04. Kandidat Tiga

114 16 3
                                    

Sesibuk apa pun tetap tersenyum.

Lama terasa penghitungan suara, debaran yang tak pernah kuduga terus menggila. Menemani akhir acara yang kian menegangkan.

“Satu!”

“Satu!”

“Tiga!”

Robekan pada kertas yang sedari tadi terus dikeluarkan terdengar menyenangkan. Suaranya begitu menenangkan, tapi menghasilkan kericuhan dalan benak masing-masing. Sama dengan insan lain, aku pun turut membisu dengan degupan yang kian menggebu.

“Tinggal angkatan terakhir!”

Seruan dari pria ber-id card panitia di depan sana menarik atensiku yang sedari tadi melayang-layang.

Tangan dengan kemeja putih yang disingkap setengah itu berhasil mengangkat kotak besar berisi kertas-kertas pemungutan suara kelas 12. Angkatan terakhir yang akan diumumkan hasilnya.

Suara keras terus terdengar menambah poin untuk nomor urut satu, dua, dan tiga.

Aku masih terdiam, duduk di barisan belakang guna memperhatikan kelangsungan acara. Menunggu hasil yang kuharap sesuai dengan keinginan. Tidak, sesuai kebutuhan kami untuk organisasi nanti.

“Untuk para kandidat dipersilahkan meninggalkan teater menuju ruang tunggu.”

Sebelum penghitungan berakhir, ketiga pasangan itu diarahkan untuk bangkit dan pergi dari sini. Aku sendiri tidak tahu di mana tempat yang akan menjadi tujuan akhir mereka. Aku juga tidak peduli, toh panitia inti lebih tahu tentang hal itu.

Penghitungan terus berlanjut, garis-garis kemenangan semakin terlihat memenuhi papan putih bertinta hitam itu. Suara spidol yang terus terdengar menambah sensasi menegangkan. Hatiku kembali berdebar kencang setelah menyadari jumlah suara semakin menipis.

“Kandidat nomor tiga!”

Kertas terakhir yang berhasil dikeluarkan mengakhiri kegiatan. Entah mengapa perasaanku kini menjadi begitu lega. Seolah baru saja terbebas dari himpitan batu besar dari kedua sisi.

Mataku memicing, berusaha menerka garis mana yang lebih banyak. Meski sejak awal aku sudah menyadari kandidat nomor tiga unggul di angkatan terakhir.

Setelah memastikan dengan teliti siapa yang berhasil menjadi ketua dan wakil ketua OSIS periode baru, papan yang sedari tadi berdiri angkuh itu ditutupi tirai hitam yang sudah disediakan.

Mereka—panitia kelas 12 begitu ricuh, salah satunya bahkan berlari meninggalkan teater untuk menjemput kembali ketiga pasangan yang tadi pergi meninggalkan.

Sesi pelukan dan ucapan selamat tak bisa dihindari. Aku pun kini turut berdiri mengantre untuk melakukan hal tersebut.

“Sekali lagi selamat kepada kandidat nomor tiga yang sudah terpilih menjadi ketua dan wakil ketua OSIS baru, dengan jumlah suara 424 suara!”

Di saat suasana sudah tak seramai dan semenegangkan sebelumnya, aku bangkit berdiri. Mulai menggiring beberapa kursi plastik yang sejak pagi menjadi tempat persinggahan para dewan guru.

Langkahku terayun menuju ruang penyimpanan di samping tangga yang sengaja dibentuk meliuk-liuk.

Rintik hujan membasahi sejak tadi, lapang yang terbuat dari campuran semen itu dipenuhi genangan air dibeberapa sisi. Seolah semesta juga ingin mengucapkan selamat pada kedua manusia yang masih sibuk berbincang dengan para perwakilan kelas yang tadi turut mengikuti kegiatan dari dekat.

“Gak salah sih ya orang relasi Kang Aksa di sini banyak.”

Bisikkan dari Agita keluar setelah kami berhasil melewati tangga. Kedua tangan yang sibuk tak mengganggunya sama sekali untuk berucap.

