[ 15 ] Exercise

53 4 1
                                    

Part 15 - Exercise

****


Bel istirahat baru aja bunyi. Gue segera kasih instruksi ke teman-teman untuk mengucapkan terima kasih kepada guru matematika kami, yaitu pak Surya.

Setelah pak Surya mengangguk dan melangkah keluar kelas, gue pun kembali duduk dengan embusan napas penuh kelegaan.

Otak gue lelah dengan semua rumus-rumus dan kecepatan mengajar dari pak Surya. Belum lagi ketika gue harus menunggu kedatangan kak Radit, suami tercinta gue yang bagaikan malapetaka di pagi hari.

Ungkapan yang cocok buat gue saat ini adalah keluar dari mulut buaya dan masuk lagi ke mulut singa. Gak ada bedanya. Sama-sama neraka di pagi hari.

"Selamat pagi."

Bariton seseorang menyambut. Mustahil gue gak hapal pemilik suara ini, bahkan kini gue harus dengar ocehannya mulai bangun sampai tertidur lagi. Sontak gue terkesiap dan noleh. Di sana, kak Radit udah masuk sambil bawa buku paket fisika yang cukup tebal. Gue tersenyum pahit.

"Gak perlu. Saya langsung masuk ke materi saja karena waktu kita sangat terbatas," ucap kak Radit di saat gue baru aja berdiri untuk memberi aba-aba bersiap.

Dengan pasrah dan sedikit sebal, gue kembali duduk. Mungkin respon gue keliatan banget, sampai Kanaya yang duduk di sebelah gue noleh dan mengusap-usap punggung gue berniat nenangin. "Sabar-sabar. Biasanya orang kayak gitu kuburannya bakal sempit," ucapnya jenaka.

Hahahah. Gue cuma bisa meringis. Gak tau mau seneng apa sedih, soalnya orang yang di depan sana adalah suami gue sendiri. Masa gue berdoa semoga dia kena azab kubur. Lagian kata nyokap, doain orang yang jelek-jelek tuh bisa jadi boomerang buat diri sendiri. Makanya mulai hari ini sebisa mungkin, gue mau doa yang baik-baik biar getah kebaikannya tuh kena gue juga.

Sepanjang jalan kenangan, kak Radit memaparkan materi dengan runtut dan perlahan. Gue gak pernah nyangkal kalau cara ngajarnya mudah dipahami, semacam bakat alami. Dulu, gue sering dipaksa mama belajar sama kak Radit dan nilai gue memang naik berkat dia. Namun setelah itu gue kapok. Sebab dari banyaknya materi yang dia ajarkan, gue lebih banyak nerima peroastingan. Alhasil bukannya belajar, gue sama dia berakhir bertengkar sampai tante Laras harus turun tangan buat misahin kami.

"Lo ngerti, Key?"

Gue noleh ke Kanaya yang baru aja nanya. Lalu tersenyum. "Mayan."

Seperti yang gue bilang sebelumnya, kak Radit ngajarnya enak. Setelah sekian purnama, ini pertama kalinya gue ada gerakan manggut-manggut sok paham pas belajar fisika di dalam kelas. Sebab selama guru fisika sebelumnya mengajar, gak ada yang bisa otak gue tangkap selain rasa kantuk yang tiba-tiba mendominasi.

Teman-teman gue juga gak jauh beda. Si Mira yang biasanya banyak decak, nahan kesal pas pak Alde nulis rumus di papan dengan tulisan yang nyakitin mata itu, sekarang keliatan semangat banget buat nyalin rumus ke bukunya karena tulisan kak Radit memang rapinya gak neko-neko. Bahkan Kanaya yang duduk di sebelah gue ini, malah udah kesem-sem sama dia. Padahal kalau flashback dikit, Kanaya ini keliatan kayak orang kesurupan kemarin gara-gara ngeliat kegalakan kak Radit.

"Pak Aditya is a perfect teacher," gumam Kanaya yang buat gue natap dia horror. Sebelum akhirnya nyambung lagi. "Kalau senyum dan gak masang tampang kaku kayak gitu."

Gue gigit sudut bibir gue bagian dalam dengar itu. Gak salah sih. Karena kak Radit memang gak ada nunjukin senyuman atau bercanda di sel-sela penjelasannya, selain nunjukin tampang seriusnya itu. Alih-alih ngerasa diajar guru ramah, gue lebih ngerasa lagi diajarin pak Surya versi muda.

Suddenly Become Your Wife || Lee TaeyongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang