Senyummu terlalu indah, hingga aku terus merasa gelisah.
Semalaman penuh aku menghabiskan waktu di ruang OSIS. Samar-samar suara dari aula terdengar. Sudah pukul tiga pagi, namun para pengurus MPK itu masih mempersiapkan acara Musyawarah Besar yang akan segera digelar.
“Sa, minta minum dong!”
Ketukan dari arah pintu mengalihkan perhatianku. Cara bicaranya yang khas sudah menjawab pertanyaan yang belum sempat kulontarkan.
Buru-buru kuraih gagang pintu lantas menekannya dengan satu tarikan.
“Lama amat,” ucapnya menerobos masuk.
Aku mendelik, menatapnya yang tengah sibuk mengisi botol plastik besar. Ini sudah kali kedua Haris datang kemari dengan tujuan yang sama.
“Bawa aja galonnya sana,” dengkusku kembali duduk di kursi kayu.
Dia tak merespon, salah satu anggota MPK itu hanya mengangkat bahunya tak acuh. Memang dari sekian banyak orang luar, dialah yang paling sering mengunjungi tempat ini.
“Ngedekornya udah belum?”
Pertanyaanku terlontar setelah dia mengakhiri aktivitasnya.
“Dikit lagi,” jawabnya setelah menggelengkan kepala beberapa kali.
Tak lama langkahnya kembali menjauh, seiring dengan kesunyian yang datang menyergap. Membalut diriku yang lagi-lagi tenggelam bersama layar monitor.
Tepat pada pukul 06:30, acara yang kurasa berat ini dimulai. Sambutan-sambutan dari para petinggi sekolah menjadi titik awal kegiatan.
“Semangat!”
Kulihat Nabila mengangkat tangannya sendiri. Menciptakan sugesti untuk perjalanan akhir kami.
“Semangat,” sambutku sembari menampilkan senyum.
Begitu waktu istirahat datang, perkumpulan mulai terurai. Sama dengan yang lain, langkahku kini terayun menuju pintu keluar.
Obrolan ringan menemani perjalanan. Hingga tak terasa kami berdiri terlalu lama di barisan tempat duduk milik MPK.
“Ngaco!”
Haris kembali bersuara dengan kencang, mungkin karena ruangan mulai sepi ia jadi bertindak sesuka hati.
“Kang.”
Aku berbalik, mendapati Meira juga Lusiana yang kini berhenti di antara keramaian.
“Buat Kang Aksa ya?”
Tiba-tiba pria di sampingku bersuara, telapak tangannya mendarat di punggungku dengan kencang.
Melihat Meira yang tengah kebingungan, netraku justru tertarik untuk memandang.
Kedua gadis itu memang sama-sama memiliki sekotak nasi, namun hanya milik Meiralah yang kini berhenti di hadapanku.
“Apa mungkin?”
Sudut bibirku tertarik, memerhatikan dia yang tengah melebarkan atensinya ke arah lain. Mencari bantuan dari gadis yang kini malah memasang ekspresi penuh tanya.
“Haha, iya.”
Tanpa sadar senyumku terbit, menerima uluran tangannya. Dalam sekejap, benda berwarna cokelat kayu itu mendiami tangan terbukaku.
“Makasih, Mei.”
Lagi-lagi tawa kecilnya terlontar dalam keheningan. Setelah berhasil membuat perasaanku tak karuan, ia malah pergi meninggalkan. Membiarkan diriku membendung semuanya sendirian.
“Apa Meira emang seberani ini ya?”
Tak perlu waktu lama baginya untuk memenuhi isi kepalaku. Dari tempatku berdiri, punggung yang terbalut jas itu terlihat semakin kecil.
“Kode buat dipacari sih itu mah, Sa!”
Padahal sekarang gadis-gadis itu sudah tak lagi terlihat, tetapi ledekan dari mereka kian menjadi. Di hari penting ini, apa yang ada dalam diriku berhamburan tanpa tujuan. Beruntung inti acara sudah terlaksana sebelum jam makan tiba. Jika tidak, aku tak yakin bisa melaluinya dengan baik-baik saja.
