17. Kater Kecil

59 8 0
                                    

Berharap tanpa kepastian, layaknya berjalan tanpa arah dan tujuan.

“Nungguin siapa?”

Sudah beberapa saat berlalu dengan keheningan, pertanyaan itulah yang pertama kali Raksa lontarkan.

“Agita,” balasku seadanya.

Hanya anggukan kecil yang terlihat, setelahnya pria berkemeja putih itu duduk tak jauh dariku.

“Duh, Kang Aksa ngapain di sini, sih?”

Bola mataku berlarian ke sana kemari untuk menghindari tatapannya.

Tak lama, buku bersampul biru miliknya mendarat sempurna. Menghasilkan suara kencang di tengah keheningan.

Aku melirik, memperhatikan Raksa yang sedang menunduk. Menggapai benda pipih yang selalu dibawanya.

Namun sayang sebelum keinginannya tercapai, kater kecil di meja sekretaris itu berhasil melukai ibu jarinya.

“Duh,” ringisnya pelan menggenggam jari yang tadi digunakannya sebagai tumpuan.

“Akang gak pa-pa?”

Sontak aku yang sedari tadi menyaksikan bergerak menghampiri. Tanganku refleks mengambil botol mineral yang ada di sekitarku.

“Sama Akang aja,” tolak Raksa halus sembari mengambil alih botol plastik yang aku sodorkan.

Setelah benda itu berpindah tempat padanya, aku bangkit untuk membuka beberapa loker yang dirasa menyimpan plester.

“Ini!”

Tanganku terulur dengan posisi yang sudah kembali terduduk.

“Makasih ya,” terima Raksa dengan senyum manisnya.

Deheman pelan terdengar dari ambang pintu.

“Izin masuk, ya.”

Sosok lain tengah memperhatikan interaksi antara aku dan kakak kelasku itu. Masih dengan bibir tersenyum ia melangkah memasuki ruangan.

“Masuk aja kali, Bil.”

Raksa merespon setelah menyelesaikan aktivitasnya.

“Canggung,” ringisku kembali ke tempat dudukku. Lantas merapikan barang yang sedari tadi tergeletak tak beraturan.

“Duluan ya, Kang! Teh!”

Dengan tergesa aku berpamitan. Meninggalkan kecanggungan yang semakin mencekik leherku.

“Bodo amatlah, aku tunggu di gerbang aja.”

Biarkan saja berdiri lama, daripada terus duduk di sana, rasanya malah lebih menguras energi.

“Hati-hati di jalan,” ucap gadis berambut ikal itu sebelum aku benar-benar pergi berlalu. Tangan kanannya melambai tinggi untuk menghiasi perpisahan kami.

Langkahku terasa semakin cepat, mendekatkan diri pada kursi yang kebetulan masih ada di depan pos satpam.

“Untung deh jadi bisa duduk.”

Kutarik kursi kayu itu agar lebih merapat ke tembok.

Lama aku menunggu, hingga suara motor yang begitu kurindukan terdengar dengan merdunya.

“Ha, untung deh kamu duluan yang ke sini.”

Kuhembuskan napas lega begitu keduanya melewati pintu gerbang.

“Kenapa, Mei?”

Salsa yang baru saja turun dari boncengan bertanya bingung padaku.

“Tau, kayak orang habis kesurupan aja nih bocah!” timpal Agita yang masih setia menurunkan kedua kakinya untuk menahan roda dua itu.

Bibirku mengerucut begitu mendengar ledekkan keduanya.

“Tau ah, pulang yuk!” ajakku tak berminat untuk ditolak.

Makanya sebelum mereka kembali berucap, aku sudah lebih dulu menaiki motor itu.

“Lah?”

Gadis yang ada di depanku melirik bingung.

“Kita pulang duluan ya, Sa.”

Meski begitu ia tak ada niat untuk menolak.

“Untung, deh.”

Entah mengapa kejadian tadi sangat menganggu pikiranku. Memang apa yang terjadi? Rasanya sama saja. Tidak ada yang salah, kok.

Setelah sampai di rumah aku hanya menyapa sesaat lantas memasuki kamar. Beruntung ibuku tak berucap banyak, mungkin ia merasa kasihan karena aku yang terlihat kusut dari ujung rambut sampai jari kaki.

“Capek banget!”

Tubuh lelahku terjatuh menimpa kasur yang sedari tadi melambai. Setelah menyelesaikan urusan dengan kamar mandi, aku memutuskan untuk beristirahat sesaat. Memejamkan mata namun masih dengan kesadaran penuh.

“Gak baik tidur sore-sore.”

Ucapan yang masih terngiang dalam pikiranku. Pasalnya ibundaku tercinta rutin berucap demikian di kala diri ini pulang hampir mendekati malam.

“Eh list tugas buat besok apa aja ya?”

Buru-buru aku bangkit dengan tangan terulur meraih tas ransel di samping tempat tidur.

“Bener ya kata Kang Aksa, kalau semua jadwal dilist kayak gini kita gak bakalan lupa.”

Entah dari mana ingatan itu datang, yang pasti kini pipiku tengah memanas dengan bibir yang terus tersenyum.

“Eh apaan, sih?”

Dalam diam aku merutuki diri sendiri, berusaha menyingkirkan pikiran-pikiran yang berhasil mengganggu waktu istirahatku.

Lama keheningan melanda, karena aku memutuskan untuk terdiam memandangi langit-langit kamar. Sampai akhirnya kesunyian itu terganggu oleh notifikasi dari ponselku.

“Apa lagi, sih?”

Mataku melirik, menatap benda pipih yang tengah dicharger itu.

“Sudah kuduga,” ungkapku setelah memastikan pesan apa yang mengusik lamunanku.

“Rapat persiapan setelah KBM selesai.”

Sembari berucap, aku menuliskan jadwal rapat pada buku yang baru saja kuraih dari atas meja.

“Mei, makan dulu yuk!”

Suara kencang terdengar dari balik pintu. Membuatku menghentikan aktivitas yang sedang kulakukan.

“Keburu malem,” sambung ibuku lagi.

“Iya, sebentar.”

Buru-buru kuhampiri manusia yang sejak tadi terus bersuara.

Dengan perasaan senang dan perut yang sudah kenyang, aku kembali terlentang sembari menatap lekat televisi yang menayangkan adegan perebutan lelaki.

“Ngapain nonton sinetron? Sini Papa mau liat berita.”

Aku mendengkus dengan tangan menyerahkan benda panjang yang sedari tadi kugenggam.

“Berita dari kemarin itu-itu aja Pa, gak bosen?” tanyaku setelah beberapa menit menyaksikan tontonan tersebut.

“Kamu sendiri gak bosen liat sinetron terus?”

Pria paruh baya itu menatapku lekat, tak ingin kalah dari sesi perebutan kali ini.

“Kan kalau nonton berita dapet informasi. Kalau nonton sinetron dapet apa?”

“Dapet pengalaman cinta,” balasku diiringi cekikikan yang semakin lama semakin keras.

“Ada-ada aja kamu ini!”

Ayahku menggelengkan kepalanya pelan, mungkin sedikit tak mengerti dengan cara berpikirku ini.

______________________________________

MEIRAKSA [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang