Jangan jatuh, tapi mendaratlah. Agar kelak kamu masih bisa terbang.
Sudah pukul tiga sore, tetapi aku belum mendapatkan berita apa pun. Status dari beberapa dewan guru terus kupantau sejak tadi.
“Ngapain?”
Fajar berjalan mendekat dengan map biru ditangannya.
“Gak,” sahutku menghempaskan ponsel itu ke atas meja.
Kulihat dia mengangkat bahunya tak acuh, lantas melewati tempatku begitu saja.
“Gila ada yang tembus UI!”
Jeritan dari Aprina membuatku menoleh cepat. Sepertinya semua orang merespon dengan tatapan antusias. Pasalnya ini adalah kali pertama siswa dari sekolah kami berhasil masuk ke sana.
Tak lama setelahnya pamflet berisi ucapan selamat diunggah oleh akun sekolah. Deretan nama siswa-siswi kelas 12 tercantum di dalamnya. Tidak semua, hanya beberapa orang yang mendapatkan warna biru saja.
“Yang tadi pesen makan siapa woi? Cepetan ambil!”
Belum selesai aku membaca tulisan itu, suara dari ambang pintu menghentikan aktivitasku.
Langkahku terayun meninggalkan ruangan. Pesanan yang sempat kulupakan kini memenuhi ingatan.
“Padahal sekarang udah gak selera makan,” keluhku meraba saku untuk menemukan uang.
“Makasih, Om. Maaf lama.”
Begitu sampai, pemilik warung depan menyambut kedatanganku lengkap dengan sekantong plastik. Ia tersenyum lantas pergi menjumpai pelanggan lain.
Kedua kakiku berjalan lagi. Melewati gerbang, parkiran mobil dan sampailah di pintu ruang OSIS.
“Apa itu?”
Wajah Lusiana menjadi pemandangan pertama begitu aku masuk. Suaranya mengajakku untuk bergabung.
“Eh Mei? Udah di sini?”
Aku menoleh dengan raut bingung. Namun gerakan tanganku tetap berlanjut, memasukkan ponsel dan headset ke dalam saku rok abu-abu.
“Barusan dicariin Kang Aksa, tapi aku bilang gak ada.”
Sekarang bukan hanya aku yang memandang Salsa penuh tanya, tapi semua orang yang ada.
“Apa katanya?”
Pertanyaan itu terlintas di benakku, namun Lusiana bertindak lebih dulu.
“Gak bilang apa-apa, cuma nyariin aja.”
Mendengar penjelasan dari gadis yang baru saja tiba itu, Lusiana tersenyum penuh arti. Alisnya naik-turun dengan ekspresi genit.
“Samperin sana,” bisiknya menyenggol lenganku sengaja.
Aku mendelik, meninggalkan dia tanpa berucap apa pun. Bisa-bisa satu organisasi tahu karena ulahnya itu.
Di sepanjang jalan hatiku terus berdebar. Satu pertanyaan masih membelit akal sehatku.
“Akang!”
Suaraku mengalun, menatapnya yang kini menoleh ke arahku.
Sebuah senyuman terbit di bibirnya. Namun aku cukup jeli untuk menyadari tatapannya yang sendu.
“Ada apa?” tanyaku setelah tergesa-gesa mendekatinya.
Pria itu tak menjawab, hanya gelengan kepala yang kini memenuhi netraku.
“Kang Aksa,” panggilku lagi. Masih berusaha menariknya untuk berbicara.
Lama pandangan kami bertemu. Sayup-sayup suara dari ruangan dengan pintu tertutup memasuki pendengaranku.
“Jangan ngomong dulu, sekarang Akang cuma butuh kamu.”
Aku melongo, memerhatikan dia yang kini berbalik ke posisinya tadi. Keningnya menempel di pembatas besi.
“Sepertinya dia mendapat kabar buruk hari ini.”
Masih dengan kebisuan aku menemani dirinya. Semakin lama aku semakin tak mengerti dengan apa yang dia lakukan.
“Mengapa dia membutuhkanku?”
“Apa hubungan kami berkembang tanpa aku sadari?”
Lagi-lagi aku dilanda kebingungan. Sejauh yang kutahu, kami tidak memiliki alasan untuk saling bertemu. Kecuali pria ini memiliki perasaan padaku. Apa itu mungkin?
“Soal itu dipikirin nanti aja, deh.”
Menyingkirkan kesuraman dalam dirinya jauh lebih penting daripada rasaku yang entah berbalas atau tidak.
Kulangkahkan kaki menuju pembatas, berdiri tepat di samping kanannya. Dari sini aku kembali dihadiahi pemandangan berupa lapangan.
“Deja vu banget,” gumamku mengingat banyaknya tempat yang pernah kami huni bersama.
“Oh iya!”
Hampir saja aku menjerit setelah menemukan sebuah ide brilian.
Tanganku bergerak mengeluarkan benda yang sejak tadi kubawa.
“Kalau Mei sedih, Mei suka dengerin lagu ini. Tapi kalau Mei seneng, Mei juga dengerinnya lagu ini.”
Aku tak tahu ini akan berhasil atau tidak. Namun aku selalu percaya, sesuatu yang dibuat dengan hati akan sampai ke hati juga.
Raksa mendongak begitu aku selesai memasangkan benda di daun telinganya. Dia memandangiku lama. Sangat lama. Sampai tak terasa lagu itu berputar untuk yang kedua kalinya.
“Kayaknya kamu suka banget sama lagu ini ya?”
Senyum kecil kembali hadir di bibirnya. Kali ini aku bisa menghembuskan napas lega. Pasalnya lengkungan itu jauh dari keterpaksaan.
Setelahnya pandangan kami mengedar jauh. Mengamati aktivitas di lapangan utama.
“Jangan jatuh ya,” tuturku mengulurkan tangan ke hadapannya.
Raksa kembali berbalik dengan sorot bingung.
Namun aku tak ingin menunggu lebih lama. Buru-buru kuraih tangannya yang menimpa pembatas, lantas menyatukannya dengan milikku.
“Mendarat aja, biar nanti Kang Aksa masih bisa terbang.”
Kulanjutkan kalimat itu dengan genggaman yang terangkat. Meyakinkan dia bahwa kegagalan juga bagian dari perjalanan.
Tawa dia pecah diiringi lirik favoritku yang berlarian menuju gendang telinga.
Aku menjadi panik dibuatnya.
“Apanya yang lucu?” tanyaku setelah melepaskan tautan.
“Kamu.”
Kali ini dia bertindak lebih dulu. Jemari tangannya memenuhi sela-sela jariku.
Ia terdiam dengan bibir mengulum senyum. Mungkin ingin memberiku waktu untuk mencerna situasi ini.
Aku memang orang pertama yang menyentuh tangannya di sini. Tetapi aku memiliki alasan, menghiburnya. Lantas dia?
Tanpa berpikir lagi, ujung bibirku terangkat dengan sendirinya. Menerima kehangatan dari belitan yang semakin erat itu.
“Setelah ini, biarkan aku berimajinasi sesukaku.”
Dalam diam kuucapkan kalimat itu. Menunggu malam tiba agar aku bisa menuangkan momen ini pada buku kesayanganku. Karena sejatinya, tulisan itu abadi.
______________________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
MEIRAKSA [SELESAI]
Fiksi RemajaMenjadi bagian dari organisasi sekolah seolah sudah tertanam dalam diriku. Meski begitu, dua pilihan besarku tak ada yang sesuai dengan harapan. Sampai suatu ketika, sentuhan yang tak disengaja membawaku pada perasaan baru. Perasaan berbunga yang di...