Tak perlu ragu dengan pilihanmu.
Langit di atas sana masih gelap sekali, tetapi aku si manusia super sibuk ini sudah pontang-panting mempersiapkan diri.
Sejak pukul tiga tadi aku sibuk menyetrika baju yang akan digunakan lengkap dengan uang jajanku hari ini.
“Biar rapi.”
Ajaran ibuku bertahun-tahun yang lalu. Aku selalu tersenyum kagum melihat tingkah wanita itu yang tak jauh berbeda denganku. Gen keluarga kami benar-benar kuat ternyata.
“Jadi dianterin gak, Dek?”
Suara ayahku yang masih mengenakan sarung biru tua itu terdengar serak. Maklum baru bangun karena saat ini masih pagi buta.
“Jadi, Pa. Nanti jam setengah enam!” jawabku sedikit kencang. Pasalnya pria paruh baya itu mulai menjauh menuju kamar mandi di samping dapur tempat favorit ibuku mengeksekusi bahan makanan.
Semua barang yang kubutuhkan untuk hari ini sudah tertata rapi di dalam tas ransel merah maroonku.
Tak lupa gantungan karakter berbentuk hati menggantung indah di sana. Setelah diingat-ingat benda itu kudapatkan dua tahun lalu, lebih tepatnya sama persis dengan milik saudara sepupuku—ceritanya kembaran.
Setelah sibuk bersiap, kini aku dan ayah tercintaku sudah melenggang membelah jalanan.
“Dingin banget ya, Pa!” seruku sembari mengeratkan pelukan pada tubuhku sendiri.
“Kan udah dibilangin tadi pake jaket dulu, bandel sih!”
Cerocosan dari ayahku tak ada hentinya.
“Iya-iya,” balasku mulai tak peduli.
Bukan tak peduli padanya, tapi pada ucapannya yang setiap hari itu-itu saja. Seperti tidak ada kosa kata lain kan jadinya.
Meski begitu aku senang dikhawatirkan seperti ini, sosoknya begitu hangat sampai-sampai dinginnya udara kali ini tak lagi mengusik kulitku.
“Makasih ya, Pa.”
“Assalamu'alaikum,” pamitku mencium punggung tangannya.
“Wa'alaikumsalam, sana belajar yang bener!”
Suhu tangannya yang dingin menyentuh puncak kepalaku lembut.
“Kebiasaan deh suka acak-acakin rambut,” dengkusku memasang ekspresi sebal.
Padahal dalam hati senang sekali karena pria ini masih menganggapku sebagai putri kecilnya. Meski saat ini aku sudah memasuki usia remaja—16 tahun.
“Duluan, Pa.”
Lambaian tanganku terlihat lebih kencang dari biasanya. Seolah menggambarkan semangatku yang sedari tadi menggebu-gebu.
Masih dengan tas dalam gendongan, langkahku berbelok menuju ruang OSIS yang terletak di samping kanan jalan utama.
Buru-buru aku mendekati bangunan itu setelah melihat beberapa manusia lain yang mulai menyibukkan diri.
“Teh,” sapaku ketika menjumpai seorang wanita yang kini tengah sibuk dengan tumpukan map kuningnya.
Tangan dinginku terulur untuk mencium tangannya sebagai bentuk kesopanan.
“Mei?” tanyanya pelan.
Mungkin ia ingin memastikan siapa diriku sebenarnya.
“Masih pagi, tunggu yang lain dulu aja ya. Teteh mau ke atas soalnya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
MEIRAKSA [SELESAI]
أدب المراهقينMenjadi bagian dari organisasi sekolah seolah sudah tertanam dalam diriku. Meski begitu, dua pilihan besarku tak ada yang sesuai dengan harapan. Sampai suatu ketika, sentuhan yang tak disengaja membawaku pada perasaan baru. Perasaan berbunga yang di...