Menangis tak hanya mengeluarkan air mata. Tapi juga segala beban pikiran yang selama ini ada, dan terkadang untuk mewakili rasa bahagia.
Pagi ini gumpalan kabut hitam menutupi sinar mentari. Seolah semesta turut merasakan apa yang kurasakan. Mengawali hari dengan kesedihan yang kian mendalam.
“Hai, Mei!”
Kepalaku terangkat, hanya untuk sekadar membalas sapaannya melalui raut wajah.
“Pagi!”
Suara penuh wibawa itu menyapa di ambang pintu. Bibirku tertarik menyambutnya dengan perasaan senang. Senang hanya karena tahu keberadaannya.
“Raksa,” panggilku dalam diam.
Aku berusaha menarik netranya dengan senyuman. Namun sayang, dia lebih memilih terduduk di kursi miliknya tanpa sempat menoleh ke arahku.
Pada rapat yang bisa dikatakan terakhir kali ini, perdebatan kecil tercipta. Berbeda pendapat mengenai acara adalah hal biasa. Karena tentu saja jalan pikiran kami tak selamanya selaras.
“Galak aja suka, apalagi kalo kamu bertingkah manja. Pasti aku makin cinta,” gumamku masih sibuk dengan tulisan-tulisan random. Entah bagaimana bisa perasaanku berubah sesukanya.
“Fokus!”
Aku menoleh, menatap dengan dungu manusia di sampingku.
“Fokus Meira,” ulangnya lagi dengan tangan menutup buku yang masih kugunakan. Beruntung suara-suara di ruangan ini mengaburkan perintahnya.
“Hehe iya,” balasku mencoba melepaskan benda yang masih digenggamnya.
“Ambil kalau rapat udah selesai,” ucapnya memotong habis usahaku.
Tanpa berucap lagi, Raksa melangkah jauh, lengkap dengan buku berjilid hijau milikku.
Setelah pembahasan berakhir, suasana berubah sunyi. Dengan mereka—kelas 12—yang melangkah serempak untuk berjejer di belakang ruangan, kecuali keempat manusia yang masih setia memegang kendali perkumpulan.
“Pada hitungan ketiga kalian balik badan,” ucap Nabila membuatku menatapnya bingung.
Saat ini posisiku dan teman-temanku sedang berdiri di tengah-tengah ruangan yang meja dan kursinya sudah diatur melingkar. Mengelilingi kami yang masih sibuk di akhir pekan.
“Satu.”
“Dua.”
“Tiga!”
Mengikuti arahannya, tubuhku berbalik.
“Apa ini?” tanyaku begitu mendapati bros bertuliskan namaku lengkap dengan logo OSIS MPK di samping kanan dan kirinya.
“Makasih ya udah nemenin perjalanan kami selama satu periode ini.”
“Mari kita habiskan masa bakti ini dengan perasaan menyenangkan.”
Suara-suara indah itu mengalun lembut, menghiasi suasana yang amat bersahabat.
“Gak mau pisah,” tuturku begitu mendapati pelukan dari kakak kelasku yang sedari tadi berdiri di hadapanku.
“Sama. Tapi mau gimana lagi,” balasnya mengeratkan belitan antara aku dan dirinya.
“Udah ah, jangan pada melow gini.”
Kulihat Nabila kembali menjauh, mengusap ujung matanya cepat.
“Teh Bila nangis!”
Seruan itu muncul dari samping kananku, tentu saja Meilalah pelakunya. Memang siapa lagi yang akan terang-terangan berucap santai pada gadis itu selain dirinya?
“Enggak ya,” dengkusnya berusaha menyembunyikan genangan air yang bahkan bisa kulihat dengan jelas dari sini.
“Udah, deh Bil. Kamu kan gak punya bakat akting.”
Tawa kami menguar begitu mendengar ledekan yang ditunjukkan pada gadis itu. Rasanya senang sekaligus sedih. Aku sendiri juga bimbang harus menjalani momen ini dengan tawa atau air mata.
