29. Minta Air Minum

39 7 0
                                    

Rintik hujan mengiringi pertemuan yang tak direncanakan. Hanya untuk sekadar beradu pandang dengan rasa yang terus menjalar. Menghasilkan debaran yang kian tak bisa dikendalikan.

Suara air hujan yang turun terdengar samar, menemani penjelasan dari ibu paruh baya di depan sana. Sesekali kulirik ponsel sembari menunggu pembelajaran berakhir. Pasalnya jam dinding di atas sana berhenti pada angka tujuh, ia mati tanpa ada yang peduli.

“Jangan pada hujan-hujanan, besok masih sekolah!” pesannya sebelum melangkah keluar. Menghasilkan kegaduhan yang sedari tadi tertahan.

Kuteguk ludah berkali-kali sambil berpikir lebih baik ke kantin atau ruang OSIS.

“Haus,” gumamku kembali menggoyangkan tumbler yang sudah kosong.

“Ke Ro aja, deh.”

Aku membuat keputusan dengan alasan yang masuk akal. Tentu saja jika pergi ke ruang OSIS jaraknya akan lebih dekat, terhindar dari air hujan, dan lagi hemat uang jajan.

Kakiku otomatis berjinjit begitu menjumpai genangan air pada anak tangga.

“Bocor!” seruku heboh sendiri ketika menengadah ke atas. Menatap dengan seksama langit-langit berwarna putih yang ternyata menjadi jalan untuk air hujan.

“Yah!”

Aku mendesah di kala hujan turun semakin deras. Terlebih pintu ruang OSIS yang ternyata tertutup rapat. Padahal biasanya di jam segini ruang OSIS tidak terkunci, tapi apa-apaan ini?

Sudah begitu Aprina juga tidak memilikinya. Katanya kemarin sore ia berikan kepada Yusuf, dan sayangnya dia tidak masuk hari ini.

Mengingat nama-nama itu bibirku mulai menggerutu.

“Padahal di kelasku ada dua sekretaris andalan, tapi kenapa malah aku yang ketempuhan?” protesku mengingat acara pemilihan pejabat kelas beberapa bulan lalu.

Padahal aku begitu menghindari jabatan itu, pasalnya tulisanku terlalu buruk untuk diabadikan dalam agenda kelas.

“Gara-gara siapa sih aku jadi gini? Tau gitu mah nyalon ketua kelas aja, sumpah!”

Lama aku terdiam mematung, sampai-sampai bel masuk berbunyi begitu aku menggebrak papan slogan yang memenuhi sebagian pintu.

“Ini kelakuan siapa, sih?”

Rautku berubah kesal begitu memungut kunci yang baru saja terjatuh. Ternyata selama jam istirahat pertama aku hanya menunggu dengan sia-sia.

“Lagian sejak kapan naro kunci di situ,” gerutuku bagai angin lalu. Karena setelahnya tanganku bergerak lincah membuka pintu.

Dalam keheningan, suara khas dari dispenser terdengar. Untung saja saat ini masih siang hari dan aku adalah pelakunya. Coba kalau di malam hari dan entah siapa penyebabnya, pasti jantungku akan berdebar kencang. Mengingat hujan di luar ruangan yang semakin menjadi-jadi.

“Mei?”

Mataku melotot kaget, apalagi kesibukan yang tengah kulakukan.

“Hehe, lagi minta air minum Kang.”

Tawa pelanku terlontar canggung, dengan terburu-buru kuakhiri pengambilan air mineral itu.

“Aduh!” pekikku terkejut begitu setetes air mengenai jari-jemariku.

“Kenapa?”

Raksa bertanya ribut, bahkan ia sampai melenggang masuk tanpa sempat membuka sepatunya.

“Kena air dingin,” balasku membuat matanya terpejam sesaat. Sepertinya ia menjadi kesal setelah melihat kelakuanku.

Sembari menunggunya membuka tali sepatu, bibirku terasa gatal. Ingin sekali membuka topik pembicaraan dengannya. Padahal jika aku yang dulu, pasti tak segan mencairkan suasana. Meski sedikit kaku karena dia adalah kakak kelas yang cukup kusegani.

“Kang Aksa ada perlu apa ke sini?”

Kulihat ia berjalan mendekat, sekarang hanya beralaskan kaus kaki hitam yang terlihat pas di kaki besarnya.

“Ngambil buku paket, kamu sendiri kenapa gak ke kelas?”

Aku merunduk malu, mendengar pria itu melontarkan kata kamu membuat hatiku menghangat.

“Lagi jam olahraga. Biasanya kalau hujan gini gurunya suka gak ada,” timpalku semakin mengeratkan genggaman pada tumbler biru milikku.

Senyumnya terukir tepat ketika aku menatapnya lekat.

“Oh ya? Tapi tadi Akang liat pak Adit masuk ke kelas kamu lho!”

“Serius?”

Sejurus kemudian langkahku tertuju pada pintu yang masih terbuka. Karena angin yang menerpa kencang membuat tetesan hujan mendarat sesukanya di teras ruang OSIS.

“Aduh!” keluhku lagi karena hampir saja bokong ini menimpa lantai yang sepertinya akan terasa menyakitkan. Beruntung tanganku refleks meraih tembok kokoh sebagai tumpuan.

“Aku gak pa-pa. Duluan, Kang!” pamitku setelah melihat dirinya yang malah mengikutiku keluar dari ruangan.

“Memalukan!”

Di sepanjang jalan tak henti-hentinya aku merutuk. Padahal saat ini dia adalah lelaki yang kukagumi. Mengapa diri ini ceroboh sekali?

Sudah begitu dua kali berturut-turut lagi.

“Bener-bener, deh!”

Ayunan kakiku semakin cepat begitu menyaksikan pintu kelas yang tertutup rapat. Sepertinya benar, guru olahraga ada di dalam.

“Assalamualaikum,” ucapku setelah berhasil membuka pintu.

Dan benar saja, di kursi samping papan tulis pria itu menatapku dengan raut penuh tanda tanya.

“Maaf, Pak. Abis dari ruang OSIS,” jelasku sembari mencium punggung tangannya.

“Ya udah, duduk.”

Ada untungnya berada di organisasi itu, pasalnya ketika di situasi genting seperti ini aku bisa memanfaatkannya. Memang siapa yang akan memarahi jikalau aku mengatakan dari sana?

Pastinya guru-guru berpikir mungkin aku ada kesibukan lain.

“Zalim sekali kamu, Meira!”

Masih diiringi hujan, sesi pembelajaran kembali di mulai. Meski tak jarang obrolan di luar materi terlaksana karena para pejantan kelasku memancing hal itu.

Sepertinya mereka juga sedang lelah belajar, apalagi suasana saat ini mendukung sekali untuk sekadar tidur-tiduran.

Kata orang hujan itu ampuh untuk mengenang seseorang. Dan saat ini aku tengah melakukannya. Mengingat sosok Raksa yang belum kucintai. Mendeskripsikannya dengan kata yang aku sendiri tahu itu tak sebanding dengan dirinya yang luar biasa.

“Kita udah pernah pulang bareng lho,” gumamku mencoret-coret halaman paling belakang pada buku pelajaran milikku.

Di sana juga terdapat nama Raksa Gandi yang sengaja ditulis tebal. Seolah menegaskan bahwa dua kata itu begitu penting untukku, si pemilik buku bersampul abu-abu.

______________________________________

MEIRAKSA [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang