusia satu ini melakukan sesuatu yang tidak seperti dirinya, sih?
“Katanya mau cepet keluar. Ya udah, dilanjut.”
Wajahnya yang sedari tadi sengaja diletakkan dekat denganku kini bergerak menjauh. Lengkap dengan tubuhnya yang bersandar pada kursi. Meski begitu, kedua lututnya masih menyentuh bagian dari kursi yang kududuki.
“Ayo, fokus, Meira!” batinku berusaha memikirkan kata penghubung yang pas digunakan.
Tanganku bergerak lincah, menyusun beberapa kata hingga menjadi sebuah kalimat. Mengabaikan tatapan Raksa yang entah mengapa terasa semakin lekat.
“Udah?” tanya Raksa ketika aku baru saja menghadapkan diri sepenuhnya.
“Udah,” jawabku mengembalikan posisi komputer yang tadi diubahnya.
Sembari menunggunya memeriksa broadcast Rabu Basik, tanganku terulur mengambil minuman yang sudah tak dingin lagi. Bibirku mengerucut, lantas meletakkan kembali botol itu.
“Kenapa ada dua?”
Aku menoleh dengan ekspresi bingung, meminta Raksa menjelaskan maksud dari pertanyaannya.
“Itu minumannya,” gumamnya setelah cukup lama memandang wajahku tanpa berucap apa pun.
“Oh, ini buat Meila satu.”
Dia mengangguk dan kembali fokus pada bacaannya.
“Kang Aksa mau?”
Entah mengapa pertanyaan itu terlintas di pikiranku, hingga tak sadar terucap begitu saja.
Kali ini giliran dia yang menautkan alis, menunggu diriku untuk kembali berucap.
“Yang ini punya Mei, kok. Kalo Kang Aksa mau, diminum aja. Kebetulan Mei udah gak haus.”
Ia tersenyum kecil, lantas melewati tubuhku untuk meriah minuman yang kuletakkan di samping kiriku.
Posisi kami benar-benar membingungkan, dia bergerak tanpa bangkit dari duduknya.
“Makasih ya,” tuturnya menegakkan punggung setelah merunduk ke arahku.
“Iya,” ucapku kikuk dengan pandangan mengedar mengelilingi ruangan.
“Makasih juga buat broadcastnya.”
Aku meliriknya sekilas lantas tersenyum sebagai balasan.
“Kalau gitu Mei ke bawah lagi ya, Kang,” pamitku meninggalkannya yang juga turut menyunggingkan senyum.
Tak lupa aku pun meraih sebotol minuman sebelum pergi berlalu.
“Bentar lagi juga udahan ini mah!”
Aku mendengkus begitu menatap layar ponsel yang mulai kugunakan.
“Mei?”
Langkahku terhenti dengan seluruh tubuh yang memutar, mengarahkan perhatian pada sumber suara.
“Dari mana aja?”
Meila berjalan dengan langkah lebar, karena tentu saja tingginya lebih menjulang daripada aku.
“Haha, maaf-maaf. Nih!”
Tanganku otomatis terulur, menyerahkan sebotol minuman yang tadi sengaja kubawa dari atas meja.
“Sekolah mana aja ini?”
Sembari melanjutkan obrolan, kaki kami terayun beriringan menuruni anak tangga. Pasalnya saat ini kami masih berdiri di lantai dua.
“SMANTI sama MAN.”
Aku mengangguk paham kemudian ikut terduduk di salah satu gazebo yang untungnya sedang kosong. Sepertinya ditinggalkan oleh penghuni sebelumnya, hal ini bisa terlihat dari tumpukan sampah yang masih mendiami meja.
“Dasar,” gerutuku melemparkan tiga botol minuman tepat ke dalam tong sampah besar.
“Mata mereka buta kali,” cerocos gadis di sampingku yang juga tengah mengumpulkan plastik-plastik yang berserakan.
“Kalau gak bisa beresin punya orang, setidaknya beresin punya sendirilah!”
Setuju, aku sangat setuju dengan pemikiran itu. Memang apa susahnya meletakkan sesuatu pada tempat yang seharusnya?
“Ngomong-ngomong, bukannya Lian juga tugas hari ini ya?”
Sejak tadi aku penasaran dengan keberadaan gadis itu. Gadis yang beberapa hari lalu meminjamiku buku novel.
“Mungkin karena dia anak literasi kali ya?” tebakku kembali mengingat betapa banyaknya koleksi bacaan miliknya.
“Ah, enggak, deh. Anya gak gitu soalnya.”
“Siapa? Brilian?”
Lagi-lagi aku mengangguk, malas mengulang kembali ucapan yang sudah terlontar. Apalagi saat ini suara komentator sedang semangat-semangatnya.
“Tadi sih ada, gak tau sekarang ke mana,” ucap Meila tepat di samping daun telingaku.
Bibirku membulat menanggapi penjelasannya, menyisakan keheningan di tengah-tengah suasana ramai.
“Eh, lucu!”
Tiba-tiba netraku yang hanya dikelilingi oleh kebosanan mendapatkan sesuatu yang menarik.
“Keren bukan lucu,” ralatnya sembari menarik kembali pergelangan tangannya yang baru saja kugenggam.
Aku kembali menyahut tak acuh. “Sama aja.”
“Eh tapi serius deh, itu lucu tau.”
Lagi-lagi aku menunjuk gelang hitam dengan beberapa angka sebagai hiasan.
“Maknanya apa?” tanyaku tak henti-hentinya merecoki dirinya.
“Gak ada, random aja beli ini.”
“Yah, kirain. Cape-cape nanya!”
Entah mengapa mendengar jawaban datarnya membuat bibirku mengerucut. Mungkin sesuatu yang kuanggap menarik tidak ada apa-apanya untuk gadis itu.
Kembali ke tujuan awal, pandanganku mulai mengedar. Mengabaikan Meila yang juga sibuk dengan pikirannya.
“Dih, kok ganteng.”
Dalam hati aku merutuk, memandangi beberapa pemain yang dengan santainya mengangkat baju depan untuk dijadikan lap keringat.
“Kan jadi mau,” gumamku menutupi wajah yang mungkin saja memerah karena malu.
“Tolong pikirannya ya!”
Suara itu mengalun serempak dengan pukulan yang juga mendarat di atas kepalaku.
“Haha, menyelam sambil minum air kan?” jawabku sekenanya.
Menyisakan gelengan kepala dari lawan bicaraku itu.
“Kenapa? Mubazir tau gak dinikmati, udah disuguhi juga.”
Gigiku terlihat dengan senyuman yang terangkat tinggi. Memberikan serangan pada tatapan Meila yang semakin jengkel dengan tingkahku ini. Padahal kan aku hanya menikmati apa yang ada, di mana letak salahnya coba?
______________________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
MEIRAKSA [SELESAI]
Fiksi RemajaMenjadi bagian dari organisasi sekolah seolah sudah tertanam dalam diriku. Meski begitu, dua pilihan besarku tak ada yang sesuai dengan harapan. Sampai suatu ketika, sentuhan yang tak disengaja membawaku pada perasaan baru. Perasaan berbunga yang di...