Acara kembali berlanjut dengan suasana yang lebih bersahabat. Saran dari berbagai arah terdengar bersahutan.
Dalam diam aku menatap Haris penuh tanya. Kedua alisnya terus terangkat dengan mata mengarah padaku.
“Apaan?” tanyaku tanpa mengeluarkan suara.
Beberapa kali pria itu mengarahkan telunjuknya pada ponsel yang baru saja digunakan untuk mengambil gambar sebagai bahan dokumentasi.
“Gak jelas.”
Buru-buru kupalingkan wajah, mengabaikan dia yang masih setia dengan tingkah konyolnya. Bahkan Nabila yang ada di sampingku pun sempat tertawa dibuatnya.
“Lagi sibuk gini juga masih aja sempet buat praktik pantomim,” dengkus Nabila pelan.
Setelahnya kami kembali sibuk mengarungi kegiatan yang belum selesai.
“Buka chat, geblek!”
Seruan itu muncul bersamaan dengan makanan yang baru saja dibagikan. Tanpa berniat menanggapi ocehannya, tanganku terulur meraih benda yang ia maksudkan.
Satu pesan berupa foto darinya membuat keningku mengerut.
“Cielah, udah diterbangin tinggi-tinggi eh malah dijatuhin tanpa peduli sama sekali.”
Tawa menyebalkannya menganggu ketenangan sekitar. Beberapa pasang mata menatap interaksi kami karena ulahnya.
“Cuma gitu doang.”
Aku kembali bersuara setelah menghapus kiriman laknat itu.
“Lagian bukannya kerja yang bener, malah sibuk fotoin orang.”
Haris tak menggubris ucapanku. Dengan santai bokongnya itu terduduk di kursi samping yang sudah ditinggalkan pemiliknya.
Seolah belum puas mempermainkan perasaan orang lain, tangan kanannya kembali bergerak. Mengangkat ponsel yang lagi-lagi menampilkan kedekatan tiga manusia. Salah satunya adalah Meira.
Terlihat jelas senyuman gadis itu terukir indah. Senyum yang kuharap tak ia tampilkan untuk orang lain. Terlebih tatapan lekat dari Fabian berhasil mengusikku. Meski pun tentu saja ada Fajar yang menjadi penghalang keduanya.
“Makan duluan aja,” ujarku setelah meraih benda cokelat yang tadi siang kusantap isinya.
Pertanyaan singkat dari Redi yang baru saja mendekat kubalas dengan senyuman.
“Makanannya enak, makasih ya.”
Kuletakkan benda itu tepat di pangkuan Meira. Kaki terlipatnya hampir saja melonjak karena terkejut.
Tatapan penuh tanya mengarah kepada kami, termasuk Fabian yang kini menghentikan suapannya di udara. Dalam hati aku tersenyum menang.
“Makannya dilanjut aja.”
Kedua tanganku terangkat, mempersilahkan para gadis itu menyambung acara makan-makannya.
Setelah membuat kekacauan beberapa saat, aku melenggang dengan santai. Beruntung perlakuanku pada Meira barusan tidak terlalu menimbulkan prasangka buruk. Aku juga tak berniat menarik gadis itu pada hubungan yang jelas-jelas dilarang untuk sesama anggota organisasi. Namun melihat dirinya didekati pria lain benar-benar mengganggu ketenanganku.
“Tunggu sebentar lagi saja.”
______________________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
MEIRAKSA [SELESAI]
Ficção AdolescenteMenjadi bagian dari organisasi sekolah seolah sudah tertanam dalam diriku. Meski begitu, dua pilihan besarku tak ada yang sesuai dengan harapan. Sampai suatu ketika, sentuhan yang tak disengaja membawaku pada perasaan baru. Perasaan berbunga yang di...