Berpikirlah lebih banyak. Berusahalah lebih keras. Karena meski pun tak semua angan menjadi kenyataan, setidaknya tak akan pernah ada penyesalan.
Memegang kendali pada pembahasan bukanlah hal yang mudah. Apalagi para pengurus baru masih dalam proses menyesuaikan. Meski begitu, rapat hari ini berjalan lancar.
“Kita kumpul dulu bentar ya.”
Melihat kebingungan yang terpajang itu membuatku menarik senyum. Ketiganya saling melempar pandang sebelum mengangguk setuju.
Kujelaskan sedetail mungkin tentang apa saja yang harus mereka lakukan kedepannya. Tumpukan kertas yang sudah kususun sejak lama kini sudah beralih tangan kepada Fajar, ketua bagian seksi bidang tiga.
“Nanti Akang kabarin lagi buat lebih jelasnya.”
Raut yang tadinya kaku itu sudah berubah melembut. Mungkin mereka sadar bahwa diri ini tak semenyeramkan yang dibayangkan.
“Kenapa gak langsung dikasih aja?”
Sebelah alisku terangkat, memandang Nabila yang baru saja bersuara. Kepergian manusia-manusia tadi membuatnya berjalan semakin dekat.
“Kontak KM,” lanjutnya mendudukkan diri di sampingku.
Aku berbalik sepenuhnya, mencurahkan perhatian pada lawan bicaraku.
“Kita cuma bisa ngarahin dari dekat, bukan mencampuri sepenuhnya. Jadi setidaknya mereka harus mencari tahu lebih jauh.”
Sejauh ini langkah kami masih senada. Meski pun ada saja ketidaksesuaian yang tercipta. Dan bertukar pikiran seperti ini akan meminimalisir perdebatan.
Libur akhir pekan tidak berlaku untukku. Karena sejak tadi rancangan dari beberapa sekbid dengan acara terdekat terus memenuhi layar monitor.
“Bil, kita bagi tugas aja ya.”
Aku terus bersuara sembari membagikan layar yang baru saja dikirimkan oleh Bagas.
“Dari sekbid satu sampai lima, laporannya aku yang terima. Sisanya ke kamu. Toh nanti juga kita bahas lagi, biar efektif aja.”
Gadis di dalam layar itu menganggukkan kepalanya beberapa kali. Matanya masih sibuk menelisik buku-buku yang berserakan.
“Ya udah, kalau gitu aku matiin ya. Nanti kabarin lagi aja.”
Setelah sambungan terputus, kuregangkan kedua tangan. Begitu aku menekukkan jari-jemari, suara gelembung udara yang pecah terdengar. Menghiasi kesunyian malam yang baru saja tiba.
[Assalamualaikum, Mei.]
Setelah mendapati nomor sang ketua tidak aktif, nama Meira melintas begitu saja. Entah karena dorongan dari tugas yang ingin segera diselesaikan atau hanya kepentingan pribadi belaka. Yang pasti pesan itu sudah dirinya baca.
Tanpa menunggu lama, dia menyanggupi permintaan itu. Padahal kupikir dia akan meminta tambahan waktu, mengingat banyaknya nomor yang harus segera dikumpulkan.
Selama dua jam aku turut menunggu dengan sabar. Beberapa kali mencoba mengiriminya pesan, namun lagi-lagi hal itu didahului oleh keraguan.
“Aku ini ngapain, sih?”
Kugelengkan kepala cepat, tingkah malu-malu ini tidak seperti diriku sama sekali.
“Profesional dong, Sa. Ini kan buat organisasi!”
[Mei, gimana?]
Selang beberapa menit, balasan darinya tertera. Melihatnya yang tengah kesulitan itu membuat hatiku tergerak.
Buru-buru kucari salah satu temannya yang dirasa tak aneh juga untuk kuhubungi.
[Assalamualaikum, ini nomor ketua kelas sama ketua PD yang baru. Minta tolong disimpan di file OSIS.]
[Sama tanyain ke Meira belum dapet nomor yang mana aja. Terus minta tolong dikirimin ya.]
Sebenarnya aku ingin sekali memberikan forum itu seperti kakak kelasku sebelumnya. Namun ketika aku melakukan hal tersebut, mereka tidak akan mengenal satu sama lain sebelum pertemuan. Karena kemudahan yang kuberikan bisa saja menimbulkan kesulitan suatu hari nanti.
Setidaknya dengan mencari sendiri, kedua belah pihak itu bisa menyapa satu sama lain. Mau bagaimana pun mereka akan terus berhubungan selama periode berlangsung.
“Semoga jalan yang kupilih bisa lebih baik.”
Kucampakkan kursi kayu menuju kasur yang empuk. Sejak tadi tubuh lelahku begitu merindukan benda itu.
Belum sempat aku memejamkan mata, ponselku kembali menyala dengan pesan terbaru.
[Akang forum KM sama PD nya udah, maaf lama🙏]
Tanpa alasan kini perasaanku menjadi lega. Membaca laporan singkat itu dengan senyum bahagia.
[Oh iya, makasih ya.]
[Sekarang udah malem, langsung istirahat aja.]
Padahal aku sudah berpesan demikian, tetapi media sosial gadis itu masih terdeteksi digunakan.
Bahkan setelah sekian lama waktu berjalan, dengan bangganya tanda hijau menyelinap diantara foto profilnya. Foto abstrak yang sepertinya dia ambil ketika acara Pemilihan Ketua OSIS.
“Kayaknya ini mah lupa dimatiin, deh.”
Aku mendengkus, mengembalikan tampilan seperti sedia kala. Lantas meninggalkan segala jenis kesibukan yang pastinya besok pagi akan kembali menyambutku.
Meski terkesan tanpa henti, namun sesungguhnya tetap ada jeda yang tercipta.
“Sampai jumpa besok.”
Kuhempaskan beberapa buku yang ikut mendiami tempat tidur. Memberi ruang untuk diriku beristirahat dengan nyaman. Agar esok masih bisa beraktivitas seperti biasanya.
Karena bagiku kelelahan masih ada obatnya. Sedangkan penyesalan tak berhasil melakukan sesuatu akan terus berkelanjutan.
Seperti hari-hari yang lalu, jam tidurku berakhir pada pukul empat.
Di luar kamar, sudah terdengar rengekan adikku yang entah menginginkan apa hari ini.
“Kak, nanti anterin dulu Adek ya. Ibu mau jengukin Ayah soalnya.”
Aku mengangguk tanpa bersuara. Pasalnya potongan apel di atas meja sudah memenuhi mulutku.
“Kupas sendiri, sana!”
Baru saja menghabiskan gigitan pertama, seruan tak mengenakan itu muncul dari balik pintu.
Ternyata piring cantik dengan dua buah apel itu adalah miliknya.
“Minta dikit elah.”
Kakiku terayun mendekati gadis kecil itu. Sebagai bayaran dari makanannya, kukeluarkan jus jeruk dari dalam lemari pendingin.
“Barter,” tuturku sebelum akhirnya berlalu menutup pintu. Mempersiapkan diri untuk kembali menjalani hari.
______________________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
MEIRAKSA [SELESAI]
Fiksi RemajaMenjadi bagian dari organisasi sekolah seolah sudah tertanam dalam diriku. Meski begitu, dua pilihan besarku tak ada yang sesuai dengan harapan. Sampai suatu ketika, sentuhan yang tak disengaja membawaku pada perasaan baru. Perasaan berbunga yang di...