20. Silsilah Keluarga

45 7 0
                                    

Kebaikan tanpa modal adalah senyuman.

“Kenya, Reno mana?” tanya Ayah mulai mengabaikan kehadiran Zidan yang masih berada di hadapannya.

“Paling lagi main, kayaknya di belakang, deh.”

Pandangan gadis itu mengedar, berusaha menemukan di mana keberadaan adik laki-lakinya.

Sebenarnya nama Reno itu adalah Reano Magenta. Panggilan yang Ayah sematkan cukup unik, katanya gak mungkin dong kalau harus disebut Rea atau Nono.

“Nanti malah kayak anak gadis.”

Sangkalan itu masih terngiang jelas di kepalaku. Bahkan saat ini aku tengah cekikikan sendiri.

“Kenapa, sih?”

Zidan bertanya dengan kernyitan yang terlihat begitu kentara.

“Gak pa-pa, gak pa-pa!” jawabku masih dengan tawa yang tersisa.

“Ya udah kalau gitu Om juga mau temuin Papa kamu dulu.”

“Zidan, jagain tuh mereka. Banyak yang ngincer kalau lagi acara gini.”

Sebelum bangkit dari duduknya, pria itu kembali berpesan. Aku dan sepupuku hanya tersenyum kikuk mendengar ucapannya itu.

“Duluan ya,” tuturnya lagi dengan tangan mengusap puncak kepalaku lembut.

Kami bertiga terdiam sesaat, tak ada yang bersuara sebelum ayahku itu benar-benar pergi.

“Mampus tuh dimarahin Papa,” ledekku menepuk punggung kakakku berkali-kali.

“Tau ah, mending nyamperin pengantin dulu.”

Sesuai dengan lontarannya itu, langkah Zidan menjauh. Menuruni anak tangga menuju pelaminan yang terlihat jelas dari tempat dudukku.

Kembali membahas silsilah keluarga tadi, ibu Kenya dan Reno itu adalah Indira, kakak perempuan ayahku.

Sedangkan ayahnya Regan Magenta, satu-satunya abdi negara yang ada di keluarga kami.

“Kak Mega cantik banget ya,” ucapku membuat Kenya ikut menolehkan kepalanya.

Nah, kalau Mega Rania adalah putri satu-satunya dari Riana, adik bungsu ayahku. Sementara ayahnya sudah lama tiada, bahkan sebelum aku lahir ke dunia.

Kalau kata Ayah, “Om Adnan itu cinta pertamanya Tante Riana pas SMA, kisah cinta mereka tuh kalau kata anak-anak sekarang mah viral. Nenek kamu aja sampe tau, terus nyusulin deh ke sekolah.”

Mungkin itu juga yang menjadi alasan kenapa beliau tetap memilih sendiri setelah ditinggalkan.

“Iya, cantik banget. Jadi pangling, deh.”

Aku mengangguk setuju. Wajahnya yang manis itu dihiasi make-up adat tanah Sunda, cantik sekali. Apalagi kebaya putihnya itu terkesan simpel tapi elegan.

Selain kisah mereka, keluargaku juga punya ceritanya sendiri. Salah satu kisah lucunya terletak pada nama belakang aku dan kakak laki-lakiku, Mahandi.

Dulu kata Ayah, waktu kak Zidan lahir mereka bingung menentukan nama panjang.

Eh kakek malah dengan santainya menyahut, “Susah-susah nyari, gabungin aja nama kalian kan bisa. Maharani dan Andi, jadi deh Mahandi.”

Aku sendiri sering kali membayangkan bagaimana respon dari orang-orang yang ada di sana saat itu.

“Bener-bener deh,” gumamku kembali mengingat tawa yang kukeluarkan ketika pertama kali mendengarkan cerita ayahku.

“Eh, Mei!”

Tepukan pelan mendarat di lengan atasku.

“Apaan?” tanyaku mulai memperhatikan wajah yang kini terpampang di depan mataku.

“Beli rujak itu yuk.”

Kenya menunjuk satu gerobak bermotor yang terparkir di bawah pohon jambu.

“Traktir ya, Kakak,” melasku menunjukkan wajah terimut.

Ia mendengkus. “Ada maunya baru manggil kakak, dasar!”

Meski berucap demikian, gadis itu tetap mengeluarkan dompet kuningnya. Lantas menyerahkan dua lembar uang sepuluh ribuan padaku.

“Tapi kamu yang beli ya,” tuturnya setelah kertas itu mendarat di atas telapak tanganku.

“Siap, Kak!”

Sebelum pergi aku meletakkan tangan kananku di ujung alis, memberikan penghormatan secara resmi padanya.

“Pak, mau dua ya,” pesanku sembari tersenyum begitu sampai di depan gerobak bercat biru.

Untung saja tulisan dengan harga sepuluh ribu itu terlihat dari kejauhan. Jadi aku tidak perlu kembali lagi ketika uang yang kupunya tidak cukup untuk membeli.

Pasalnya ketika ada acara seperti ini, ada saja kenaikan disetiap penjualan. Mungkin karena banyak orang juga, jadi peminat menjadi tinggi sedangkan barang yang dijual tidak mencukupi.

“Gini-gini aku juga pengamat pasar yang handal ya.”

Kepalaku mengangguk-angguk perlahan, menikmati kebisingan yang entah mengapa rasanya sedikit menenangkan.

“Aneh,” batinku mulai memperhatikan sekitar.

Suasana berisik di sini seharusnya adalah hal yang paling kuhindari. Tapi kali ini rasanya sedikit berbeda, tidak menganggu sama sekali.

“Mungkin karena lagi hari baik?” tebakku sembari melihat bayanganku yang terpantul di kaca rumah tetangga.

Sembari menunggu pesanan milikku selesai, aku mengeluarkan ponsel hanya sekadar untuk memastikan ada tidaknya pesan terbaru.

[Dijamin nyesel lo gak ikut!]

Tiba-tiba satu pesan muncul begitu aku membuka aplikasi WhatsApp.

Pemilik nama Aprina itu juga mengirimkan sebuah video yang saat ini masih berusaha kuunduh.

“Duh, jaringannya malah ilang!”

Aku mendumel begitu menangkap tanda silang pada garis-garis kecil yang membentuk tangga di pojok kanan atas.

“Keburu mati penasaran deh ini mah,” cerocosku lagi.

Tanganku sibuk mengotak-atik layar dengan perasaan kesal. Beberapa kali mengaktifkan mode pesawat untuk mengembalikan signal.

Aku tak tahu itu berpengaruh atau tidak, tapi yang pasti trik itulah yang sering digunakan oleh kebanyakan orang, termasuk aku.

“Akhirnya muncul lagi!”

Buru-buru aku mengunduh ulang video yang tertera. Dan memastikan apa yang dikirim oleh salah satu temanku itu.

“Kang Aksa?”

Keningku mengerut, menonton potongan video yang menampilkan seorang pria dan beberapa anak kecil yang tengah bermain.

[Maksudne apa ya, Mbak?]

Sudah dua menit berlalu, tapi belum ada balasan apa pun darinya. Bahkan saat ini, pesan yang ku kirimkan hanya berakhir dengan centang satu.

“Nih bocah ke mana sih?” gregetku masih setia menunggu si pengirim video tak jelas itu.

______________________________________

MEIRAKSA [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang