Secara otomatis bibirku tertarik, menatap dirimu yang begitu menarik.
Hujan di pagi hari hampir saja menggagalkan rencana kami. Beruntung begitu jarum jam mendekati angka delapan, derasnya air mulai berkurang.
“Kita bagi jadi empat kelompok aja ya,” tuturku sembari membenarkan posisi buku yang menyamping.
Setelah pembahasan singkat, kugiring mereka semua untuk berpencar di area sekolah. Sama dengan yang lain, kakiku ikut terayun menuju kebun kecil di belakang laboratorium Biologi.
Tumbuhan yang sengaja ditanam bercampur dengan rerumputan. Letaknya yang jauh dari keramaian, membuat lahan ini terbengkalai. Menganggu netraku yang beberapa hari lalu memeriksa setiap inci bangunan.
Sayup-sayup suara dari bawah sana terdengar. Mungkin para gadis yang tengah sibuk dengan kegiatan Bak Sampah itu sedang menghibur diri.
Bagi kami tanggal merah sekali pun tetap tak ada bedanya. Namun sepertinya kali ini aku terlalu kejam. Memanggil mereka sejak hari dimulai.
“Senyum dong, menu hari ini ikan bakar loh!”
Nabila mulai bersuara, menghilangkan kesedihan yang dimiliki orang-orangnya.
Dalam sekejap raut yang sejak tadi murung itu berubah cerah. Bahkan rona mereka berhasil mengalahkan sinar mentari.
“Obat buat mereka emang cuma makanan,” sahut Bagas sembari cengengesan.
Tak lama Redi dan Fabian datang menghampiri dengan cangkul yang sudah kotor. Noda cokelat kehitaman memenuhi bagian bawahnya.
Diakhiri dengan penanaman bunga dekat ruang BK, acara kami benar-benar sampai di sini.
Pada siang hari yang hampir usai, kami menikmati hidangan. Lauk pauk yang tersaji sedikit lebih istimewa dari biasanya. Aroma ikan bakar turut menarikku untuk melirik, terlebih yang membagikannya adalah Meira.
“Bismillah headshot!”
Aku tercengang, menatapnya dengan wajah tak habis pikir. Suara tawa di sekitar semakin kencang, menanggapi kebingungan dari sang pelontar.
“Mei, nanti udah makan ikut Akang ya!”
Begitu aku selesai bersuara, kedua matanya membola. Melirik manusia di sampingnya yang masih sibuk dengan sisa tawa.
“Hobi banget bikin anak orang jantungan,” bisik Redi menyikut lenganku.
Kuperhatikan lagi wajah yang ditekuk itu, rasa bersalah menyelimuti hati nuraniku.
Setelah acara makan-makan selesai, kakiku terayun dengan sendirinya. Mengulurkan mangkuk kaca tanpa berpikir panjang.
“Tunggu, kang Ak-sa?”
Baru saja kubalikan tubuh, suara Meira sudah memenuhi gendang telinga. Tak lama derap langkahnya mengikuti di belakang sana.
“Kang Aksa!”
Mendengarnya berteriak memanggil namaku membuat bibirku otomatis tertarik. Kembali menghadapnya yang masih setia memangku pemberianku.
“Iya, Mei?”
Kupasang sorot penuh tanya. Membuatnya kelabakan menjawab termasuk hal menarik.
“Untuk yang tadi itu, ada apa, Kang?”
Sebelah tanganku terangkat, menutupi tawa yang tak bisa kutahan.
“Gak pa-pa.”
Sengaja kuedarkan pandangan, wajah Meira saat ini terlalu mengguncang kewarasanku.
“Sini!”
Buru-buru kuambil alih mangkuk itu, tanpa ada niatan tangan kami bersentuhan sesaat. Suhu tubuhnya yang hangat masih membekas di ujung jari-jemariku.
“Duluan, Kang!”
Belum sempat aku melontarkan kata maaf, gadis itu sudah lebih dulu meninggalkan tempat. Kulihat bola matanya membesar tepat di saat kami bertemu pandang.
“Bisa gila!”
Kugelengkan kepala berkali-kali, semua tentangnya masih terbayang. Mengusikku untuk yang kesekian.
“Sa, bahas laporan bulan ini dulu yuk!”
Belum sempat aku mencapai ruang OSIS, teriakan dari sang ketua MPK menghentikan langkahku.
“Iya.”
Dengan langkah tergesa aku menyusulnya, menempati kursi gazebo yang mejanya sengaja dibentuk melingkar.
Aku tak perlu repot-repot kembali ke ruang OSIS, karena kertas laporanku tempo hari masih ada padanya. Mengingat proses pertanggungjawaban akan segera tiba, pihak OSIS semakin kalang kabut menyempurnakan program kerja.
Suara panggilan untuk beribadah terdengar ditengah-tengah obrolan. Kututup lembaran kertas itu dan memasukannya kembali ke dalam map. Lantas berjalan menjauhi area lapang, disusul oleh Alvian yang masih sibuk dengan isi tasnya.
Meski hari libur, jadwal adzan tetap berlangsung. Karena anak-anak penghuni asrama masih senang berkeliaran di lingkungan sekolah.
Begitu menginjakkan kaki di lantai masjid, suara-suara di balik tirai itu terdengar mengganggu.
“Kebiasaan deh,” dengkusku mulai mengalihkan pandangan. Mengabaikan kebisingan dari mulut insan di belakang sana.
Baru saja mengusapkan kedua tangan pada wajah, ingatan tentang mangkuk bening itu datang menyergap. Aku baru sadar telah meninggalkannya di atas meja.
“Kita lanjut bahas di kelas aja ya. Soalnya lapang mau dipake sama anak-anak olahraga.”
Alvian mengangguk pelan, tangannya terulur meraih tas yang ada di antara kami.
Berbeda dengannya yang kini menyusuri koridor kanan, aku memilih arah kiri. Mengambil terlebih dahulu benda yang tadi tak sengaja kutinggalkan.
“Kang.”
Sapaan dari beberapa orang kusambut dengan senyuman kecil. Penghuni sekolah semakin bertambah, mengingat jadwal latihan para atlet yang diadakan di akhir pekan.
“Woi!”
Tanpa perlu berbalik, kutebak lontaran itu terulur dari salah satu teman sekelasku.
“Apa?”
Kuangkat sebelah alis sebelum bergerak mendekati kerumunan. Sebagian wajah asing memenuhi netraku. Sepertinya minggu ini PD basket kembali mengadakan pertandingan dengan sekolah tetangga.
“Eh, duluan ya!”
Sebelum terlarut lebih jauh, kuputuskan untuk menarik diri. Kembali bersiap menjalani aktivitasku sendiri.
Dalam sekejap, tempat duduk yang disediakan mengelilingi lapangan itu sudah penuh oleh orang-orang. Beberapa guru yang bertugas piket malam ini pun menjadi salah satu penghuninya.
Melihat kerumunan yang nyata itu menarik senyumku. Kami tak selalu sendirian di sini.
“Benar, ada kalanya sesuatu berubah.”
______________________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
MEIRAKSA [SELESAI]
Ficção AdolescenteMenjadi bagian dari organisasi sekolah seolah sudah tertanam dalam diriku. Meski begitu, dua pilihan besarku tak ada yang sesuai dengan harapan. Sampai suatu ketika, sentuhan yang tak disengaja membawaku pada perasaan baru. Perasaan berbunga yang di...