“Emang iya?” balasku malah memancingnya untuk semakin bersuara.

Rasanya begitu menyenangkan mendengarkan ocehan tak pentingnya. Seperti ada hiburan di tengah suntuknya kegiatan. Bagai hujan yang kini terjadi, menyembuhkan tanah yang mulai mengering karena kelelahan.

“Ah mengapa hari ini aku begitu puitis?”

Buru-buru pikiran kacau ini kubuang seluruhnya, lantas pergi menjauh dari manusia yang tak henti-hentinya mengoceh karena ucapanku tadi.

“Menyesal pun sudah tak ada gunanya.”

Sembari menggerutu, kulangkahkan kaki untuk berjalan lebih cepat. Meninggalkan dia yang masih sibuk dengan dunianya.

Masih dengan langkah tergesa, aku berbelok di ujung koridor menuju ruang OSIS. Suara-suara yang tadinya kecil perlahan mengeras mengiringi langkahku yang semakin dekat.

“Mei, sini!”

Lambaian ketiga gadis itu menarik perhatianku.

“Ikutan foto-foto dulu, kan?” tanya salah satu gadis sembari mengulurkan ponsel menyalanya.

Aku terdiam, fokus membaca percakapan yang beberapa menit lalu terjadi.

“Boleh, deh.”

Ternyata di grup tiga angkatan OSIS MPK itu sudah tertera informasi mengenai foto bersama.

“Seperti biasa ketinggalan informasi,” dengkusku menatap ponsel milikku yang tak lagi menyala.

Semalam aku lupa memberinya makan karena ketiduran.

“Lagian kenapa gak ngisi sendiri coba?”

Sudahlah, sepertinya pikiranku semakin kacau. Benang kusut pun akan kalah jikalau dihadapkan dengan kekacauan di kepalaku ini.

Sebelum kembali ke teater—tempat yang akan menjadi spot foto, langkahku terayun menuju kamar mandi di samping masjid sekolah.

Kini tak hanya derap langkahku yang terdengar, karena di depan sana juga ada seorang pria yang kutahu ketua OSIS tahun lalu yang sebentar lagi akan menyerahkan program organisasi dan tanggung jawabnya kepada lelaki bernama Raksa.

Di koridor sempit samping masjid langkah kami bertemu. Entah drama apa yang kami lakukan saat ini. Aku geram sekaligus malu sendiri. Pasalnya ketika aku melangkah ke kanan ia malah melangkah ke kiri, begitu pun sebaliknya.

“Apa, sih?” batinku tak habis pikir.

“Misi, Kang.”

Suaraku terdengar setelah beberapa saat kami melakukan adegan klise itu.

“Kebanyakan baca novel jadi mikir aneh-aneh, deh.”

Dengan langkah cepat aku berlalu setelah dirinya mempersilahkan pergi. Tentunya kecanggungan sempat menyelimuti diriku tadi, tidak tahu dengan manusia satu itu.

Kulihat di tangga setengah melingkar tepat di depan teater terbuka itu sudah dipenuhi orang-orang yang siap berpose.

“Ayo,” ajak seorang pria yang baru saja melangkah mendahuluiku.

Aku ikut berlari, menghampiri mereka lantas duduk di tempat yang dirasa masih bisa menampung diriku.

Beberapa jepretan tak cukup untuk memuaskan para panitia acara, termasuk aku yang semakin semangat mengeluarkan pose andalan.

“Cis kacang buncis!”

Seruan unik itu berhasil menarik senyumku untuk memperlihatkan deretan gigi. Dalam hati aku terus tersenyum, entah aku yang ketinggalan pengetahuan tentang seruan tadi atau memang orang-orang di sini begitu unik dan tidak mudah untuk ditebak.

“Cang kacang panjang!”

Kini bukan perihal senyuman saja, tetapi bibir terbuka dengan diliputi wajah ceria. Rasanya begitu menyenangkan bisa bersama dengan mereka, orang-orang hebat yang bisa menjadi panutan untukku kedepannya. Entah itu soal organisasi atau bahkan kehidupan pribadi.

______________________________________

MEIRAKSA [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang