Hanya obrolan singkat, namun mampu membuat perasaan menghangat.
Semakin mendekati acara, ponselku benar-benar harus terjaga 24 jam. Apalagi saat ini aku juga menjadi kakak pembimbing.
Umar bin Khattab, adalah nama ruangan yang menjadi tanggung jawabku untuk empat hari ke depan.
Tak jarang, anak-anak yang kubimbing itu menanyakan hal random. Seperti apakah aku sudah mempunyai pacar atau belum, bahkan apa yang sedang kulakukan pun turut menjadi perbincangan. Padahal aku sudah berusaha untuk membuat mereka fokus pada persiapan MPLS nanti.
"Dedek-dedek gemes typingnya lucu-lucu ya," ucapku sembari membaca pesan-pesan yang baru terkirim beberapa menit yang lalu. Sepertinya merecoki urusanku sudah menjadi kebiasaan baru mereka.
Satu hari yang terasa singkat itu berakhir, menyisakan acara yang akan dimulai hari ini.
Dengan senyum bangga, aku menyambut langit dini hari yang amat sangat cantik. Padahal sejak semalam aku menatap hamparan luas itu, tapi sepertinya langit indah di atas sana tak akan pernah membuatku bosan.
"Mandi dulu sana!" perintahku begitu mendapati Resya yang masih menggunakan kaus biru lengkap dengan celana training sekolah kami.
"Gak ah, masih pagi!" elaknya malah ikut terduduk di sampingku.
"Gak kerasa ya kita udah mau jadi kakak kelas aja."
Gadis itu kembali berucap dengan tangan mencomot camilan ringan yang semalam kubeli bersama Agita.
"Haha iya, ya."
Obrolan kami merambat ke mana-mana, hingga tak terasa alarm di ponselku berbunyi, menandakan kedatangan para peserta sudah tiba.
"Udah dibilangin mandi dari tadi juga."
Kugelengkan kepala perlahan begitu mendapati dirinya yang kini tergesa menuju ruang OSIS. Mengambil peralatan mandi lengkap dengan baju seragam lantas terseok-seok ke arah kamar mandi terdekat.
Sepeninggal gadis itu, aku berjalan mendekati gerbang yang sudah terisi oleh panitia keamanan.
Aku kembali berlalu, tentu saja menuju tempat yang menjadi tugasku sebenarnya.
"Halo Teh," sapaku begitu melihat Nabila keluar dari salah satu ruangan.
Dia tak menjawab, hanya tersenyum sambil berjalan terburu. Mungkin kesibukanlah yang menjadi alasannya. Meski pun dalam hati aku merasa jika ia berusaha mengabaikanku.
"Gak boleh suudzon."
Buru-buru kulangkahkan kaki lagi, mendekati lapangan yang menjadi titik kumpul sebelum acara dimulai.
"Mei!"
Helma memanggil dari arah kiri. Gadis itu sudah siap dengan buku absen di pangkuannya.
"Hai!"
Tanganku melambai tinggi. Lantas menghampirinya dan berniat mengambil alih absensi milikku.
"Yang lain udah pada dapet?" tanyaku begitu melihat hanya ada absen ruangan dua dan empat.
"Udah, tadi dibagiin sama Fajar."
Perbincangan kami berhenti, ketika barisan para peserta mulai mendekati lapangan.
Buru-buru aku kembali ke tempatku, lantas mulai memeriksa anak-anak yang kini sudah berbaris di hadapanku.
"Silahkan memasuki ruangan umum, jangan lupa bawa alat tulisnya. Hanya alat tulis, INGAT!"
KAMU SEDANG MEMBACA
MEIRAKSA [SELESAI]
Ficção AdolescenteMenjadi bagian dari organisasi sekolah seolah sudah tertanam dalam diriku. Meski begitu, dua pilihan besarku tak ada yang sesuai dengan harapan. Sampai suatu ketika, sentuhan yang tak disengaja membawaku pada perasaan baru. Perasaan berbunga yang di...