“Semangat, Meira!”
Untuk yang kedua kalinya aku tak menyadari pergerakan dari pria itu. Pria bernama Raksa yang kini dengan santainya mengulurkan buku setelah berucap demikian.
“Ha?”
Wajah dungu tentu saja tak bisa kusembunyikan dengan benar. Pasalnya ucapan Raksa barusan memacu degup jantungku untuk terus berdebar kencang.
“Haha, semangat ya,” gumamku entah ia mendengarnya atau tidak. Yang jelas hanya dengan kehadirannya aku bisa merasakan apa itu bahagia. Jenis bahagia yang hanya kudapatkan dari sosoknya.
“Sampai jumpa di rapat minggu depan dengan calon anggota baru,” bisiknya menekan keningku dengan buku yang tak kunjung kusambut.
Pipiku memanas, hanya dengan senyum dia berhasil membuatku terkagum-kagum.
“Sa? Yuk!”
Itu panggilan dari Alvian, lelaki yang tanpa kusadari sudah berjalan mendekati kami.
“Bentar,” balas Raksa dengan tangan terulur ke arahku. Tetapi pandangannya tertuju pada lawan bicaranya yang masih setia memandangi.
“Bisa aja,” dengkus Alvian begitu Raksa ikut keluar ruangan bersamanya.
Menyisakan diriku yang sampai saat ini belum kembali berbaur dengan temanku yang lain.
“Biasa aja, Meira. Biasa aja!”
Sekuat tenaga aku mengalihkan perhatian pada benda yang kini sudah kembali ke pangkuanku.
“Aku mau jadi kamu aja, deh.”
Gerutuan kecil terlontar dari bibirku. Mengingat pelukan yang tadi didapatkan oleh buku itu membuatku semakin iri hati. Bisa-bisanya dia mendahului aku.
“Gak keluar?”
Lusiana datang menghentikan lamunanku.
“Eh? Ayo,” ujarku begitu ia berjalan terlebih dulu.
Langkah kami terayun pelan, karena di deretan anak tangga di depan sana masih dipenuhi oleh gerombolan manusia-manusia lain.
“Eh Mei!”
Gerakan tangan dari gadis di sampingku membuatku menoleh.
“Ini gak tau perasaan aku aja atau emang beneran, Kang Aksa kayaknya baik banget ke kamu.”
Mataku membola, emang iya?
“Ke aku?” tanyaku mencurahkan seluruh perhatian padanya.
“Iya, ke kamu. Ke sekbid tiga.”
Bibirku berdecak kesal. Tentu saja dia baik ke sekbid tiga, karena ulah siapa di sana tidak ada kakak kelasnya?
“Ya kan karena sekbid tiga gak ada yang bimbing, Na. Kamu tau sendiri Kang Aksa satu-satunya yang tersisa di periode kali ini.”
“Kang Fabian juga baik ke kamu kan? Ke Resya juga. Itu karena apa? Karena kalian sesekbid. Masa iya mau saling memojokkan padahal kita satu bagian.”
“Haha, iya sih ya, bener.”
Tawa canggungnya terdengar menerobos riuhnya suara lain.
“Tapi gak tau kenapa rasanya beda deh, Mei!” ucapnya lagi-lagi kembali ke topik awal.
“Ya harapanku justru lebih dari itu,” gumamku sepelan mungkin.
Tentunya karena kalimat itu tak ingin kusampaikan padanya. Biarlah menjadi rahasia antara aku dan perasaanku. Semesta hanya perlu membantu, dan orang-orang di sekitarku tak perlu tahu.
______________________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
MEIRAKSA [SELESAI]
Teen FictionMenjadi bagian dari organisasi sekolah seolah sudah tertanam dalam diriku. Meski begitu, dua pilihan besarku tak ada yang sesuai dengan harapan. Sampai suatu ketika, sentuhan yang tak disengaja membawaku pada perasaan baru. Perasaan berbunga yang di...